“Anak muda enggak bisa beli rumah soalnya kebanyakan ngopi.”
Ungkapan itu sangat lekat di telinga anak muda, khususnya generasi Z. Entah sudah berapa kali, topik tersebut selalu jadi perbincangan di media sosial. Tentu disusul wejangan warganet generasi sebelumnya berkedok sharing is caring. Mereka berbagi pelajaran hidup yang sebaiknya dicontoh atau dihindari. Mumpung umurnya masih di awal 20-an, katanya.
Enggak cukup sampai di situ, generasi Z juga dicap sejumlah stereotip lainnya. Malas, manja, sering jadi kutu loncat—alias doyan job hopping, dan lebih suka “buang-buang uang”, dibandingkan nabung untuk masa depan.
Sebenarnya, stereotip itu adalah kecenderungan orang dewasa yang meremehkan karakter anak muda. Kepada BBC, Peter O’Connor, akademisi di Queensland Institute of Technology, Australia mengatakan, hal itu sudah terjadi berabad-abad.
Mereka melakukannya lantaran memproyeksikan diri yang sekarang ke masa lalunya. Dalam Kids these days: Why the youth of today seem lacking (2019) disebutkan, orang tua jadi enggak sadar, mereka sedang membandingkan diri dengan anak muda.
“Kesannya, kualitas generasi muda sekarang menurun, padahal zamannya sudah berbeda,” jelas peneliti John Protzko dan Jonathan Schooler dalam studi tersebut.
Karena itu, stereotip tersebut sebenarnya enggak perlu ditelan mentah-mentah. Masalahnya, angkatan generasi Z yang paling tua aja umurnya 25 tahun. Artinya kan baru memulai karier, melanjutkan pendidikan pascasarjana, dan sebagian berkeluarga.
Jadi rasanya kurang tepat, mengklaim gaya hidup yang terlihat di media sebagai representasi keseluruhan. Apalagi meragukan kemampuan untuk membeli rumah, tanpa melihat faktor lain yang membayangi hidup generasi Z.
Hal ini disetujui “Anggika”, generasi Z yang bekerja sebagai pegawai swasta. Secara terang-terangan, ia menentang stereotip generasi Z yang doyan nongkrong dan ngopi. Menurutnya, uang yang dihasilkan tiap bulannya, tetap enggak akan nutup untuk beli tempat tinggal.
“Harga rumah aja selangit, mau nahan perut biar bisa beli rumah di Jakarta juga enggak bisa,” katanya. “Apalagi yang decent dan terjangkau, lokasinya pasti unreachable.”
Meski pahit untuk diterima, kenyataannya memang demikian. Banyak spanduk yang mempromosikan rumah, dengan target sasaran milenial dan generasi Z. Lokasinya pun, katanya, di BSD, Tangerang Selatan. Padahal letak sebenarnya di Parung Panjang, Kabupaten Bogor. Atau katanya di Cibubur, Jakarta Timur, kenyataannya udah masuk daerah Jonggol, Jawa Barat.
Sebagai generasi Z yang tinggal di suburban, saya punya segudang pertimbangan untuk enggak membeli rumah di kedua daerah di atas.
Pertama, aksesibilitasnya dengan transportasi dan fasilitas umum. Kedua, jarak dan durasi yang harus ditempuh setiap akan ke Jakarta. Ketiga, penghasilan yang cukup untuk menanggung biaya asuransi, pajak, dan perawatan rumah.
Namun, daripada memperdebatkan kemampuan generasi Z untuk membeli rumah, sebaiknya kita melihat sejumlah aspek lainnya yang selama ini tertutup stereotip.
“Harga rumah aja selangit, mau nahan perut biar bisa beli rumah di Jakarta juga enggak bisa,” katanya. “Apalagi yang decent dan terjangkau, lokasinya pasti unreachable.”
Baca Juga: Kami adalah Gen Z, Insecure dan Overthinking adalah Sahabat Kami
Kenaikan Harga Rumah dan Penghasilan Gen Z
Kalau menelusuri harga rumah di mesin pencari, area pinggiran Jakarta seperti Parung Panjang dan Jonggol menawarkan harga yang tampaknya masuk akal. Setidaknya masih di kisaran Rp170 juta, untuk luas bangunan 30 meter persegi. Walaupun ada yang mencapai di atas Rp600 juta, dengan luas bangunan yang lebih besar.
Kendati demikian, realitasnya kenaikan harga rumah lebih cepat dan besar, dibandingkan penghasilan generasi Z. Laporan MarketBeat Cushman & Wakefield mencatat, pada Semester II-2021 harga rumah tapak di Jabodetabek mengalami kenaikan.
Dikutip dari Kompas.com, kenaikan itu beriringan dengan perpanjangan program insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP), hingga akhir 2021.
Alhasil, situasi itu menarik permintaan unit rumah tapak yang siap dihuni. Otomatis harga penjualan meningkat setiap tahunnya, yakni sebesar 3,51 persen. Sementara harga tanah mencapai Rp11,7 juta per meter persegi, pada Desember 2021. Peningkatannya terdapat di kisaran 2,7 persen per tahun.
Perkembangan itu tidak sebanding dengan pendapatan generasi Z. Merujuk riset Katadata pada 2021, rata-rata penghasilan generasi Z berkisar Rp4,6 juta per bulan. Lalu, dengan gaji sejumlah Upah Minimum Regional (UMR) di Jakarta, hampir mustahil untuk memenuhi kebutuhan hidup, sambil membayar cicilan rumah yang berkisar Rp2,5 juta hingga Rp3 juta setiap bulannya.
Kendati demikian, dalam wawancara bersama Magdalene pada (20/5), perencana keuangan Metta Yoga menuturkan, generasi Z perlu menabung untuk membeli rumah. Tentunya karena tempat tinggal adalah kebutuhan primer manusia.
“Walaupun penghasilannya UMR, kepemilikan rumah tetap perlu diusahakan. Misalnya menggunakan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Rumah Subsidi,” terangnya.
KPR tersebut merupakan bantuan pinjaman ringan dari pemerintah, atas kepemilikan rumah yang disediakan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Dengan cicilan tersebut, suku bunga yang dibayarkan sebesar 5 persen tiap tahunnya, dan tidak berubah selama masa cicilan.
Selain itu, Metta juga menyarankan agar generasi Z melakukan sejumlah penyesuaian supaya dapat mengambil KPR. Contohnya menyesuaikan gaya hidup untuk menyisihkan uang untuk membayar cicilan, dan memperoleh penghasilan tambahan.
Pada dasarnya, generasi Z memang diajarkan bahwa rumah adalah kebutuhan utama. Sayangnya, permasalahan di balik “menyesuaikan gaya hidup” tidak sesederhana mengerem pengeluaran yang nggak dibutuhkan. Pasalnya, ada faktor struktural yang menyumbang kesulitan generasi Z untuk membeli rumah.
Misalnya generasi baby boomers yang menjadikan rumah sebagai aset investasi. Mereka menandakan kesuksesannya, berdasarkan properti yang dimiliki. Kemudian menjualnya dengan harga tinggi. Hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan sejumlah negara seperti Korea Selatan dan Inggris.
Selain itu, inflasi yang terjadi setiap tahunnya. Tentu biaya pembangunan rumah dan suku bunga meningkat, sehingga harga rumah tidak terjangkau dan meningkatkan KPR. Namun, ketika suku bunga rendah, pembelian rumah akan lebih terjangkau. Tapi akibatnya, jika permintaan pasar pembelian meningkat, harga rumah juga akan meningkat.
Lebih dari itu, sebagian generasi Z adalah bagian dari generasi sandwich. Jangankan mempertimbangkan untuk membayar cicilan, keadaan sudah memaksa untuk mencukupi ekonomi dua generasi sekaligus. Karena itu, kemungkinan tempat tinggal belum termasuk dalam daftar prioritas.
Lantas, apa yang dapat dilakukan generasi Z agar mampu membeli rumah?
Baca Juga: Solusi Rumah Murah bagi Milenial Saat Harga Tanah Melangit
Menyelesaikan Permasalahan Generasi Z
Sebuah privilese bagi generasi Z yang bisa menabung setiap bulannya, dari penghasilan yang diperoleh.
Melansir Investopedia, 33 persen generasi Z menabung sebagai prioritas keuangan di masa pensiun. Namun, angka itu menjadikan generasi Z sebagai kelompok usia paling kecil yang melakukannya, dibandingkan baby boomers, generasi X, dan milenial.
Mungkin Teddy, seorang pekerja di sebuah media, adalah salah satu generasi Z yang memiliki privilese tersebut. Dengan penghasilan berkisar Rp4,5 juta hingga Rp5 juta, ia menabung 70 persen di antaranya untuk mempersiapkan masa depan.
Dari 70 persen itu, Teddy membaginya ke dalam rekening, reksa dana, dan investasi emas. Paling aman, katanya. Dibandingkan investasi saham yang grafiknya belum bisa dipantau secara konsisten.
Usahanya itu dilakukan untuk mencapai sebuah keinginan, yaitu membangun keluarga bahagia. Sebagai laki-laki, ia merasa bertanggung jawab sebagai calon kepala keluarga. Otomatis, membeli rumah masuk dalam wishlist-nya, yang berharap tercapai di usia 27.
“Lo bisa have fun Ted, kalau cuma 20-30 persen gaji buat happy-happy?”
“Sebenarnya ya cukup nggak cukup sih,” jawabnya. “Tapi untuk sekarang, gue enggak tertekan. Mungkin karena kebutuhan gue enggak macam-macam ya, jadi nggak ngeluarin uang dengan cepat.”
Baca Juga: 'Euphoria' Serial Televisi Gen Z Paling Realistis?
Usaha Teddy merealisasikan keinginannya, adalah contoh generasi Z yang mengorbankan hidupnya saat ini demi masa depan. Meskipun menurutnya program KPR sudah cukup membantu, ia mengaku khawatir keinginannya enggak terpenuhi.
“Gue harus lebih kerja keras sih untuk pemasukan. Mungkin tahun depan mulai cari side job,” ceritanya.
Berbeda dengan Teddy, Anggika lebih ingin membeli apartemen dibandingkan rumah. “Mungkin bisa beli rumah, tapi 10 tahun lagi kali ya,” tuturnya. “Kalau goal dalam lima tahun, beli apartemen dulu deh, yang kecil tapi terjangkau.”
Bahkan, perempuan 22 tahun itu juga tetap meragukan kemampuannya memiliki properti. Dengan pertimbangan harus memiliki Rp500 juta, untuk uang muka sebuah unit seharga Rp1 miliar.
“Nah kira-kira perlu nabung berapa lama, tuh?” ujarnya tertawa. Ia menyalahkan pembangunan tata kota yang tidak merata, sehingga sebagian besar aktivitas memerlukan mobilisasi di Jakarta.
Melihat permasalahan ini, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir memberikan tanggapan. Mengutip Liputan 6, saat menghadiri acara Pencanangan Penyediaan Pembiayaan dan Hunian Milenial di Depok pada April lalu, ia menyinggung generasi Z—yang berjumlah 53 persen dari total penduduk, menghadapi sejumlah kesulitan. Misalnya kesempatan berusaha dan lapangan pekerjaan yang berubah, dan disrupsi teknologi.
Maka itu, Erick mendorong sinergisitas BUMN Karya, Perumahan Nasional (Perumnas), Bank Tabungan Negara (BTN), Kereta Api Indonesia (KAI), Perusahaan Listrik Negara (PLN), dan Telkom. Ia berharap, sejumlah perusahaan negara tersebut memberikan one stop solution kepada generasi Z, agar dimudahkan dalam mendapatkan tempat tinggal maupun pekerjaan.
Erick menilai sinergisitas itu akan berdampak bagi generasi Z. Seperti harga rumah yang terjangkau dan efisiensi akses transportasi, yang mempermudah pekerjaan.
Tapi, tampaknya permasalahan kami, generasi Z, tidak akan terjawab. Selama harga KPR tidak diturunkan, dan penghasilan tidak ditingkatkan sesuai wilayahnya. Jadi, apakah ada solusi lain yang ditawarkan, agar kebutuhan hidup tercukupi dan hak kami untuk memiliki rumah dapat terpenuhi?
Ilustrasi oleh: Karina Tungari
Comments