Sejak awal Mei lalu, sejumlah warga di Jabodetabek mengeluhkan cuaca panas yang menyengat di daerah perkotaan.
Ternyata ini tak hanya dialami sebagian orang. Badan Klimatologi Meteorologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan suhu panas memang terjadi di beberapa tempat di Sumatera dan bagian selatan Indonesia: seperti di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Melalui keterangan tertulis, BMKG melaporkan setidaknya 8 stasiun cuaca mencatat suhu udara maksimum >35°C. Dua stasiun yakni Kalimaru (Kalimantan Timur) dan Ciputat (Banten) bahkan mencatat suhu tertinggi mencapai 36°C selama beberapa hari.
Baca juga: 'Saya dan Keadilan': Ubah Paradigma Lingkungan yang Berpusat pada Manusia
Namun, BMKG tak mencatat ini sebagai kejadian ekstrem, misalnya panas yang diakibatkan gelombang panas. Menurut pelaksana tugas Deputi Klimatologi BMKG, Urip Haryoko, peningkatan suhu pada bulan Mei merupakan hal yang wajar karena posisi gerak semu matahari.
Ini diperparah adanya pusaran angin kembar (double vortex) di kawasan barat Sumatra dan bagian utara Kalimantan yang menyebabkan angin di sebagian Jawa dan Sumatra menjadi lemah. Akhirnya, udara dan panas cenderung tidak bergerak ke mana-mana.
Panas juga kian menyiksa karena kelembaban udara yang tinggi, terutama di kawasan pesisir. “Lebih hangatnya suhu muka laut (yang terdeteksi) di wilayah Samudera Hindia di sebelah barat Sumatera dan Laut Jawa. Hal ini akan menambah suplai udara lembab akibat penguapan yang lebih intensif dari permukaan lautan,” kata Urip, dalam keterangan tertulis.
Baca juga: Bencana Hingga Kematian di Depan Mata, Kenapa Kita Masih Cuek pada Krisis Iklim?
Dosen Program Studi Meteorologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Joko Wiratmo, membenarkan faktor di atas sebagai pemicu cuaca panas di sebagian wilayah di Indonesia.
Namun, dia menduga faktor pemicu sebenarnya lebih dari itu, terutama di perkotaan yang dipadati bangunan dan aktivitas manusia. “Tutupan lahan yang berubah mengakibatkan kota-kota besar mengalami ‘heat islands’. Ini terjadi ketika wilayah urban suhunya cenderung lebih tinggi dibanding wilayah sekitarnya,” tutur Joko saat dihubungi.
Apa itu Heat Islands?
Pengertian heat islands merujuk pada suatu kawasan perkotaan yang lebih panas dibandingkan daerah sekitarnya karena aktivitas manusia.
Menurut Joko, fenomena tersebut merupakan imbas dari gugurnya pohon-pohon di kawasan perkotaan, yang berganti menjadi bangunan, jalan raya, pabrik-pabrik, serta peruntukan lainnya. Panas juga berasal dari emisi sektor industri, pembangkit listrik, dan transportasi pribadi maupun umum.
Serangkaian aktivitas manusia itu kemudian membuat panas terperangkap ke permukaan. Temperatur dapat semakin tinggi jika banyak awan-awan tipis yang membuat udara terperangkap di kawasan kota.
Fenomena ini, kata dia, sudah terjadi di kota besar di tanah air seperti Jabodetabek, Bandung, Semarang, Medan, sampai Makassar. Banyak juga penelitian yang mengonfirmasi fenomena ini sebagai biang keladi panasnya suhu perkotaan.
Di Jakarta, misalnya, riset merekam temperatur permukaan yang melebihi 30°C pada 2008 melingkupi 36,5 persen wilayah ibu kota (23.846 hektare). Lima tahun berselang, temperatur ini sudah meluas ke 84,7 persen wilayah DKI (55.340 hektare).
Kejadian ini diakibatkan maraknya ekspansi bangunan di Jakarta. Ini juga termasuk berkurangnya perairan dan kawasan pertanian.
Selain alih fungsi lahan, bentuk bangunan dan penempatannya juga berpengaruh terhadap daya dukung suatu kawasan untuk mengendalikan temperatur. Pengajar senior dari James Cook University di Australia, Taha Chaiechi, menampilkan risetnya di Cairns, Australia, yang menemukan bahwa bangunan-bangunan dan tata kota mempengaruhi laju angin, sinar matahari, dan tutupannya sehingga berdampak pada temperatur kota.
Bukan hanya cuaca panas, heat islands akibat penggunaan lahan juga berdampak peningkatan curah hujan ekstrem di Jakarta dan sekitarnya selama 1961-2010. Curah hujan ekstrem juga dipicu peningkatan konsentrasi nitrogen oksida, sulfur oksida, dan partikel debu – emisi dari pembakaran bahan bakar fossil – di kawasan ini selama 1986-2012.
Baca juga: Ekofeminisme: Perempuan dalam Pelestarian Lingkungan Hidup
Bagaimana Mencegahnya?
Joko menyatakan heat islands dapat diredam dengan cara mengurangi aktivitas manusia. Misalnya dengan mengurangi penggunaan bahan bakar minyak dari transportasi pribadi, ataupun menggunakan listrik dari energi terbarukan.
Pemerintah juga dapat memperbaiki perencanaan tata kota untuk mengurangi risiko panas yang terperangkap di suatu kawasan. Penambahan ruang terbuka hijau juga harus menjadi langkah yang segera ditempuh.
“Penggunaan energi, air, pemanfaatan pangan, bisa diefisienkan. Kalau tiga hal tersebut bisa diefisienkan atau dikurangi, kondisi dunia relatif lebih baik, terutama untuk meningkatkan kenyamanan hidup di kawasan perkotaan,” tutur Joko.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments