Dirilis September 2020 lalu di Taiwan, Your Name Engraved Herein besutan sutradara Liu Kuang-hui (Patrick Liu) menjadi film terlaris selama dua bulan setelah pemutaran perdana di negara itu. Film bertema LGBT ini memecahkan rekor pendapatan sampai 100 juta dolar Taiwan. Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen, bahkan ikut mempromosikan film ini di akun resmi Facebook-nya.
Keberhasilan film ini di pasar dalam negeri Taiwan langsung mendorong Netflix untuk memutarnya di jaringan film internasional. Tak menunggu lama, sejak 23 Desember 2020 lalu, bertepatan dengan musim liburan di banyak negara, penonton internasional bisa menikmati kekuatan sinematografi film ini.
Tema film ini sebenarnya cukup sederhana, yaitu tentang persahabatan dua remaja di SMA khusus untuk anak laki-laki, Chang Jia-Han (Edward Chen) dan Wang Birdy (Tseng Jing-hua), yang kemudian berkembang menjadi percintaan yang penuh liku dan penuh drama khas remaja. Kisah mereka digambarkan terjadi di akhir 1987, saat Taiwan mulai mencabut darurat militer yang membuka jalan bagi demokratisasi, termasuk kebebasan berbicara dan pers.
Latar belakang dekade 1980-an memang juga diangkat dalam beberapa film lain bertema LGBT, seperti Call Me By Your Name (2017) dan Été 85 (Musim Panas 85, 2020), yang juga mendulang sukses tersendiri. Berbeda dari film-film lain yang cenderung meromantisasi dekade 80an sebagai masa pra-HIV/AIDS yang menawarkan kebebasan eksplorasi seksualitas individu, di dalam Your Name, konteks tahun menjadi alegori bagi kebebasan sosial politik rakyat Taiwan yang kemudian berangsur menjadi pengorganisasian kekuatan masyarakat sipil.
Baca juga: 'The Half of It': Bukan Kisah Cinta yang Diidamkan Semua Orang
Memang, masih diperlukan waktu hampir 30 tahun bagi berkembangnya masyarakat sipil yang egaliter dan inklusif hingga akhirnya Taiwan menjadi negara pertama (dan satu-satunya!) di Asia yang telah melegalkan pernikahan LGBT.
Daya Tarik Film Remaja Bertema LGBT
Kisah persahabatan dan percintaan remaja boleh jadi menjadi daya tarik utama banyak film, tidak hanya film bertema LGBT. Kisah cinta remaja yang polos, naif, dan tulus gampang diangkat menjadi tema film apa pun dan mudah memikat penonton.
Dalam Your Name Engraved Herein, kekuatan cerita ada di kompleksitas kehidupan siswa SMA khusus anak laki-laki yang menuntut tampilan macho, sehingga seorang gay yang melela mesti siap dirisak, dilecehkan, hingga mengalami kekerasan fisik oleh sesama murid lainnya. Karenanya, kedua karakter utama film ini digambarkan harus terlihat “normal” (bahkan ibunda Chang Jia-Han tidak menaruh ada rasa curiga sedikit pun atas kedekatan mereka).
Di balik itu, sutradara film cukup piawai menampilkan gerak-gerik kedua remaja dengan sangat dekat, baik lewat tatapan mata keduanya di kelas musik maupun saat mereka berboncengan motor. Coming of age dan coming out pada saat bersamaan.
Kisah hubungan mereka menjadi berliku di luar kontrol keduanya ketika Birdy mulai dekat dengan salah seorang murid perempuan, Wu Ruofei (Mimi Shao), seiring perubahan struktur sekolah menjadi sekolah campuran. Subplot semacam ini juga kerap muncul di film-film bertema LGBT. Hadirnya tokoh perempuan punya peran penting atas alur cerita, mengubah irama dan dinamika hubungan kedua karakter laki-laki.
Selain itu, hadirnya tokoh perempuan mengantarkan (dan terkadang memaksa) hubungan kedua karakter menuju persimpangan, sebelum klimaks cerita. Tokoh perempuan memang menjadi tokoh yang membuka babak baru di dalam cerita, dan menentukan bagaimana hubungan kedua pria akan bergulir. Menariknya, hubungan Birdy dan Wu Ruofei juga punya lika liku tersendiri, yang membawa penonton meninggalkan dekade 1980-an ke masa 30 tahun kemudian (masa sekarang).
Percakapan dengan Tokoh Agama
Film ini juga menampilkan tokoh agama, yakni pastor Oliver, yang menjadi guru musik dan pembimbing murid. Banyak terjadi percakapan intens antara Chang Jia-Han dan Oliver, seperti layaknya pengakuan dosa. Meski digambarkan sebagai tokoh yang dekat dengan murid-muridnya dan punya semangat yang inspiratif, pastor Oliver adalah perwujudan tokoh konservatif di dalam masyarakat modern abad ke-21.
Baca juga: ‘The Prom’ dan Problematika Gayface dalam Film
Bagi penonton liberal, percakapan antara Chang Jia-Han dengan Oliver terasa membosankan dan melelahkan (bahkan mungkin, tidak perlu) karena dirasa mengganggu alur cerita. Tapi, bagi penonton yang masih terbelenggu dalam alam pikir heteronormatif, hadirnya tokoh agama ini tampaknya menjadi semacam katalis. Percakapan di antara keduanya menjadi cermin dari dialog imajiner bagi anggota masyarakat yang masih enggan menerima hadirnya LGBT. Secara tidak langsung, tokoh Oliver mengingatkan mereka akan sikap buta beragama dan kemunafikan sosial.
Di dalam wawancara dengan majalah Time edisi 18 Desember 2020, sutradara Liu menyatakan harapannya agar “komunitas LGBT di banyak negara Asia dapat menyaksikan filmnya tersebut guna menebar pesan bahwa tiap individu LGBT boleh mencintai, dan hal tersebut tidaklah berdosa.”
Film ini menambah koleksi narasi visual tentang rupa-rupa hubungan non-heteroseksual dengan membawa pesan toleransi keberagaman seksualitas di Asia. Di dalam negeri Taiwan sendiri, ada juga film-film lain bertema LGBT yang tak kalah menariknya, seperti Dear Tenant (2020), yang juga menampilkan kompleksitas hubungan antar manusia di dalam masyarakat urban.
Bersama banyak film remaja LGBT Asia lainnya, seperti Love of Siam (2007) dari Thailand dan Billie and Emma (2018) dari Filipina, film ini menampilkan suasana yang sangat khas Asia sehingga dapat dinikmati secara populer bagi penonton tanah air kita.
Comments