Akses yang setara agar perempuan dapat berpartisipasi dalam perekonomian serta mendukung Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) adalah dua misi Women20 (W20) Presidensi Indonesia di bidang ekonomi. Organisasi di bawah naungan G20 itu ingin mendorong agenda pemerintah agar kesenjangan partisipasi kerja laki-laki dan perempuan dapat berkurang.
Namun, pemerintah tampaknya tak benar-benar serius. Pasalnya, laporan Women’s Economic Empowerment and Financial Inclusion in Indonesia (2021) oleh Women’s World Banking menemukan, masih ada kesenjangan finansial antara laki-laki dan perempuan. Walaupun perempuan menjadi manajer keuangan keluarga, beberapa perempuan harus meminta izin suami untuk bekerja maupun membuka usaha.
Selain itu, perempuan yang ingin membuka atau mengembangkan usahanya terhambat akses peminjaman kredit di lembaga keuangan sebab tidak ada izin suami dan dinilai tidak menjamin. Konsultan bisnis dan gender, Queentries Regar mengatakan, hambatan itu menunjukkan aturan dan hukum di Indonesia dibangun atas gagasan netral gender yang belum memadai untuk perempuan.
Dalam dunia yang ideal, lanjutnya, hukum tersebut dapat diaplikasikan karena menggunakan kemampuan seseorang tanpa pandang bulu terkait kemampuannya. Akan tetapi, sistem masyarakat yang patriarkal membuat perempuan masih sulit mengakses layanan finansial.
Karena itu, aturan netral gender dinilai belum memadai karena tidak terimplementasi dengan baik dalam praktik sehari-hari.
Selain itu ada bias yang tidak disadari ketika berhadapan dengan kandidat laki-laki dan perempuan yang ingin membuka usaha.
“Ketika lembaga keuangan bertemu dengan calon laki-laki pertanyaan yang dilemparkan adalah potensi sepuluh tahun nanti. Sedangkan perempuan akan ditanya soal hambatan karena memiliki anak. Sementara itu dua hal yang berbeda,” kata Queentries dalam panel diskusi “Breakin the Bias for Economic Inclusion” Pesta Perempuan yang diselenggarakan Magdalene,(26/3).
Baca juga: Kesetaraan Gender Tingkatkan Kontribusi Perempuan dalam Ekonomi Kreatif
Kesulitan Perempuan di Daerah Pedesaan
Putu Monica Christy, Senior Analyst Microsave Consulting mengatakan, hambatan dalam administrasi bukan satu-satunya penyebab terjadinya pembatasan partisipasi perempuan. Bias gender dan norma masyarakat juga ikut berperan dalam membatasi mobilitas perempuan mengakses layanan keuangan yang sangat berdampak pada perempuan di daerah pedesaan. Selain itu, ada hambatan digital untuk belajar tentang akses keuangan.
“Misalnya perempuan ingin ke bank terdekat, tetapi mereka ada pertimbangan menghabiskan waktu dan biaya transportasi yang banyak. Selain itu, ada ketidakberanian mengakses layanan tersebut,” ujar Monica dalam panel diskusi yang sama.
Ia melanjutkan, salah satu dampak ketika perempuan kesulitan dalam mengakses layanan keuangan untuk membuka usaha ialah perempuan tetap bermain dalam usaha ultra mikro dan mikro, walaupun pemegang UMKM mayoritas perempuan.
Dikutip dari laman Kementerian Keuangan, pada tingkat usaha mikro terdapat 63,9 juta pelaku usaha dan 52 persen di antaranya perempuan. Sementara di antara 193 ribu pelaku usaha kecil 56 persen adalah perempuan dan 34 persen dari 44,7 ribu pelaku usaha menengah adalah perempuan.
“Perempuan daerah rural juga butuh mentor untuk membantunya memahami berbagai layanan dan bagaimana cara mengakses layanan (agar rasa kepercayaan pada lembaga keuangan) dapat terbangun,” kata Monica.
Baca juga: Asal Suami Senang: Bias Aturan Perbankan dan Sulitnya Perempuan Punya Usaha
Butuh Aturan Responsif Gender
Usman Kansong, Direktur Jenderal Komunikasi dan Informasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informasi mengatakan, pemerintah telah mengimplementasikan affirmative action dengan Program Meekar, bantuan pinjaman tanpa agunan dengan bunga rendah untuk ibu rumah tangga. Selain itu, laki-laki dan perempuan memiliki kekuatan dan posisi yang sama untuk menyetujui atau tidak ketika pasangan ingin membuka usaha.
“Selain itu secara administratif ini adalah peminjaman dan butuh jaminan, bukan istem bagi-bagi dan sebenarnya pemerintah lebih percaya untuk meminjamkan kredit kepada perempuan sebab digunakan untuk usaha. Sementara laki-laki biasanya dipakai untuk hal lain,” jelas Usman.
Dia juga mengatakan, untuk menanggulangi masalah itu perlu dilakukan literasi digital sampai ke daerah pelosok. Untuk itu, pemerintah sedang melakukan program untuk pembangunan layanan internet 4G di lebih sembilan ribu desa daerah 3T: terdepan, terpencil, dan tertinggal. Untuk program tersebut pemerintah menyiapkan anggaran mencapai Rp17 triliun dan akan berlangsung sampai 2024 nanti.
Namun, Queentries berargumen perlu diakui ada bias gender dalam akses finansial perempuan, oleh karena itu perlu aturan dan layanan yang responsif gender. Saat sourcing kandidat perempuan, misalnya, perlu dilakukan di tempat yang benar-benar mudah diakses perempuan, seperti pasar dan rumah ibadah agar informasi akses keuangan dapat tersampaikan.
Selain itu, sistem agunan yang tidak memberatkan perempuan dengan benda yang dimiliki perempuan seperti hasil ternak, bertani, maupun alat-alatnya. Sistem tersebut memang lebih beresiko, tapi mempertimbangkan inklusivitas perempuan agar dapat membuka bisnis.
Baca juga: Perempuan Wirausaha Butuh Dukungan, Kerja Sama di Tengah Pandemi
“Lalu saat monitoring dan analisa data dilakukan berdasarkan gender. Dalam laporan bulanan ditanyakan siapa yang memegang usaha dan kontribusi suami serta istri untuk usaha. Jangan sampai perempuan tidak muncul dalam data karena tidak dilibatkan dalam penanaman formal,” ujarnya.
Sementara, solusi rumah tangga agar perempuan dapat bekerja dilakukan dengan mengungkapkan keuntungan membuka usaha kepada suami atau keluarga. Selain itu, melakukan langkah persuasif kepada gender champion di rumah maupun lingkungan agar perempuan dapat didukung dan tidak mengemban bebannya sendiri.
“Idealnya, ada bisnis atau tidak, perempuan harusnya bisa membuka usaha. Tapi kita hidup di lingkungan tidak ideal dan harus ada keuntungan yang mampu ditawarkan ke orang lain,” kata Queentries.
Sementara Monica berpesan, ketika ada program yang inklusif terhadap perempuan perlu melihat apakah hal itu bisa diaplikasikan untuk perempuan daerah rural. Pasalnya, aturan cenderung dibentuk dengan kacamata urban yang tidak relevan dengan daerah pedesaan.
“Maka dari itu, butuh juga inisiatif perempuan di daerah untuk membantu perempuan lokal (di tempatnya) dengan ikut berpartisipasi dalam membuat program tersebut,” pungkas Monica.
Comments