Ada orang yang antipati terhadap film Bollywood karena dinilai tak realistis, berbunga-bunga, durasi kepanjangan 3-5 jam, dan cuma diisi adegan joget-joget tak penting. Ada pula yang mengkritik film Bollywood sebagai contoh paling ekstrem plus konkret bagaimana objektifikasi dan stereotyping perempuan di dunia nyata dimigrasikan ke layar lebar. Bagaimana pun perdebatannya, ini semua valid. Sejak kemunculan perdana pada 1913 lewat tajuk “Raja Harishchandra”, tarian, nyanyian, dan stereotyping perempuan memang jadi ciri khas film India yang sukar dipisahkan.
Terkait stereotip, riset yang dilakukan Nishta Madaan dkk. berjudul Analyzing Gender Stereotyping in Bollywood Movies (2018) menyebutkan, dari 4.000 film yang dianalisis berdasarkan sinopsis, poster, dan official trailers, sineas film India konsisten menggambarkan perempuan dengan stereotip tertentu. Perempuan dipandang sebagai sosok cantik, feminin, dan menarik, sedangkan lelaki kuat dan sukses. Selain itu, perempuan dikotak-kotakkan dengan profesi dan atribusi yang diteropong dari kacamata lelaki (male gaze). Misalnya, perempuan hanya digambarkan sebagai sosok ibu rumah tangga, atau kalaupun bekerja, mayoritas di sektor “ramah perempuan” seperti guru, penyanyi, dan seterusnya. Pun, perempuan juga sangat sedikit ditampilkan sebagai sosok dominan dalam poster film.
Posisi subordinat perempuan tersebut sebenarnya tak jauh berbeda dengan realitas di India. Negeri yang dilabeli sebagai rape capital karena kasus pemerkosaannya yang terlampau tinggi ini adalah kombinasi sempurna betapa India sama sekali tak aman buat perempuan. Menurut laporan kepolisian Delhi pada 2018 yang dikutip dari India Times, lebih dari lima perempuan diperkosa setiap hari di ibu kota nasional. Yang fatal, polisi mengklaim, 96,63 persen kasus pemerkosaan yang dilaporkan dilakukan orang terdekat.
Baca juga: 7 Film Bollywood Terlaris yang Membicarakan Isu Sosial
Ini baru kasus pemerkosaan. Belum lagi tabu-tabu yang dipelihara dan dikekalkan di India atas dasar tradisi dan agama. Kita mungkin familier dengan cerita perempuan India yang sedang haid kotor dan menjijikkan. Sehingga, mereka harus tidur di depan rumah berhari-hari, makan di luar, tak dekat-dekat dengan suami sampai menstruasinya rampung. Pun, perempuan harus rela menempuh jarak berkilo-kilo jauhnya ke semak-semak tersembunyi, cuma demi buang air besar, sedangkan lelaki bisa di mana saja, karena toilet di beberapa wilayah India haram hukumnya.
Nah, film-film berikut adalah ikhtiar dari sineas film untuk memotret realitas perempuan di India yang dikerangkeng kontruksi patriarkis. Ini sekaligus membuktikan bahwa industri Bollywood tak cuma menawarkan gemerlap baju sari dan tarian-tarian yang menjadi “obat” dari semua masalah dan ketegangan.
1. Padman (2018)
Padman merupakan salah satu film penting India yang mengangkat realitas perempuan. Di India dan beberapa negara Hindu lain seperti Nepal dan Bangladesh, ada tradisi chhaupadi di mana perempuan yang sedang menstruasi atau habis melahirkan bakal diasingkan di luar rumah. Alasannya: Najis, menjijikkan, aib, tidak suci. Praktis, masa-masa penuh petaka ini harus dilalui perempuan tanpa boleh mengeluh sakit, nyeri, atau kedinginan kendati harus tidur di atas dipan kayu atau berdekatan dengan kandang ternak berhari-hari.
Laksmi (Akhsay Kumar) yang baru saja kawin dengan istri tercintanya, Gayatri Radhika Epte) memprotes hal ini. Pandai besi tersebut tak tahan melihat istrinya berada di luar, terlebih usai dinasihati dokter, angka penyakit maupun kematian yang tinggi disebabkan oleh peralatan menstruasi yang tidak higienis. Di India, perempuan muda yang baru menstruasi pun bisa terpaksa putus sekolah hanya karena tak tahan dirundung teman.
Didorong kepeduliannya pada sang istri, Laksmi yang miskin ini kukuh mendorong Gayatri menggunakan pembalut yang ia beli dari apotek. Namun karena harganya yang kelewat mahal, ia membuat sendiri pembalutnya supaya bisa disebar secara massif untuk perempuan India yang sulit mengakses pembalut bersih. Tentu saja, perjuangan membuat pembalut ini yang menarik untuk disimak karena tak mudah, apalagi yang ia lawan termasuk stereotip publik bahkan ancaman ditinggal istri.
Buat saya, film yang diangkat dari kisah nyata Arunachalam Muruganantham ini cukup sukses menusuk patriarki India tepat di jantungnya. Laksmi menjadi cerminan lelaki yang ogah terkungkung dalam maskulinitas rapuh bahwa lelaki mestinya lebih dominan, menjaga kehormatan keluarga dan tradisi. Sebagai gantinya, ia membantu istrinya dan perempuan-perempuan lain untuk bisa hidup lebih layak dan bermartabat sebagai manusia.
Baca juga: Film India ‘Begum Jaan’ Gambarkan Paradoks Batasan sebagai Kebebasan Perempuan
2. Pink (2016)
Pink (2016) adalah sebuah usaha untuk membongkar definisi pemerkosaan yang kerap direduksi sebatas yang penting suka sama suka, alasan berpakaian perempuan, dan dalih-dalih moralis lainnya. Menggandeng aktor kawakan Amitabh Bachan yang berperan sebagai Deepak Sehgal, pengacara dengan gangguan kesehatan mental, Pink menceritakan bahwa nasib korban percobaan pemerkosaan masih dipandang remeh di mata hukum. Apalagi jika korbannya adalah perempuan yang bukan siapa-siapa.
Hal ini yang menimpa perempuan bernama Minal (Taapse Pannu). Bersama dua temannya Falak Ali (Kirti Kulhari) dan Andrea (Andrea Tariang), Minal terbentur pada persoalan yang melibatkan tokoh penting dan berkuasa di India. Pembelaan dirinya dalam hal ini, nyatanya harus berbuntut viktimisasi kedua dari keluarga, teror panjang publik, ancaman nyawa, dan trauma seumur hidup. Namun, Minal dibantu Deepak tak menyerah memperjuangkan kasus ini.
Buat saya, kalimat Deepak berikut menjadi pengingat tetap kit sering abai terhadap definisi pemerkosaan itu sendiri: “Tidak, berarti tidak. Jika seorang perempuan telah mengatakan tidak, entah itu teman perempuanmu, kekasihmu, pekerja seksual atau bahkan istrimu sendiri maka tidak, artinya adalah tidak.”
Baca juga: 4 Film India Kontroversial yang Angkat Isu Agama dan Perempuan
3. Toilet Ek Prem Katha (2017)
Khesav (Akhsay Kumat) diancam cerai oleh istrinya yang baru dinikahi, Jaya (Bhumi Pednekar) karena perkara toilet. Dikisahkan di sebuah desa di India, membangun toilet di rumah dianggap sebagai hal tabu dan kotor, sehingga perempuan harus rela melakukan Lota Party. Mereka menjinjing Lota (semacam wadah berisi air) yang akan digunakan untuk cebok, dan membawa penerangan lampu minyak ala kadarnya, untuk pergi ke lapangan terbuka (hanya ada ilalang atau sedikit pepohonan) yang jaraknya jauh sebelum matahari terbit karena menghindari pandangan orang-orang.
Jaya yang protes pada suaminya akhirnya dihujat sana-sini karena melanggar adat. Sementara sang suami yang getol memperjuangkan keberadaan toilet di rumah pun jadi sasaran amuk warga. Film ini menggambarkan sosok Jaya dan suaminya secara proporsional tanpa menegasikan peran gendernya satu sama lain. Jaya digambarkan sebagai perempuan teguh, berpendidikan, dan tahu persis apa yang ia mau demi kesehatan diri dan sesama perempuan lain. Sementara Khesav dideskripsikan sebagai good man tanpa repot menunjukkan dengan ambis bagaimana ia berjuang untuk sanitasi yang lebih baik bagi lelaki dan perempuan di India.
Karena kejujurannya melempar kritik, drama komedi yang diangkat dari kisah nyata ini panen pujian. Bahkan Bill Gates menyebutnya sebagai film yang menggambarkan simbol harapan dan kemajuan tahun itu.
4. Lipstick Under My Burkha (2019)
Buat saya, film Lipstick Under My Burkha adalah keberanian paripurna sineas India untuk mengangkat seksualitas perempuan ke permukaan. Respons jaringan bioskop dan lembaga sensor setempat yang menolak pemutarannya hanya karena dinilai terlalu “berorientasi perempuan” dan mengarah ke pornografi, memperkuat bukti bahwa seksualitas perempuan saat ini memang cuma bisa dibicarakan bisik-bisik di India.
Lipstick Under My Burkha berkisah tentang empat perempuan yang menemukan kebebasan dalam hidupnya dengan jalan masing-masing. Dua di antaranya beragama Islam sedangkan yang lain adalah Hindu. Rehana Abidi (Plabita Borthakur), perempuan Muslim yang memakai burkha. Rehana selalu berjibaku dengan identitas budayanya, juga mimpi sebagai penyanyi pop. Leela (Aahana kumra), seorang ahli kecantikan Hindu yang berusaha lepas dari klaustrofobia komunitas Bhopal-nya. Leela punya kehidupan seksual yang kuat namun dipaksa menikah dan dijodohkan.
Di sisi lain ada seorang ibu dari tiga anak yang juga muslim. Ia memiliki suami yang represif, sehingga mencari jalan lain sebagai wirausaha yang giat. Terakhir adalah seorang janda berusia 55 tahun yang menemukan kembali gairah seksualnya melalui saluran telepon.
Comments