Di India, jika kamu seorang perempuan lajang, baik belum menikah atau janda, kamu akan sangat kesulitan mendapatkan tempat tinggal untuk dirimu sendiri. Permasalahan ini yang dialami oleh Smita, tokoh perempuan sentral dalam film pendek fiksi Counterfeit Kunkoo karya sutradara muda asal Mumbai, Reema Sengupta.
Perempuan muda penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Smita yang bekerja sebagai pembuat hiasan mangalsutras untuk perempuan yang telah menikah kemudian tinggal sendiri dengan menyewa sebuah apartemen sempit. Namun setiap kali laki-laki pengurus apartemen selalu membawa datang sebuah keluarga calon penyewa untuk melihat-lihat apartemen tersebut.
“Manajemen memang tidak mengizinkan perempuan lajang menyewa apartemen. Dia (Smita) bisa karena saudara salah satu pengurus,” ujarnya seolah-olah Smita tidak ada di tempat.
Film ini kemudian memperlihatkan bagaimana Smita harus berkeliling Mumbai mencari tempat tinggal, selalu ditolak dengan alasan yang sama padahal dia mampu secara finansial. Ia kemudian sampai terpaksa kembali lagi ke tempat suaminya, meski harus kembali menghadapi risiko kekerasan seksual.
Sengupta mengatakan film ini diinspirasikan oleh pengalaman ibunya sendiri, yang setelah 25 tahun menjalani rumah tangga yang penuh kekerasan domestik, diusir oleh ayahnya yang menginginkan perpisahan.
“Padahal ibu saya seorang perempuan yang berpendidikan, mandiri secara finansial, namun tetap saja, ketika ia mencari rumah untuk dirinya sendiri, penyewa selalu menolaknya, karena ia tidak hidup bersama suaminya lagi,” ujar Sengupta, Kamis (25/4), dalam diskusi setelah pemutaran film pada Asia Africa Film Festival 2019 di Jakarta Selatan.
Ia menambahkan bahwa sejak kecil, ia melihat berbagai kekerasan yang dialami perempuan di sekitarnya, baik secara fisik maupun psikologis.
“Seperti yang Anda semua ketahui, kasus kekerasan terhadap perempuan sangat marak di India. Saya ingin menyoroti terutama soal pemerkosaan dalam pernikahan, yang konyolnya tidak diakui sebagai sebuah kejahatan di India,” ujar Sengupta, yang juga bekerja di sebuah rumah produksi yang memproduksi berbagai iklan, video musik, dan berbagai macam produk audio visual.
Counterfeit Kunkoo (kunkoo adalah hiasan cat di kepala pada perempuan menikah di India) dirilis pada 2017 lalu, dan sudah mendapatkan 25 penghargaan dari berbagai festival film di berbagai belahan dunia. Dalam durasi 15 menit, film ini secara efektif dan padat, namun tidak membuat sesak napas, menggambarkan ragam kekerasan terhadap perempuan yang dihadapi Smita, baik di ranah privat maupun publik. Dengan penyuntingan dan warna yang stylish ala film iklan, adegan-adegan dan dialog mengalir lancar dan mengikuti tujuannya.
Sengupta mengatakan bahwa film fiksi pendek ketiganya ini merupakan medium yang spesial untuk berkomunikasi dengan perempuan-perempuan India yang tersebar di berbagai belahan dunia.
“Pada pemutaran film di kota New York, seorang penonton perempuan mendatangi saya dan mengatakan bahwa ini hal yang persis dialami oleh neneknya sebelum pindah ke New York,” ujarnya.
Di India sendiri, Counterfeit Kunkoo beberapa kali ditayangkan dan banyak memantik diskusi hangat. Salah seorang penonton remaja perempuan bahkan mendatanginya sambil menangis tersedu-sedu.
“Si anak ini mengatakan bahwa ibunya juga mengalami hal yang sama,” ujarnya.
Namun yang paling spesial baginya adalah saat sang Ibu menonton film ini untuk pertama kalinya.
“Ia seperti baru tersadarkan tentang apa yang terjadi selama 25 tahun dalam hidupnya,” kata Sengupta.
Jangan lewatkan Counterfeit Kunkoo, yang akan kembali ditayangkan Sabtu 27 April ini pukul 17.00 di rangkaian acara Asia Africa Film Festival.
Baca juga tentang film dokumenter yang menyoroti sensor film yang membungkam kreativitas.
Comments