Dua belas tahun program wajib belajar saya habiskan separuh awalnya di sekolah swasta, dan sisanya di sekolah negeri, keduanya di Bogor, Jawa Barat. Salah satu kesimpulan yang saya dapatkan adalah bahwa masyarakat dan pemerintah sangat menjunjung tinggi nilai agama, sampai menyertakannya ke dalam kurikulum sekolah.
Setiap minggunya, ada satu sampai dua kali pelajaran agama yang wajib diikuti. Berbagai praktik ibadah sampai hafalan doa/surat kami pelajari dan lakukan. Di satu hari khusus bahkan kami diwajibkan mengenakan atribut yang menunjukkan identitas agama kami. Kalau atribut itu tidak dikenakan, akan ada barisan panjang guru yang mengomeli mereka yang melanggar. Saya, misalnya, selalu jadi santapan renyah para guru karena jarang memakai kerudung di hari Jumat. Sangat mencerminkan bagaimana sekolah menganggap agama sebagai nilai yang penting, bukan? Tapi itu hanya bisa dirasakan oleh siswa yang berasal dari kelompok agama mayoritas. Dalam kasus saya, yaitu yang beragama Islam.
Sejak saya masuk kuliah tiga tahun lalu sampai sekarang, sekolah-sekolah belum sepenuhnya mengakomodasi perbedaan dalam konteks kesetaraan. Saya dan teman-teman saya yang muslim bisa mendapatkan pelajaran agama setiap minggu yang terjadwal secara tertulis, juga sudah memiliki gurunya sendiri. Tapi tidak demikian halnya dengan teman-teman saya yang beragama Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, dan penghayat kepercayaan (setidaknya yang diakui negara).
Kebanyakan pelajaran agama lain itu diadakan di luar jam pelajaran umum. Guru yang mengajar mereka juga bukan guru yang khusus mengajar di dalam sekolah, melainkan didatangkan dari instansi/organisasi tertentu. Bahkan ada agama tertentu yang pelajarannya sama sekali tidak diadakan di dalam sekolah. Jangankan terjadwal, sekolah bahkan tidak menyediakan guru khusus agama itu, sehingga para siswa harus mengenyam pelajaran agama di sekolah agama yang berada di luar sekolah utama. Karenanya, nilai yang kelak mereka peroleh di akhir merupakan nilai yang ditransfer dari sekolah agama mereka ke sekolah umum. Dengan kata lain, untuk mendapatkan nilai pelajaran agama yang tertulis, murid-murid dari kelompok agama minoritas harus pergi ke luar sekolahnya sendiri, meluangkan lebih banyak waktu, tenaga, dan uang di luar waktu sekolah.
Baca juga: Norma Sosial Paksa Siswi Non-Muslim di Bangkinang, Riau, Berhijab
Ada satu cerita yang mencengangkan buat saya. Seorang teman pernah bercerita bahwa nilai mata pelajaran agamanya–yang ditransfer dari sekolah agama ke sekolahnya–dikurangi oleh pihak sekolah karena “tidak percaya” bahwa nilai teman saya sebagus itu. Tak beberapa lama, saya mendengar cerita serupa dialami oleh teman saya yang lainnya. Tak banyak yang bisa mereka lakukan, karena pihak sekolah merasa “tidak perlu tahu” bagaimana prosesnya sampai nilai itu keluar.
Padahal, kalau saja sekolah menyediakan guru, jadwal, dan fasilitas lain yang menunjang pelajaran semua agama–bukan hanya satu agama yang katanya mayoritas– tentu murid-murid ini tidak harus mengambil pelajaran agama di luar sekolah. Sekolah juga jadi bisa melakukan dan menyaksikan langsung proses penilaian. Tapi kenyataannya, kan, tidak begitu. Apakah secara sepihak menurunkan nilai murid, padahal solusinya ada di depan mata tapi tidak sekolah lakukan, adalah hal yang bisa dibenarkan? Saya rasa tidak. Apa jangan-jangan, ini adalah bukti lain bahwa institusi pendidikan tidak ramah pada perbedaan? Entahlah. Yang jelas, hal-hal yang saya sebutkan di sini hanya sebagian kecil dari kenyataannya di lapangan.
Belum lagi kalau kita bicara hak dan akses murid untuk beribadah. Ketika sekolah hanya memfasilitasi pembelajaran agama bagi sebagian kelompok, maka sekolah juga sudah membatasi akses beribadah murid-murid dari kelompok agama lainnya. Ketika saya dan teman-teman saya yang muslim bisa belajar agama di dalam kelas, di dalam jam belajar-mengajar di sekolah, berarti akses kami untuk beribadah telah diakomodasi oleh sekolah. Tapi sekolah tidak mengakomodasi akses murid dari agama-agama lain untuk beribadah. Mereka bahkan harus mengikuti kelas agama di luar jam belajar-mengajar. Hari-hari besar keagamaan mereka juga tidak selalu dirayakan sekolah. Oh, dan jangan lupakan fakta bahwa sekolah biasanya hanya menyediakan satu rumah ibadah (untuk yang mayoritas).
Baca juga: Konservatisme Agama di Sekolah dan Kampus Negeri Picu Intoleransi
Waktu saya mendiskusikan isu ini dengan teman-teman yang berbeda agama dengan saya, bukannya jadi merasa semangat buat menegakkan keadilan, saya malah merasa miris dan sedih atas jawaban mereka. Kebanyakan dari mereka pasrah dan bilang, “Ya, mau gimana lagi, Sel? Namanya juga gue kan minoritas.” Padahal, sedikit dari segi kuantitas bukan validasi dari kebijakan yang diskriminatif atau tidak akomodatif terhadap pemenuhan hak mereka. Di sisi lain, saya salut dengan mereka yang bisa tetap berlapang dada sekaligus konsisten dengan ajarannya di tengah lingkungan yang tidak ramah bagi minoritas.
Menyertakan pendidikan agama ke dalam kurikulum sekolah merupakan cerminan kepercayaan pemerintah yang menilai agama sebagai komponen penting dalam kehidupan warga negara. Tapi mengapa hanya sebagian pengajaran agama yang terfasilitasi dengan baik, sementara sebagian lainnya tidak mendapatkan fasilitas yang sama memadainya? Padahal sekolah adalah institusi formal yang secara langsung bersinergi dengan pemerintah. Segala jargon, sistem, sampai semboyan yang negara ini koarkan adalah persatuan di tengah perbedaan.
Sebagai lembaga pendidikan, sekolah adalah institusi pertama yang seharusnya mempromosikan nilai dan esensi keberagaman secara berimbang. Apalagi kalau kita bicara sekolah negeri, turunan langsung dari negara. Kalau memang negara menganggap agama sebagai hal yang sangat penting dan mendasar, bukankah sudah seharusnya negara juga mengakomodasi hak beribadah yang setara bagi seluruh kelompok agama, bukan hanya sebagian? Ini juga seharusnya berlaku di semua tempat tanpa memandang agama mana yang jumlah pemeluknya mayoritas dan minoritas. Sudah seharusnya penanaman nilai-nilai moral dan sosial di sekolah dilakukan adil tanpa membeda-bedakan latar belakang muridnya.
Comments