Menginjak usia seperempat baya saya jadi lebih sering merefleksikan tentang identitas pribadi. Sebagian dari diri saya dipengaruhi oleh orang di sekitar dan bahan bacaan yang saya konsumsi sehari-hari. Belakangan ini, konten bacaan tersebut yang membuat saya mengalami krisis identitas.
Bagi teman atau orang-orang terdekat, saya dilabeli ‘feminis’ atau ‘Social Justice Warrior’ (SJW) karena lebih sering berbicara tentang isu sosial dan mengutuk opresi pada perempuan. Namun, di sisi lain saya ada kegemaran membaca manhwa BL atau cerita lesbian dengan karakter posesif, manipulatif, dan toksik. Hal itu menjadi sebuah kontradiksi untuk label ‘feminis’ yang dilekatkan itu.
Saya akhirnya jadi sering bertanya pada diri sendiri, apakah saya gagal menjadi feminis karena gemar membaca manhwa dengan cerita toksik?
Cerita yang saya konsumsi pun berkisar pada penguntit yang jatuh cinta kepada pembunuh berantai dan cinta segitiga pasangan lesbian yang manipulatif. Kadang saya juga membaca cerita tentang relasi timpang antara seorang bangsawan dan anak yatim piatu yang jago melukis.
Saya telah mencoba untuk berhenti mengonsumsi manhwa tersebut dengan mengganti bahan bacaan tentang pasangan yang lebih sehat. Namun, formula ‘menaklukkan’ bad boy atau bad girl selalu lebih menarik daripada cerita cinta yang itu-itu saja. Resep cerita seperti itu juga bukan hal baru bahkan banyak digunakan dalam cerita Wattpad yang dinilai murahan.
Mengambil contoh buku After (2014) oleh Anna Todd. Berangkat dari sebuah fanfiksi Wattpad tentang One Direction, khususnya Harry Styles, cerita tersebut ramai penggemar karena formula bad boy. Walaupun sudah dikritik problematis karena penulisnya adalah perempuan dewasa, sementara Styles masih di bawah umur, After tetap memiliki pasar, dibukukan, dan diangkat menjadi film pada 2019.
Taktik yang digunakan After atau jenis manhwa yang saya baca menunjukkan bahwa cerita ‘toksik’ yang tidak baik secara moral memiliki pasar dan sulit untuk mati.
Ketika kembali melihat kegemaran pada bahan bacaan toksik ‘murahan’ dan pengakuan ini, saya berada di jurang yang terjal. Saya bisa dihakimi dengan cancel culture dari para SJW. Lebih parahnya lagi, citra SJW bisa tambah jelek dan disamaratakan sebagai munafik gara-gara hal ini.
Baca juga: Cerita Cinta Posesif di Wattpad: Berbahaya atau Biasa
Meskipun begitu, saya menilai refleksi jujur untuk mengenal atau ‘memperbaiki’ diri bukan hal yang salah.
Garis Peringatan untuk Tidak Meromantisasi
Saya mungkin serupa dengan penonton K-Drama Nevertheless. Beberapa orang yang menyaksikan drama tersebut mengatakan masih menontonnya karena menunjukkan inilah yang terjadi dalam hubungan toksik. Selain itu, dengan membawa tipe laki-laki manipulatif dalam sosok Park Jae-eon ke layar kaca mereka jadi bisa mengidentifikasi trik laki-laki canva, istilah zaman sekarang untuk pria playboy.
Sama seperti mereka, saya sering terpancing untuk terus membaca manhwa dengan cerita yang ‘mengganggu’ karena menunjukkan cara-cara pasangan toksik memanipulasi orang lain. Tidak hanya itu, alur manhwa yang suka bikin frustasi membuat saya jadi penasaran tentang keberlanjutan cerita dan cara penulis mengakhiri manhwanya. Terutama jika kisahnya membawa genre psychological thriller dan hubungan karakternya berkembang karena obsesi yang secara moral menyimpang.
Seorang kawan memberi justifikasi, selama tidak meromantisasi atau mengaminkannya di dunia nyata, maka tidak apa-apa membaca cerita seperti itu. Secara pribadi, saya menyadari konten yang saya konsumsi adalah fantasi. Saya juga menolak untuk meromantisasi hubungan problematis di dalamnya. Jika saya dihadapkan dengan situasi serupa di dunia nyata, perilaku dan cara saya menyikapinya akan sangat berbeda.
Senada dengan pernyataan itu, penulis Hendri Yulius mengatakan ketika menikmati cerita yang tidak politically correct pembaca memiliki garis perbedaan antara fantasi dan dunia nyata.
Ia mencontohkannya dengan novel Fifty Shades of Grey karya E.L James atau cerita Wattpad yang dinilai toksik. Ketika berada dalam ruang fantasi cerita tersebut, pembaca bisa menjadi subjek, objek, maupun keduanya dalam cerita.
“Fantasi adalah ruang aman. Sementara realitas (dalam situasi fantasi itu) ada potensi buruknya dan penuh risiko,” ujarnya kepada Magdalene.
“Kadang apa yang kita tonton atau baca tidak sepenuhnya dibawa ke ruang nyata. Misalnya menonton Game of Thrones atau film slasher, kita menikmatinya di ruang bioskop, tapi dalam dunia nyata berbeda cara menyikapinya.”
Berkaca pada pernyataan Hendri tersebut saya juga melihat para penggemar manhwa ‘toksik’ lainnya melek tentang isu sosial di akun Twitter mereka. Tidak jarang juga beberapa dari mereka menyatakan tidak mendukung perilaku abusive dan manipulatif yang terjadi di sekitarnya.
Beberapa waktu lalu para pembaca itu meminta pertanggungjawaban penulis manhwa yang pernah membuat cerita tentang pedofilia. Aksi mereka menunjukkan, di dunia nyata pembaca manhwa merespons dengan tegas hal-hal yang melanggar nilai kemanusiaan agar pelaku menerima konsekuensinya.
Baca juga: 6 Tokoh Penjahat dalam Manhwa yang Bikin Gemas
Jangan Normalisasi Hubungan Toksik
Hendri mengatakan, satu hal lain yang patut diperhatikan ketika membahas tentang membaca cerita toksik adalah cara menikmati dan memaknai yang berbeda-beda untuk setiap orang. Bisa saja ada seseorang yang memaknai cerita yang dibaca tidak hanya menunjukkan maskulinitas toksik. Hal ini terlihat karena perempuan atau tokoh yang mulanya tidak berdaya perlahan-lahan tumbuh menjadi sosok berdikari yang mengambil kendali.
“Ini yang menjadi menarik karena banyak tafsir feminis yang mengatakan cara membaca orang itu bermacam-macam,” ujarnya.
Cara memaknai bahan bacaan itu bisa dilihat ketika paperbackdreams, seorang booktuber atau Youtuber yang kerjanya mengulas buku, mengulas A Little Life. Ia mengatakan, buku karya Hanya Yanagihara itu memiliki kualitas yang tinggi dari segi literatur. Tidak heran jika komunitas pecinta buku global memujanya.
Meskipun begitu, bagi paperbackdreams, A Little Life tetap harus dikritisi karena berbentuk trauma porn atau menggunakan berbagai macam kejadian traumatis untuk mendapatkan perasaan mentah tentang kesedihan yang autentik. Buku tersebut juga tidak bisa menjadi bacaan semua orang karena mampu memicu trauma.
Pemaknaan yang berbeda juga bisa dilihat dengan respons beragam terkait serial fantasi Game of Thrones. Pada 2014, The Guardian merilis sebuah artikel yang menyatakan tidak lagi menonton Game of Thrones karena ceritanya sarat akan seksisme, nilai-nilai misoginis, dan mengobjektifikasi perempuan.
Baca juga: Kenali Tanda Pertemanan Toxic
Penulisnya, Danielle Henderson mengatakan lelah melihat aksi tersebut dinormalisasi di layar kaca dan terus menyaksikan perempuan menjadi korban aksi laki-laki. Artikel tersebut kembali mengundang perdebatan untuk membedakkan fantasi dan dunia nyata.
Meskipun begitu, seiring serial itu terus berlanjut dan tokoh perempuannya perlahan-lahan mendapat agensi, banyak perempuan menjadikan mereka panutan. Daenerys Targaryen, Sansa, dan Arya Stark pun menjadi trio perempuan kuat dalam serial televisi.
Dua karya budaya populer tersebut menjadi contoh yang bagus untuk memahami berbagai dimensi seseorang mencerna suatu karya, baik itu problematik atau tidak. Namun, cerita yang toksik tidak selamanya menjadi konten yang bisa dikonsumsi sesuka hati tanpa batasan.
Psikolog dari Yayasan Pulih, Livia Iskandar dalam wawancara bersama Magdalene beberapa waktu lalu mengatakan, cerita seperti itu akan berbahaya bagi pembaca yang belum dapat berpikir kritis karena akan memaklumi aksi kekerasan.
“Jika pembaca mampu berpikir kritis, cerita tersebut tidak akan mempengaruhinya. Namun, peringatan batasan umur sangat dibutuhkan karena tingkat pemahaman seseorang terhadap sebuah konflik berbeda-beda,” ujarnya.
Dalam skala yang lebih luas, ketika membahas bacaan problematik juga harus diakui ada beberapa orang yang meromantisasi hubungan toksik dan mengaminkannya di dunia nyata. Dalam percakapan antara penggemar manhwa ‘toksik’ di dunia maya juga menunjukkan ada perilaku yang problematik. Mereka menjadikan cerita toksik itu sebagai justifikasi untuk perilaku buruknya. Dalam situasi seperti ini, nalar dan akal baik seseorang memang menjadi aspek yang sangat penting.
Refleksi tentang mengonsumsi konten toksik memunculkan argumen yang cukup kompleks.
Jawaban dari apakah saya gagal menjadi feminis kadang masih mengawang-awang. Mungkin bagi beberapa orang, ‘kartu feminis’ saya harus dicabut karena mengaku gemar membaca manhwa toksik. Atau bagi beberapa orang lainnya saya sudah ‘cukup’ feminis, asalkan tidak meromantisasi cerita dan mengecam hubungan dan perilaku toksik.
Bagi saya, jawaban yang paling tepat dengan refleksi ini adalah memang sudah saatnya saya mengganti tema bacaan dan konten hiburan yang dikonsumsi sehari-hari.
Comments