Zaman sekarang ini, pengetahuan tentang gender dan seksualitas rasanya begitu dekat dan mudah diakses. Pada Januari 2017, majalah National Geographic menerbitkan edisi khusus tentang gender. Tahun 2018, salah satu edisi majalah Tempo membahas tentang persekusi LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) di Indonesia. Artikel berita dari situs media nasional yang membahas isu LGBT pun sudah mulai beredar luas. Jurnal ilmiah juga bisa ditemukan di internet.
Buat saya pribadi, serial televisi dan film adalah media yang bisa menyampaikan pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang gender dan seksualitas, secara efektif dengan cara sederhana dan dekat dengan penonton. Dalam rangka perayaan Pride Month yang jatuh pada bulan Juni, berikut adalah rekomendasi saya tentang film-film layar lebar dan serial televisi yang bertema LGBT, yang disusun berdasarkan tingkat kesukaan saya pribadi.
-
Pride (2014)
Film ini diangkat dari kisah nyata organisasi gay dan lesbian pendukung pekerja tambang (Gay and Lesbian Support the Miners, GLSM) (kalau diterjemahkan, gay dan lesbian pendukung pekerja tambang) di Inggris pada tahun 1980an. Di bawah pemerintahan Perdana Menteri Margareth Thatcher, pekerja tambang adalah salah satu kelompok yang menjadi korban penindasan. Karena fokus polisi ke kelompok LGBT berkurang dan mulai beralih ke pekerja tambang, para aktivis gay dan lesbian merasa mereka memiliki "musuh" yang sama dan memutuskan untuk membantu para pekerja tambang dengan mencari donasi.
Film ini membuka mata saya bahwa sesama kelompok minoritas sebenarnya punya akar masalah yang sama yaitu penindasan dari penguasa, karenanya penting untuk bergabung dalam satu serikat yang sama. Meski begitu, di film ini tergambar bahwa tujuan GLSM adalah murni untuk membantu para pekerja tambang. Dukungan yang mereka dapatkan kemudian adalah bonus yang sebenarnya tidak mereka harapkan. Itu pun awalnya mereka mendapatkan penolakan yang keras dari para pekerja tambang karena lesbian dan gay sebagai sebuah keanehan, ketidaknormalan, bahkan penyakit. Meski sangat kental dengan nuansa aktivisme, ada juga sisipan cerita-cerita personal di sini, seperti seorang anggota muda GLSM yang diusir dari murah, satu orang lagi yang hidup dalam ketakutan karena berstatus HIV positif.
-
The Death and Life of Marsha P. Johnson (2017)
Ini adalah film yang sangat wajib ditonton oleh kelompok LGBTIQ+ (lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks, queer), terutama mereka yang (sangat) mengglorifikasi pride parade.
Marsha P. Johnson adalah tokoh yang mengawali pawai LGBTIQ+ tersebut. Ketika terjadi pembubaran dan penangkapan beberapa orang gay dan drag queen oleh aparat kepolisian Kota New York di sebuah bar gay bernama Stonewall Inn pada 1969, Johnson adalah yang pertama kali melakukan perlawanan dengan melempar batu ke polisi, diikuti dengan aksi perlawanan yang lainnya.
Film ini berfokus pada pengusutan kisah kematian Marsha, yang menurut penyelidikan tewas bunuh diri. Aktivitas LGBT bernama Victoria Cruz kemudian menemukan serangkaian kejanggalan dalam kematian Johnson, namun tidak berhasil membuktikan ada sebab lain. Film ini menggambarkan bagaimana kekerasan yang menimpa kelompok transgender sering kali tidak diproses dengan adil. Dikisahkan juga bagaimana Johnson ketika masih hidup sebagai aktivis, individu, dan transgender kulit hitam.
Saya ingat betul satu kalimat yang diteriakkan oleh seorang aktivis transgender di film ini "If it wasn't for drag queen, there would be no gay liberation!". Kalimat ini diucapkan karena di sebuah pride parade tahun 1979, kelompok transgender berada di barisan belakang, dipinggirkan oleh kelompok gay. Padahal justru kelompok transgenderlah yang memulai pride 10 tahun sebelumnya.
-
The Imitation Game (2014)
Film ini bercerita tentang Alan Turing, seorang ahli komputer dan matematika yang berhasil membuat mesin pemecah kode enigma yang berhasil menghentikan Perang Dunia II. Pada masa itu, menjadi seorang homoseksual adalah kejahatan. Karena ketahuan homoseksual, Turing dipaksa untuk mengikuti terapi konversi untuk mengubahnya menjadi heteroseksual, yang tentu saja tidak berhasil karena homoseksualitas bukanlah penyakit. Ia mengalami depresi sampai tewas bunuh diri. Mesin buatan beliau adalah cikal bakal komputer modern saat ini, tapi ironisnya hidup beliau harus berakhir mengenaskan.
-
Queer Eye (2018- )
Acara realitas dari Netflix ini membuat saya memiliki sudut pandang baru tentang program makeover. Digawangi lima laki-laki queer, yang disebut The Fab 5, program ini tidak hanya membantu para klien (yang ada di kota konservatif di AS) untuk berpenampilan luar lebih baik, tapi juga merasa lebih baik di dalam diri mereka.
Jonathan van Ness, Karamo Brown, Tan France, Antoni Porowski, dan Bobby Berk membuat orang-orang melihat bahwa kepribadian dan kisah hidup kita memengaruhi bagaimana kita berpakaian, merawat wajah, rambut, rumah, dan mengatur pola makan. Jika kisah hidup kita buruk, hal-hal lainnya juga akan ikut buruk, yang kemudian membuat persepsi tentang kita, baik dari diri sendiri maupun dari orang lain, juga buruk.
Ada klien (yang disebut hero) memiliki masalah seperti belum melela, diusir dari rumah karena lesbian, mengalami transisi dari perempuan ke laki-laki, dan sebagainya. Lewat berbagai latihan mental (yang kadang juga melibatkan fisik), mereka dibantu untuk menghadapi rasa takut, cemas, sedih, dan tidak percaya diri, sambil diberi pengertian mengenai pentingnya merawat fisik dan penampilan. The Fab 5 tidak menyarankan perawatan fisik dan cara berpakaian yang secara normatif menarik apalagi trendi, tapi lebih kepada yang membuat klien mereka nyaman. Kemudian mereka juga didorong memasak dan mengolah makanan sendiri, serta menjadikan rumah nyaman dan terawat.
Di luar itu, semua personel The Fab 5 juga sering membagikan kisah personal mereka dan bagaimana mereka melalui masa-masa sulit.
-
Weekend (2011)
Weekend adalah film gay favorit saya karena kesederhanaan ceritanya. Film ini menceritakan kisah cinta singkat antara Glen dan Russel yang bertemu di sebuah bar, berhubungan seks, lalu menghadapi situasi yang canggung. Namun kemudian mereka bertemu lagi, berbincang tentang banyak hal, saling mengenal lebih dalam, sampai kemudian timbul benih-benih asmara. Tidak banyak drama dalam film ini, namun itu justru yang saya sukai.
-
Love, Simon (2018)
Ini adalah film bertema gay pertama yang diproduksi oleh studio Hollywood besar, yaitu 20th Century Fox. Diangkat dari buku Simon VS the Homosapiens Agenda, Love, Simon menceritakan ketakutan seorang remaja SMA tentang identitasnya sebagai seorang laki-laki homoseksual. Di film ini dibahas bagaimana Simon merasa bahwa tidak adil rasanya kalau LGBT harus melela sedangkan heteroseksual dan cis-gender tidak perlu melakukannya. Kita juga dapat melihat bahwa coming out atau melela adalah hak dan betapa sangat salahnya jika kita membocorkan identitas orang lain (atau disebut outing).
Hal yang menarik lainnya adalah kita bisa merasakan bagaimana rasa takut yang dimiliki seorang gay itu begitu besar. Bahkan Simon, seorang laki-laki kulit putih yang tinggal di Amerika Serikat pun masih takut ketahuan. Maka adalah wajar saya pikir jika kita yang memiliki privilese yang jauh lebih sedikit mengalami rasa takut yang lebih besar. Di sisi lain, film ini juga memberi kita pesan bahwa kita harus peka terhadap lingkungan sekitar supaya kita bisa tahu kepada siapa kita harus atau sebaiknya melela.
-
DeGrassi: Next Class (2016-2017)
Ini adalah serial TV remaja terbaik yang pernah saya tonton! Rasanya seperti menonton "Humanity 101" karena Degrassi membahas banyak sekali hal dari pengalaman dan sudut pandang remaja SMP dan SMA: rasialisme, agama, feminisme, kesehatan mental, gender, seks, aborsi sampai LGBT dan bagaimana beberapa di antaranya saling terkait.
Hampir semua episodenya mengandung cerita-cerita yang sangat menarik, seperti tentang seseorang yang menemukan identitas gendernya sebagai queer, kisah seorang lesbian dari keluarga Katolik yang berpacaran dengan lesbian muslim, dan seorang feminis muslim yang kesulitan menjalani hubungan berpacaran karena masih ingin menaati aturan agama.
-
All in My Family (2019)
Film dokumenter pendek berdurasi 40 menit ini membuat saya melihat sisi lain dari melela. Bahwa momen tersebut tidak hanya terjadi satu kali dan tidak harus dilakukan ke semua orang. Hao, seorang pembuat film yang tinggal di Amerika, berencana mengunjungi keluarga besarnya di China dengan membawa suaminya, Erick, dan dua anak mereka. Sebelumnya, saat memutuskan untuk memiliki bayi tabung, Hao harus melela sebagai seorang calon ayah. Di China, ia kembali harus melela, dan kepada ibunya, ia harus berkali-kali menjelaskan bahwa hidupnya sebagai seorang gay baik-baik saja.
-
Pose (2018- )
Bercerita tentang sekelompok LGBTQ (biasanya didominasi drag dan trans perempuan atau transpuan) yang saling berkompetisi dalam semacam peragaan busana yang juga melibatkan gerakan tari. Berlatar tahun 1980an dan berfokus pada masyarakat kulit hitam, saya merasa serial ini sangat relatable, ketimbang cerita-cerita dengan tokoh kulit putih dan di masa kini. Isu-isu yang paling banyak dibahas adalah isu transpuan, dan bagaimana tokoh-tokoh di serial Netflix terbaik ini memilih dan menemukan keluarga mereka sendiri, sesuatu yang tidak mereka miliki karena mereka dibuang dan ditolak oleh keluarga tempat mereka dilahirkan. Penolakan dan upaya menjalin hubungan lagi dengan keluarga juga adalah cerita yang begitu menyentuh hati.
-
Will & Grace
Sebelum tahun 1997, belum pernah ada serial televisi yang tokoh utamanya adalah LGBT. Di era itu, tokoh LGBT hanyalah karakter sampingan atau sisipan, sampai kemudian komedian Ellen DeGeneres melela sebagai lesbian (baik dalam kehidupan nyata maupun sebagai karakter utama dalam serial komedinya), yang menimbulkan kontroversi dan penghentian serial tersebut.
Tahun 1998, dengan segala kontroversi yang terjadi satu tahun sebelumnya, Will & Grace tayang dengan menghadirkan seorang laki-laki gay sebagai tokoh utamanya dengan penggambaran yang gamblang. Jack, sahabat Will, juga digambarkan sebagai laki-laki gay. Dalam dunia pertelevisian Amerika pada masa itu, hal tersebut adalah sebuah terobosan yang berani.
Will & Grace memang masih menggambarkan stereotip laki-laki gay yang feminin, suka dandan, "ahli" mode, menyukai diva-diva internasional, menyukai teater dan film musikal, tidak suka olahraga (kecuali di gym), dll. Tapi saya melihat bagaimana stereotip tersebut bukanlah stereotip yang buruk.
Kesulitan yang dialami oleh kelompok gay juga diceritakan di sini. Soal Jack yang mengalami perisakan di sekolah, bagaimana Will berpacaran dengan Grace sampai ia melela, kesulitannya tumbuh sebagai seorang gay di keluarganya, dan lain sebagainya. Yang jelas, serial ini tetaplah sitcom yang bisa membuat saya tertawa terbahak-bahak. Saya baru sadar betapa saya sangat membutuhkan komedi dengan banyak lelucon gay dengan tokoh utama seorang gay saat saya menonton Will & Grace. Serial ini adalah serial TV komedi sekaligus serial TV tentang gay favorit saya.
Di Indonesia, saya tidak banyak menemukan film atau serial TV dengan tokoh utama LGBT, setidaknya yang berkesan dan jadi favorit. Yang pernah saya tonton dan saya ingat ceritanya hanya Arisan (2003) dan Kucumbu Tubuh Indahku, yang baru tayang beberapa bulan lalu. Arisan tidak menimbulkan kontroversi, setidaknya tidak besar, namun Kucumbu sampai bisa mendorong orang untuk membuat petisi daring agar film tersebut ditarik dari bioskop. Film-film LGBT produksi negara lain pun tidak bisa ditemukan di layar lebar Indonesia, termasuk Love, Simon yang diproduksi oleh studio besar.
Tapi seiring dengan perkembangan teknologi dan kemajuan zaman, film dan serial TV semakin mudah diakses. Sekarang ada Netflix dan layanan TV streaming lain yang menayangkan dan memproduksi film dan serial TV dengan konten sensitif termasuk konten LGBT. Beberapa pembuat film ada yang menggunakan YouTube sebagai media penayangan karya mereka. Vice Indonesia beberapa kali membuat dokumenter seputar LGBT di kanal YouTube mereka, dan dulu juga sempat ada web series ConQ (yang kemudian diturunkan), dan ada juga film pendek Pria yang sudah ditonton lebih dari 1 juta kali. Bioskop-bioskop alternatif pun secara berkala juga menayangkan film film LGBT.
Knowledge is power. Film, serial TV, dan web series dilarang tayang dan ditakuti karena produk-produk tersebut memiliki kekuatan berupa pengetahuan. Sebagai kelompok LGBT, membekali diri dengan pengetahuan tentang diri kita sendiri, baik sebagai individu apalagi sebagai kelompok, adalah penting karena pengetahuan tersebut akan sangat membantu kita untuk kuat menghadapi kebencian yang kita terima dan menghadapi rasa penyangkalan terhadap jati diri kita yang sesungguhnya. Dengan kesibukan dan kompleksitas hidup yang makin bertambah seiring dengan bertambahnya usia (dan berkembangnya zaman), menonton serial TV dan film bisa jadi cara yang paling praktis untuk mengakses pengetahuan tersebut.
Comments