Kaya di usia muda, tampaknya merupakan ekspektasi yang menjebak segelintir masyarakat. Selain hidup sejahtera dan tolok ukur kebahagiaan, angan-angan itu kerap ditambah memiliki aset mewah sebagai bukti kekayaan. Kalau bisa, enggak perlu usaha keras untuk mendapatkannya.
Semua itu terbukti menggiurkan, ketika figur seperti Indra Kenz dan Doni Salmanan membuktikannya di publik. Mereka masih berusia di bawah 30 tahun, dan berasal dari latar belakang yang terbatas secara finansial, sebelum meraup keuntungan lewat aplikasi trading ilegal.
Bayangkan saja, bekerja sebagai afiliator binary option dapat mengantongi pundi-pundi rupiah mencapai puluhan miliar. Belum lagi tinggal di rumah mewah dan bisa iseng beli Tesla pukul tiga pagi lewat marketplace. Siapa yang enggak mau mengikuti kesuksesannya?
Kekayaan itu semakin menyilaukan mata warganet lewat citra dermawan yang dibangun—walaupun si crazy rich asal Medan pernah bilang, terlahir miskin juga privilese.
Baca Juga: Boleh Saja Flexing di Medsos, Asalkan…
Baik Indra maupun Doni, acap kali membuat konten berbagi ke masyarakat yang membutuhkan, seolah kelimpahan harta yang dimiliki juga untuk dinikmati orang lain. Sisi humanis itu dimanfaatkan untuk mencuri perhatian audiensnya, bahkan Doni menyebut subscribers-nya “para calon sukses”.
Sebagai pengguna media sosial yang enggak mengikuti kehidupan Indra Kenz maupun Doni Salmanan, saya penasaran seberapa besar pengaruh mereka di dunia maya. Lalu mengapa segelintir orang menganggapnya panutan.
Ketika scrolling kolom komentar kanal Youtube keduanya, ternyata banyak penonton mengaku terinspirasi, bercita-cita ingin seperti mereka untuk mengangkat derajat keluarga dan membantu sesama, serta mengapresiasi kerja kerasnya.
Sayangnya, kerja keras yang selama ini dijunjung warganet berwujud penipuan. Pun, kekayaan instan yang ditawarkan melalui trading bersifat semu.
Baca Juga: Tidak Masalah Jadi Perempuan 'Matre' atau 'Gila Harta'
Mengikuti Jejak Miliuner
Media sosial semakin memperkuat obsesi penggunanya terhadap kekayaan, walaupun sering menimbulkan pertanyaan, apakah yang dilihat mencerminkan realitas. Tak dimungkiri, konten yang dibalut budaya flexing memiliki pasar tersendiri, sekali pun mengusung konsep fake it until you make it.
Ini dibuktikan oleh Youtuber ChristianAdamG yang melakukan eksperimen sosial di Instagram. Memanfaatkan green screen dan Photoshop, ia berpura-pura menumpangi jet pribadi, mobil mewah, dan berpose bersama selebriti. Dalam seminggu, ribuan orang mengikuti profilnya dan video dokumentasinya ditonton lebih dari 5,6 juta kali.
Respons tersebut menunjukkan warganet yang menyukai konten berkaitan dengan kekayaan, walaupun kemungkinan besar bertolak belakang dengan realitasnya.
Mengutip Maclean’s, flexing kekayaan itu digemari lantaran masyarakat umum dapat memanfaatkan eksposur gaya hidup selebriti untuk mencapai kesuksesan. Kemudian, menyaksikan kehidupan mereka yang tampak lebih baik juga memberikan kesempatan rehat sejenak, dari kenyataan hidup yang dijalani.
Lebih dari itu, masyarakat juga memiliki dorongan untuk mengikuti langkah hidup figur yang mereka saksikan. Seperti pengikut Indra Kenz dan Doni Salmanan yang berharap dapat mengikuti jejak mereka, hingga rela mengambil risiko untuk belajar trading yang diiming-imingi keuntungan tinggi, dengan mengikuti cara main yang diajarkan.
Menurut psikolog Rininda Mutia, konsep ini merupakan modeling, ketika seseorang mencontoh panutan untuk mendapatkan reward yang sama.
“Cara berpikir mereka mungkin lebih sederhana, ‘oh ada cara mudah untuk mendapatkan uang dibandingkan kerja sembilan jam per hari’,” ujarnya ketika dihubungi Magdalene, (17/3).
Kemudahan dan kecepatan yang ditawarkan itu dilihat menjanjikan, plus ada harapan lebih karena mereka diajarkan langsung, meskipun belum memiliki kemampuan dasar trading. Selain itu ia menambahkan, keputusan bergabung dalam trading juga dipengaruhi pengetahuan seseorang.
“Semakin tidak memahami dunianya, mungkin semakin gampang untuk join,” kata Rininda. “Soalnya kan nggak tahu prosesnya gimana, sedangkan yang lebih kritis akan cari tahu sistemnya.” Pun minimnya persyaratan menunjukkan minimnya usaha yang perlu diperlukan, seperti tidak membutuhkan ijazah atau melalui proses rekrutmen.
Terlepas dari kegemaran terhadap konten flexing, paparan produk yang berlebihan juga menggerakan masyarakat untuk mengejar kekayaan secara instan. Misalnya iklan dari marketplace yang masuk ke notifikasi ponsel, atau di linimasa media sosial sesaat setelah googling produknya di mesin pencari, mendorong perilaku konsumtif dalam diri.
Perencana keuangan berlisensi Metta Yoga meyakini, hal tersebut juga berpengaruh pada pengelolaan uang. “Lama-lama besar pasak daripada tiang, bukan pengeluaran yang direm tapi pemasukan ditambah,” jelasnya.
Alhasil, cuan terbesar dengan cara ekspres yang dicari dalam penghasilan tambahan. Pun tidak menyesuaikan kemampuan, atau kecocokkan dengan preferensi diri.
Baca Juga: ‘Room Tour’ Rumah Nan Mewah di Tengah Pandemi: Tak Sensitif dan Tanpa Empati
Kaya Pasti Bahagia?
Sampai detik ini, sejumlah orang meyakini uang dapat mengatasi sebagian besar permasalahan. Pasalnya, kekayaan juga merupakan simbol kemakmuran dan kesejahteraan, sekaligus memberikan kenyamanan hidup.
Hal ini kerap menimbulkan sikap obsesif terhadap kekayaan, sehingga mengejar uang secara berlebihan. Namun, bukan berarti suatu kesalahan apabila obsesi itu bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup, dan mendorong seseorang untuk giat bekerja.
“Setiap orang punya value dan background-nya masing-masing,” terang Rininda. “Kalau money-oriented juga nggak bisa disalahkan, yang penting dikejar dengan cara yang baik.”
Ia menambahkan, perilaku obsesif dikategorikan berbahaya apabila dalam prosesnya, seseorang menyakiti diri sendiri, orang lain, hingga melanggar aturan. Dan tidak perlu dipermasalahkan jika keinginan memenuhi kesejahteraan secara materi itu, semakin mendorong produktivitas dan giat bekerja.
Kendati demikian, peneliti Daniel Kahneman dan Angus Deaton dari Princeton University, AS justru menunjukkan “batas” penghasilan yang menjamin kebahagiaan. Dalam riset High income improves evaluation of life but not emotional well-being (2010) disebutkan, orang lebih bahagia dengan penghasilan mencapai 75 ribu dolar AS per tahun—kurang lebih Rp1 miliar. Lebih dari itu, efeknya tidak begitu berdampak.
Sayangnya, terkadang keberhargaan diri dan kebahagiaan didefinisikan dengan besarnya harta yang dimiliki. Ditambah setelah melihat “rumput tetangga yang lebih hijau”, berujung membandingkan kondisi rekening yang kelihatan enggak seberapa.
Karena itu, agar lebih realistis dalam mengejar harta dan tidak dikontrol uang, Metta menyarankan melakukan financial checkup secara berkala. “Supaya kita menyadari dan mengakui, apakah kondisi keuangan cukup sehat,” tuturnya.
Pun terdapat banyak aspek dalam kehidupan yang perlu diseimbangkan untuk mencapai kebahagiaan, because happiness is relative and number is infinite. Pada akhirnya, diri sendiri yang perlu mengenal batas cukup.
Comments