Sebuah artikel di The New York Times berjudul “Why Women Do Household Worrying, (and how to get men to do more of it)” menarik perhatian saya akhir pekan lalu. Ditulis berdasarkan pengalaman sang penulis, Jessica Grose, saya tidak berhenti menganggukkan kepala membacanya, terutama pada bagian, “Dalam sebagian besar pengerjaan urusan rumah, kami [suami-istri] cukup setara, saya barangkali melakukan pekerjaan rumah tangga lebih banyak dan dia mengasuh anak… tetapi tetap saja beban mental [mental load] lebih berat saya pikul.”
Saya lantas membagikan unggahan tersebut lewat Instagram Story saya, dan beberapa kawan yang juga seorang ibu mengafirmasinya. Ada seorang kawan yang bercerita bagaimana ia yang mesti memikirkan menu, urusan kebutuhan pakaian si anak, dan hal perintilan lainnya, tetapi tidak demikian dengan bapak si bocah.
Saya kemudian gantian curhat soal pengalaman saya sebagai ibu bocah 20 bulan, yang juga harus lebih banyak memikirkan keperluan anak, mulai dari urusan belanja, kecukupan nutrisi dalam makanan kami, stok popok dan susu, isi tas yang harus dibawa ke daycare, update soal aktivitas si bocah dari pihak daycare, hal apa yang mesti dilakukan kalau dia sakit, dan berbagai hal “kecil” lainnya.
Kalau kita iseng cari kata kunci motherhood mental load atau sejenisnya di Google, tidak susah menemukan kisah-kisah serupa dan aneka penjelasan di baliknya. Persoalan beban mental ibu sudah jadi isu sejak lama, tapi sebagaimana peran perempuan lainnya, hal ini masih sering diwajarkan, luput dari perhatian, atau bahkan dinafikan sama sekali. Tidak heran kan, masalah depresi pada ibu terus saja muncul dari tahun ke tahun, bahkan bertambah seiring kondisi pandemi yang mengharuskan banyak ibu bekerja dari rumah.
Beban Tak Kasatmata yang Tiap Hari Ibu Pikul
Grose menyebut beban mental sebagai kombinasi kecemasan dan perencanaan yang jadi bagian pengasuhan. Berdasarkan wawancaranya dengan kandidat Ph.D. Sosiologi dan Kebijakan Sosial dari Harvard University, Allison Daminger, Grose menulis bahwa beban mental ini ialah kerja kognitif yang terbagi jadi empat bagian: Antisipasi, identifikasi, pengambilan keputusan, dan kegiatan memonitor. Terdengar tidak asing, ‘kan, ibu-ibu?
Pernah lihat meme seorang bapak mencari sesuatu buat anaknya dan sang ibu lah yang bisa menemukannya? Pernah lihat juga bagaimana laki-laki kewalahan menghadapi bocah tantrum dan tidak tahu maunya apa, tapi sang ibu langsung tahu apa yang dibutuhkan si bocah?
Berapa banyak di sini perempuan yang pasangannya secara rutin sadar dan berinisiatif menyetok persediaan kebutuhan rumah (mulai dari sabun cuci, makanan segar untuk mengisi kulkas, hingga snack buat si bocah) atau kapan harus mencuci baju yang sudah menggunung?
Atau bila saya balik pertanyaannya, berapa banyak perempuan yang harus lebih dari sekali menginstruksikan pasangannya untuk “sekadar menolong” membeli ini itu, mengelap meja yang sudah kotor dan berkerak, memperbaiki hal yang sudah hitungan minggu rusak, atau membuang sampah, menaruh handuk dan baju kotor di tempatnya?
Kedengarannya memang seperti masalah-masalah kecil dalam keseharian. Tapi setelah itu terjadi dalam hitungan tahun, rasa pegal hati tidak terhindarkan. Kerja kognitif yang dilakukan para ibu ini jelas tak kasatmata sehingga sering kali tak dihitung kerja, apalagi menghabiskan energi. Padahal kenyataannya sebaliknya.
Dalam sebuah obrolan Instagram Live saya dengan Kokok Dirgantoro, seorang ayah dan juga CEO Opal Communication yang menginisiasi kebijakan cuti ayah sebulan dan ibu melahirkan enam bulan, ia “mengajarkan” bapak-bapak untuk mengambil baju dengan benar supaya tidak merepotkan istri mereka.
“Jadi diangkat dulu baju atasnya, baru ambil baju yang mau dipakai. Jangan langsung ditarik,” kata dia. Sebuah hal yang harusnya jadi common sense bagi tiap orang, tapi masih saja mesti diajarkan atau diingatkan kembali kepada laki-laki.
Lebih lanjut dia bercerita tentang bagaimana karyawannya yang mengambil cuti ayah didorong untuk tahu berbagai hal soal pemenuhan kebutuhan istrinya yang baru melahirkan dan cara mengurus bayi.
Baca juga: Laki-laki Lakukan Kerja Domestik Tak Istimewa, Berhenti Merayakannya
Kenapa Beban Mental Ibu Lebih Berat?
Cerita seperti yang disampaikan Kokok atau kisah-kisah ibu dengan beban mental berlapis tidak akan muncul bila realitasnya laki-laki dan perempuan sudah by default tahu apa yang mesti dikerjakan dalam rumah tangga, atau peran gender tradisional tidak lagi diterapkan sampai sekarang.
Sebagai pemakluman (tapi bukan pembenaran), laki-laki kebanyakan tidak dididik untuk mengurus pekerjaan rumah tangga atau in-charge banyak dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Mereka tumbuh dengan “cekokan” laki-laki harus jadi kepala rumah tangga, pencari nafkah utama, dan lebih dominan dalam keluarga. Urusan domestik jadi ranahnya perempuan, dan kalau ada apa-apa yang tidak ada atau tidak seharusnya terjadi, perempuanlah yang pertama kali dipertanyakan dan dipersalahkan.
Selain itu, perempuan juga dilekatkan dengan stereotip lebih jago multitasking. Jadi, tidak heran banyak masyarakat yang berharap mereka lebih mampu mengelola banyak pekerjaan rumah, plus bisa juggling dengan pekerjaan kantor kalau mereka memutuskan bekerja.
Bagi banyak perempuan, bisa multitasking adalah suatu kebanggaan dan kelebihan tersendiri yang mereka rayakan. Tapi sebagian lainnya menderita karena stereotip itu. Atau malah, sebenarnya mereka yang bangga bisa multitasking itu diam-diam tepar dan menangis juga, tapi tidak memperlihatkannya ke permukaan karena ibu mesti tangguh, ibu harus lebih sempurna.
Soal perempuan yang idealnya lebih jago mengasuh juga tidak lepas dari stereotip perempuan berkarakter lebih nurturing, sehingga wajar mereka lebih paham apa yang dibutuhkan anak. Tapi sebenarnya, kemampuan merawat ini bukanlah sesuatu yang mutlak “dari sononya” dan tidak bisa dipelajari. Siapa pun bisa mengasahnya. Seperti gambaran sebuah iklan Gojek x Alfamart edisi Hari Ibu beberapa tahun lalu, di mana seorang laki-laki mengambil peran sebagai ibu dan itu oke-oke saja.
Ada juga anggapan perempuan lebih sensitif sehingga wajar mereka lebih banyak berinisiatif dalam mengelola kebutuhan rumah tangga. Sampai-sampai Grose menyatakan, perempuan punya “antena” yang bisa lebih cepat menangkap persoalan di rumah, sementara laki-laki tidak demikian. Apakah laki-laki pernah memikirkan soal ini?
Lagi-lagi, soal sensitivitas adalah kemampuan yang bisa diasah, dimulai dari rajin mengamati sekitar. Toh, yang menikmati dan memakai segala kebutuhan rumah tangga tidak cuma perempuan. Maka sudah seyogianya siapa pun yang terlibat di dalam rumah juga aware apa yang mesti dicukupi, apa yang dapat dilakukannya untuk membantu pasangan atau anak, tanpa harus menunggu instruksi dulu.
Tapi ‘kan itu idealnya. Realitasnya, masih banyak laki-laki yang alpa akan hal ini. Dan tentu saja, yang sering kita dengar, alasannya adalah “Kami kan bukan cenayang, bisa baca pikiran kamu”. Maka, satu-satunya jalan adalah mengomunikasikan segala yang kita butuhkan dari partisipasi pasangan.
Sekecil atau sebesar apa pun itu, karena hanya sebagian perempuan beruntung yang bisa mendengar pasangannya berinisiatif bertanya tanpa menunggu ia mengeluh dulu, “Apa yang kamu butuhkan sekarang?” pada saat ia sudah burn out karena kerja rumah dan publiknya, atau karena isu lain yang membuatnya sulit melakukan aktivitas dengan normal.
Buat catatan kalau perlu. Karena kita tahu, baik laki-laki atau perempuan, apalagi yang bekerja, pasti punya banyak hal dalam pikirannya yang harus diselesaikan. Dan percayalah, alasan pasangan lupa hanya akan jadi mercon sendiri dalam relasi ketika urusan soal anak berantakan atau rumah keteteran.
Baca juga: Ibu Bekerja Rentan Terkena Gangguan Mental
Dampak Beban Mental Berlebih bagi Ibu
Kerja kognitif yang melibatkan perencanaan dan pengelolaan banyak hal rumah tangga sebagai ibu tentu saja sangat menguras energi. Tidak hanya kelelahan fisik, beban mental ini juga kerap berelasi dengan tingkat kecemasan ibu yang tinggi.
Kecemasan tinggi ini tidak hanya dialami oleh para ibu dengan anak di atas usia dini. Sejak anak mereka masih bayi pun, tidak sedikit ibu yang tertekan, yang salah satu faktornya bisa jadi tanggung jawab besar sesuai peran gender tradisional dan kurangnya sistem pendukung di sekitarnya.
Dalam artikel yang dirilis The Conversation tahun 2019, dinyatakan bahwa di negara berkembang, gangguan kecemasan dan depresi pada ibu rata-rata sebesar 15,6 persen saat hamil dan 19,8 setelah melahirkan. Sebanyak 22,4 persen ibu mengalami depresi setelah melahirkan.
Beban mental yang bisa memicu gangguan kesehatan jiwa ibu juga berpengaruh terhadap relasinya dengan pasangan. Sikap benci dan amarah berlebihan terhadap pasangan yang lahir dari rasa letih luar biasa bukanlah hal langka ditemukan pada para ibu, apalagi yang baru punya anak.
Efek domino juga terlihat dari bagaimana sang ibu kemudian mengasuh anaknya. Ketika beban mental sudah memuncak, kemampuannya untuk mengelola emosi dan kesabaran, serta membuat keputusan dengan baik terkait anak juga akan terdampak.
Seiring dengan itu, saat kebutuhan rumah atau anak gagal terpenuhi, karena ekspektasi masyarakat terhadap peran ibu, perempuan sering kali dihujani rasa bersalah. Kredo “moms know best” bisa jadi menguatkan, tapi di lain sisi bisa terasa menyakitkan sekali saat kegagalan demi kegagalan dihadapi seorang ibu. Padahal kita tahu, ibu bukanlah superhero. Kalaupun ia superhero, dia masih bisa berdarah dan kesakitan, kan? Itu tidak membuatnya jadi ibu atau perempuan yang buruk.
Menyadari jamaknya persoalan ini, saya pikir perlu lebih banyak yang memperbincangkan soal beban tak kasatmata sebagai ibu ini dan mengantisipasinya. Di samping itu, solidaritas sesama ibu menjadi hal lain yang bisa mendukung perempuan saat mereka goyah atau meragukan kemampuannya sebagai ibu.
Hai perempuan, kamu tidak sendirian. Bicarakan dan bagilah beban ini, karena tidak mengapa mengaku diri letih. It doesn’t make you less of a mother.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments