Sudah dua dekade MU divonis hukuman mati dengan tuduhan penyelundupan narkotika. Perempuan berusia 42 tahun itu ditangkap oleh Kepolisian Sektor (Polsek) Cengkareng di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Heroin seberat 1,1 kilogram ditemukan dalam tasnya akhir Oktober 2001 silam. Namun, MU yang ditangkap sebenarnya adalah korban yang terjerat sindikat narkotika. MU dijebak oleh pasangannya, Jerry, yang mengaku berkewarganegaraan Kanada.
MU bertemu dengan Jerry di Jakarta setelah bercerai dengan suaminya yang abusif. Mantan pekerja migran di Taiwan tersebut kemudian menjalin hubungan dengan Jerry selama tiga bulan. Mereka lalu memutuskan melancong ke Nepal. Di sana, mereka berlibur selama tiga hari, tetapi Jerry kembali ke Jakarta lebih dulu. MU diminta untuk menunggu di Nepal karena akan diberikan hadiah oleh Jerry.
Seminggu kemudian, ibu dua anak itu lalu menerima ‘hadiah’ tas yang disisipkan heroin. MU pun kembali ke Jakarta membawa tas itu tanpa mengetahui apa-apa. Setelah dituduh menyelundupkan oleh polisi, MU menghubungi Jerry tetapi tidak menerima respons sama sekali. Enam tahun lalu, MU akan dihukum mati di Lapas Nusa Kambangan, Cilacap. Tetapi, di detik-detik terakhir, eksekusi MU ditunda karena menunggu kejelasan dari pihak jaksa.
Baca juga: Negeri Pecinta Mati
MU tidak sendiri menjadi korban yang dijebak sindikat narkotika. Pada 2010, MJV, perempuan asal Filipina mengalami hal yang senada di Bandar Udara Adisutjipto, Yogyakarta. MJV juga seorang pekerja migran yang menjadi korban kekerasan seksual dan KDRT di Abu Dhabi. Perempuan yang saat ini berusia 37 tahun itu melarikan diri dan tetangganya di Filipina, Maria Kristian, menggadang akan membantunya mendapat pekerjaan di Malaysia.
MJV berangkat ke Kuala Lumpur, tapi belum menerima pekerjaan sampai seminggu. Maria Kristian kemudian memintanya ke Indonesia dulu sebelum diberi pekerjaan di Malaysia. Karena telah dijanjikan seperti itu, MJV berangkat ke Indonesia dengan uang saku sebesar US$500 dan diberikan tas yang diselundupkan 2,6 kilogram heroin. MJV tidak tahu tentang itu dan ditangkap oleh polisi.
Lima tahun kemudian, MJV masuk dalam daftar eksekusi di Nusa Kambangan. Sebelum dieksekusi, ada kabar bahwa Maria Kristian menyerahkan diri kepada pihak aparat di Filipina. Eksekusi hukuman mati MJV ditunda, tapi sampai saat ini belum ada kepastian tentang pembebasannya.
Hukuman Mati dan Kerentanan Perempuan
Ketua Komisi Anti-kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andy Yentriyani mengatakan, praktik hukuman mati bertentangan dengan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin hak hidup seseorang. Hak tersebut merupakan sesuatu fundamental yang tidak bisa dikurangi. Selain itu, ia menjelaskan bahwa hukuman mati merupakan puncak diskriminasi dan kekerasan berbasis gender. Pasalnya, dalam kasus yang melibatkan perempuan, mereka menjadi korban kemiskinan, perdagangan orang, dan sistem hukum yang tidak berpihak pada korban.
Baca juga: Surat dari Penjara: Duniaku 1.200 Meter Persegi
“Ini bisa dilihat dalam kasus yang mengambil perhatian publik, seperti MU dan MJV yang menjadi korban perdagangan manusia untuk narkotika. Proses hukuman mereka juga didera ketidakpastian dalam menanti pengampunan dan pelaksanaan eksekusinya,” kata Andy dalam Konferensi Pers ‘Hukuman Mati Puncak Tertinggi Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan’ (11/10) oleh Komnas Perempuan. Konferensi pers tersebut dilaksanakan untuk memperingati Hari Anti Hukuman Mati Sedunia yang jatuh setiap 10 Oktober.
Senada dengan Andy, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Muhammad Afif mengatakan, dalam kasus terpidana mati karena narkotika, perempuan biasanya dijebak oleh pasangan yang mendominasi dalam hubungan. Selain itu, dorongan untuk mendapat upah karena jerat kemiskinan juga menjadi salah satu pemicu perempuan dijebak. Karenanya, perempuan semakin berada di posisi rentan untuk dieksploitasi. Kedua faktor tersebut juga saling berkaitan dengan satu sama lain.
“Ditemukan adanya eksploitasi dan memanfaatkan tubuh perempuan sebagai sumber untuk peredaran gelap. Ada 80 kasus yang memanfaatkan perempuan dan narkotika diselundupkan di pakaian dalam, pembalut, dan vagina,” ujarnya.
Ia melanjutkan, kasus penyelundupan tersebut spesifik menyasar perempuan dan mereka yang terpidana hukuman mati sulit menerima grasi maupun Peninjauan Kembali (PK). Selain itu, mereka yang ditahan juga mengalami gangguan medis dan psikis yang bantuannya tidak diberikan pemerintah. Hal itu mengindikasikan isu hukuman mati menjadi masalah struktural saat ini, ujarnya.
Berkaca dari tanggapan Afif, MU juga mengalami pemeriksaan dan persidangan yang tidak adil. MU menerima serangan fisik dan ancaman pemerkosaan dari pihak kepolisian hingga mengalami gangguan penglihatan. Dalam persidangan, hakim tidak percaya MU adalah korban yang dijebak. Begitu pula dengan MJV yang tidak didampingi dengan penerjemah bahasa Indonesia ke bahasa Tagalog.
Amalia Suri, peneliti dari Imparsial, organisasi non-pemerintah yang fokus pada isu hak asasi manusia mengatakan, ketika MJV divonis hukuman mati, pemerintah malah menyediakan penerjemah bahasa Inggris, sementara MJV tidak memahami bahasa tersebut.
Amalia menambahkan, mengingat eksekusi mati sebagai pelanggaran hak dasar manusia, vonis hukuman mati harus dihapuskan. Pemidanaannya pun ditujukan untuk koreksi sosial, alih-alih lembaga pemasyarakatan untuk membantu orang beruah secara baik.
“Pemerintah tidak mendorong restorative justice, Indonesia malah melihat hukuman mati sebagai jalan pintas karena malas mengoreksi hukum dan mengabaikan hak terpidana seperti akses ke pengacara, penerjemah, dan kunjungan dari kedutaan,” ujarnya.
“Hukuman mati di Indonesia adalah mata dibalas mata,” imbuhnya.
Baca juga: Diskriminasi terhadap Perempuan dalam Ambisi Menciptakan Dunia Bebas Narkotika
Hukuman Mati Tidak Efektif
Ahmad Taufan Damanik, Ketua Komnas Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan, sudah ada 144 negara yang menghapuskan praktik vonis hukuman mati. Namun, Indonesia belum melihatnya sebagai praktik yang memang harus dihapuskan, walaupun menurut riset yang dilakukan media Kompas, sudah terdapat lebih dari 40 persen warga negara yang menolak praktiknya.
Menurut Laporan Pemantauan Dampak Hukuman Mati Terhadap Pekerja Migran dan Keluarga oleh Komnas Perempuan, vonis hukuman mati di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Tahun 2018 sejumah 48 vonis, 2019 sebesar 80, dan 2020 sebanyak 117 vonis. Sedangkan di wilayah Asia Pasifik, terdapat 1.227 vonis hukuman mati pada 2019 dan mengalami penurunan menjadi 517 vonis pada 2020.
Ahmad juga mengatakan, di mata dunia, pemerintah Indonesia menjadi ambigu dan kontradiktif ketika berjuang untuk mencegah hukuman mati kepada warga negara Indonesia di negara lain. Sementara di negeri sendiri, Indonesia tidak memberikan grasi kepada terpidana hukuman mati dari negara lain.
“Komnas HAM terus mendorong agar dihapuskan dari hukum kita, tapi dari segi politik banyak yang masih menganggapnya penting dan efektif untuk tindak pidana tersebut. Ambiguitas sering terjadi dan belum melakukan kajian menyeluruh apakah ada efek jera,” ujarnya.
Hukuman mati tidak menjadi jawaban dalam mengakhiri pengedaran narkotika di Indonesia. Karenanya, pemerintah sebaiknya melakukan penyelidikan dari korban atau orang-orang yang mengedarkan untuk mencari tahu dalangnya. Selain itu, hukuman mati untuk aksi terorisme juga sudah dibuktikan tidak efektif.
“Hukuman mati ini kompleks. Peredaran narkotika juga tinggi karena tata kelola yang buruk. Terdakwa terorisme juga suka dengan hukuman mati karena itu menjadi tujuan akhir mereka dan bersyukur karena jihad,” ujarnya.
Tiasri Wiandani, Komisioner Komnas Perempuan mengatakan, pemerintah dan DPR RI perlu melakukan moratorium dan meninjau ulang kasus hukuman mati dengan memenuhi hak terpidana. Selain itu, pihaknya berharap agar pemerintah juga segera memberikan grasi kepada korban perempuan yang sudah lebih sepuluh tahun nasibnya terombang-ambing karena vonis hukuman mati, seperti MU dan MJV.
Pemerintah pun perlu segera melakukan reformasi kebijakan anti-hukuman mati dalam RKUHP dan melaksanakan ratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan. Upaya ini pun menjadi krusial mengingat dampak psikis yang dialami terpidana dan keluarganya.
“Hukuman mati bentuk ketidakadilan negara untuk menjalankan mandat UUD 1945, menggunakan alasan efek jera yang sudah terbantah dengan beberapa bukti. Kejahatan dan tindak pidana juga tidak mengalami penurunan dan masih dilanggengkan,” ujar Tiasri.
Comments