Nama-nama mereka terkubur dalam berbagai kasus pembunuhan lainnya. Masuk dalam catatan kepolisian, diliput dalam pemberitaan media massa, dikasihani pembaca, tetapi kemudian terlupakan dari ingatan kita.
Kasus-kasus pembunuhan atas LNS, mahasiswi berusia 23 tahun di Mataram pada bulan Juli, dan DA, remaja putri berusia 16 tahun di Lampung bulan Agustus lalu, adalah contoh kasus pembunuhan atas perempuan hamil yang dibunuh oleh pacar mereka sendiri. Mereka dibunuh karena pacar mereka enggan berurusan dengan kehamilan mereka, dan malah merasa berhak menghabisi nyawa keduanya. Mereka dibunuh karena mereka adalah perempuan.
Kasus-kasus tersebut adalah pembunuhan sengaja atas perempuan karena gender mereka, yang kebanyakan dilakukan oleh pasangan mereka (pacar, pasangan hidup, atau suami) atau anggota keluarga (ayah, kakak/adik laki-laki, sepupu, ataupun paman).
Sudah sejak 2012, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan bahwa meskipun kebanyakan korban kasus pembunuhan umum adalah pria, sebagian besar korban kasus pembunuhan di ranah domestik atau rumah tangga adalah perempuan. Dan mereka yang rentan menjadi korban pembunuhan ini adalah perempuan hamil.
Sejak itu pula, beberapa negara di Eropa mulai menyusun laporan khusus atas kasus-kasus pembunuhan ini. Hal ini diangkat dalam agenda diskusi nasional sebagai persoalan mendesak. Di Perancis, misalnya, persoalan ini diangkat dalam berbagai liputan media massa, dan baru-baru ini juga dalam acara bincang-bincang di France 2 (stasiun televisi nasional), dengan tajuk “Jangan Membunuh Atas Nama Cinta.”
Pada 2013, diumumkan Deklarasi Wina sebagai agenda aksi PBB, yang mengakui setidaknya 11 bentuk pembunuhan atas perempuan karena gender mereka. Bentuk-bentuk itu adalah 1) Pembunuhan akibat kekerasan yang dilakukan oleh pasangan intim; 2) Penyiksaan dan pembunuhan karena kebencian atas perempuan (misogini); 3) Pembunuhan atas perempuan dan anak perempuan atas nama “kehormatan” (honor killing); 4) Pembunuhan yang direncanakan dalam situasi perang atau konflik bersenjata; 5) Pembunuhan atas perempuan terkait mahar perkawinan; 6) Pembunuhan atas perempuan dan anak perempuan karena orientasi seksual dan identitas gender mereka; 7) Pembunuhan atas perempuan dan anak perempuan masyarakat adat karena jenis kelamin mereka; 8) Pembunuhan atas bayi perempuan dan janin karena jenis kelamin mereka; 9) Kematian akibat mutilasi genital atau sunat perempuan; 10) Kematian akibat tuduhan melakukan praktik sihir; 11) Pembunuhan atas perempuan terkait dengan kejahatan terorganisir, narkoba, perdagangan manusia, dan penyebaran senjata api.
Kesebelas bentuk tersebut menjadi pedoman awal bagi kita dalam mendalami kasus-kasus ini.
Baca juga: Komnas Perempuan: Kasus KDRT Terhadap Istri Tetap Tertinggi Setiap Tahun
Ibarat gunung es
Di Indonesia, persoalan ini diangkat pertama kali dalam Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) tahun 2017. Disebutkan bahwa masyarakat kita dan aparat penegak hukum masih menyederhanakan kasus-kasus ini sebagai kasus kriminal biasa, dan “tidak digalinya dimensi kekerasan berbasis gender.”
Komnas Perempuan mencatat bahwa kasus-kasus ini tenggelam karena tidak ada upaya pengumpulan data dan rendahnya pelaporan atas kasus-kasus yang terjadi. Bahkan dari keseluruhan pengaduan yang diterima Komnas Perempuan pada 2017, hanya terdapat lima kasus. Ini jelas tidak menggambarkan kenyataan yang ada. Ibarat gunung es, masih banyak kasus yang tidak dilaporkan, tidak terdeteksi, masih tersembunyi, dan dianggap sebagai pembunuhan biasa atau bahkan dianggap sebagai hal yang lumrah sama sekali.
Menyusul di tahun 2018, 2019, dan terakhir 2020, meski menghadapi kendala-kendala yang sama, Catatan Tahunan Komnas Perempuan tetap menaruh perhatian khusus atas kasus-kasus pembunuhan ini. Karena tidak dapat mengandalkan data dari kepolisian atau hanya bergantung pada kasus pengaduan, Komnas Perempuan mulai menghimpun data dari pemberitaan media massa.
Di dalam Catatan Tahunan 2019 disebutkan bahwa kasus-kasus ini semakin mencolok, baik dari segi jumlah maupun pola kesadisan dan agresinya. Disebutkan pula bahwa kasus-kasus ini banyak terjadi di wilayah perkotaan dibanding wilayah pedesaan.
Baca juga: Tak Hanya Fisik: Kenali Bentuk-bentuk Kekerasan Berbasis Gender di Ranah Privat
Berdasarkan pemberitaan media massa, Catatan Tahunan 2020 mencatat setidaknya terdapat 145 kasus. Jumlah ini tentu saja jumlah yang terekam dan masih di bawah kenyataan yang ada. Dari 145 kasus itu, sebagian besar kasus dilakukan oleh suami terhadap istri.
Tidak ada profil khusus pelaku laki-laki. Mereka bisa kaya dan miskin, terdidik dan tidak terdidik, maupun dikenal saleh dan baik di mata masyarakat. Ini semua menjadikan kasus pembunuhan atas perempuan karena gendernya ini lebih kompleks. Sayangnya, media massa hanya mengangkat kasus ini demi sensasionalitas semata, dan tidak mengedepankan liputan yang sensitif gender.
Rendahnya perhatian negara
Meski kebanyakan kasus pembunuhan atas perempuan karena gender mereka ini terjadi di ranah hubungan personal (baik kekerabatan ataupun pasangan), bukan berarti kasus tersebut semata-mata adalah kasus personal. Pihak kepolisian tentu telah melakukan penyelidikan dan menangkap pelaku pembunuhan tersebut. Namun, apakah dengan demikian persoalan ini tuntas adanya?
Dalam kenyataannya, pembunuhan atas perempuan karena gendernya tersebut memerlukan intervensi negara, lewat lembaga-lembaga politik dan sosial, untuk menjamin keselamatan hidup para perempuan. Rendahnya perhatian negara selama ini karena masih menganggap kasus-kasus demikian sebagai kasus kriminal biasa, dan tidak menimbang sama sekali tindakan-tindakan pencegahan yang diperlukan.
Di dalam masyarakat yang masih patriarkal seperti Indonesia, justru diperlukan lebih banyak jaring pengaman untuk mencegah seorang perempuan hamil dibunuh pacarnya, seperti misalnya, dengan menyediakan layanan konsultasi dan kesehatan, termasuk aborsi sebagai pilihan yang aman.
Comments