Indeks PBB untuk Ketidaksetaraan Gender menempatkan Indonesia dalam peringkat 116 dari 189 negara dalam hal kepemimpinan perempuan, dilihat dari indikator pembangunan sumber daya manusia, pemberdayaan perempuan, dan partisipasi dalam lapangan pekerjaan formal.
Dalam dunia kerja formal, data Badan Pusat Statistik pada 2019 menunjukkan partisipasi angkatan kerja perempuan adalah 55,5 persen, jauh lebih kecil daripada laki-laki yang mencapai 83,18 persen. Di ranah politik dan pemerintahan, hanya ada 20,5 persen wakil perempuan di parlemen dan 6 persen kepala daerah perempuan.
Situasi inilah yang mendorong Yayasan Plan Internasional Indonesia untuk meluncurkan Girls Leadership Academy (GLA) pada 2016, sebuah program yang mengajarkan berbagai keterampilan kepada perempuan berusia 13-30 tahun untuk menjadi seorang pemimpin.
Plan, organisasi nirlaba berfokus pada hak anak dan kesetaraan bagi anak perempuan, mencatat bahwa stigma kerap kali dilekatkan pada perempuan yang ingin menjadi pemimpin. Tantangan lain adalah, satu dari tujuh anak perempuan di bawah usia 18 tahun harus menjalani pernikahan, yang berakibat pada tertutupnya akses pendidikan untuk anak perempuan dan menghambat kesempatan perempuan untuk menjadi pemimpin.
Baca juga: Plan International Indonesia Produksi Film Stop Perkawinan Anak
Di tatanan masyarakat yang masih patriarkal mendorong perempuan agar berani bermimpi menjadi pemimpin adalah hal yang harus ditanamkan sejak dini, sehingga di usianya yang masih muda perempuan sadar bahwa kesempatan menjadi pemimpin terbuka untuk siapa saja. Berangkat dari permasalahan tersebut Yayasan Plan Internasional Indonesia membuat
Direktur Eksekutif Yayasan Plan Internasional Indonesia Dini Widiastuti mengatakan, perempuan harus didorong agar berani bermimpi jadi pemimpin sejak dini. Ia menambahkan, kemampuan kepemimpinan perempuan sudah seharusnya tak lagi dipandang sebelah mata, terbukti dari keberhasilan sejumlah pemimpin perempuan dalam menangani pandemi COVID-19.
“GLA ini memfasilitasi perempuan muda untuk berani menjadi pemimpin. Tentu kita bekali dengan materi yang bisa membangun kepercayaan diri mereka dan management skill yang mumpuni. Untuk tahun ini temanya mendorong perempuan untuk lebih berani speak up,” ujar Dini dalam webinar bertema Girls Power to Unlimitedly Speak Up (30/5).
Naura, 18, alumni GLA tahun lalu mengatakan dirinya merasa cukup terbantu setelah mengikuti program tersebut yang bertema Girls Take Over. Ia mengatakan banyak belajar cara memimpin saat menjadi Pemimpin Redaksi Media Indonesia selama sehari penuh.
“Yang jelas aku belajar banyak dari program ini, diajari skill leadership dan makin termotivasi untuk melanjutkan pendidikan ke universitas bagus,” ujar Naura.
Bagaimana berani bersuara
Jurnalis dan aktivis lingkungan Prita Laura mengatakan, perlu waktu baginya untuk akhirnya berani bersuara. Ia sempat kesulitan berkomunikasi dan gagap bicara saat anak-anak. Keberanian Prita muncul saat beranjak dewasa, ketika ia sadar bahwa jika dirinya ingin membawa perubahan, maka ia harus berani bersuara terlebih dahulu.
“Bagaimana kita bisa menjadi pemimpin dan mengubah sesuatu kalau kita enggak bersuara? Kemampuan komunikasi yang baik akan menciptakan pemimpin yang mampu mengubah orang di sekitarnya,” ujar Prita.
Baca juga: Meneladani Kepemimpinan Jacinda Ardern di Tengah Pandemi
Ia mencontohkan aktivis lingkungan hidup Swietenia Puspa Lestari, 25, yang bersuara dan melakukan aksi memunguti sampah di laut sambil menyelam sejak mahasiswa. Konsistensinya menyuarakan isu sampah laut akhirnya mulai didengar banyak orang, sampai akhirnya ratusan orang mau bergerak bersamanya membuat perubahan.
“Ada juga Kinara, perempuan 11 tahun yang juga mengkampanyekan isu lingkungan di media sosialnya. Sekarang sudah banyak yang mengapresiasi dirinya,” kata Prita.
“Percayalah, kekuatan bersuara dengan komunikasi yang baik pasti bisa membawa perubahan asal kita mau konsisten. Suarakan apa yang selama ini bikin kamu bungkam,” tambahnya.
Seniman dan aktivis gender Kartika Jahja mengatakan, menjadi seorang pemimpin harus dimulai dengan penerimaan terhadap diri sepenuhnya.
“Masyarakat memang masih menitikberatkan nilai perempuan pada penampilan fisiknya, tidak terkecuali di lingkungan kerja dan pendidikan. Padahal kita punya kualitas lain seperti cerdas, kreatif, bertanggung jawab, tapi yang di-highlight tetap cantiknya,” ujar Kartika.
“Jadi perempuan itu... yang penting harus cantik, selalu jaga penmpilan, berpakaian sopan, tapi tetap enak dipandang, harus terlihat seksi tapi jangan murahan.. Jadi tubuh perempuan ini milik siapa? Kita rebut lagi kapasitas dan kemampuan perempuan sebagaimana mestinya,” ia menambahkan.
Dosen, peneliti dan pemenang kompetisi For Women In Science (FWIS) Sri Fatmawati mengatakan sifat perempuan yang berani dan tidak banyak rasa takut memang sudah seharusnya dipupuk sedini mungkin. Ia yang sedari kecil tertarik pada obat-obatan tradisional memilih bidang sains sebagai jalan hidupnya meskipun dunia sains terkenal amat maskulin.
“Ya, stigma pasti selalu ada karena saya perempuan, dan tidak mudah melawan stigma. Fokus dengan menuntut ilmu dan berkarya, jangan dengar apa yang orang lain nilai dari kita. Misalnya ada yang bilang perempuan sekolah jangan tinggi-tinggi, nanti susah dapat jodoh, ya jangan didengerin. Perempuan itu ya mau jadi peneliti sambil menikah juga bisa, saya waktu ngerjain tesis sama disertasi malah lagi hamil, ya bisa-bisa aja,” ujar Fatma.
Comments