Women Lead Pendidikan Seks
November 26, 2018

Infrastruktur Kurang Memadai Dorong Tingginya Kekerasan terhadap Perempuan

Pembangunan infrastruktur di Indonesia terlalu maskulin, kurang memperhatikan kebutuhan perempuan dan tidak memperlihatkan representasi perempuan.

by Amel
Issues // Politics and Society
Share:

Infrastruktur publik yang kurang memadai dinilai menjadi salah satu penyebab terjadinya pelecehan seksual dan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, menurut studi Badan PBB untuk Perempuan dan Kesetaraan Gender, UN Women Indonesia. Hal ini juga menghambat potensi perempuan dan anak perempuan untuk maju dari berbagai sektor, mulai dari pendidikan hingga ekonomi, serta pengabaian hak-hak perempuan.

Pada 2017, UN Women Indonesia melakukan studi sebagai upaya untuk menciptakan kota yang aman dan inklusif untuk perempuan dan anak perempuan, yakni di Jakarta Utara, Jakarta Barat, dan Jakarta Selaran.

Program Officer UN Women Indonesia Irianto Almuna mengatakan, temuan dari hasil studi tersebut adalah adanya hubungan yang kuat antara infrastruktur publik yang tidak memadai dengan kekerasan terhadap perempuan.

“Kami menemukan adanya kejadian pelecehan seksual, salah satunya terjadi di transportasi publik. Namun selain transportasi, pelecehan dan kekerasan seksual bisa terjadi di akses menuju transportasinya. Misalnya di jembatan penyeberangan yang kurang penerangan,” ujar Irianto di Jakarta, Kamis (22/11).

Ia berbicara dalam diskusi “Infrastruktur Untuk Semua: Kota yang Aman dan Inklusif Untuk Perempuan dan Anak Perempuan”, yang diadakan oleh UN Women Indonesia dan Kemitraan Indonesia Australia untuk Infrastruktur (KIAT), dalam rangka memperingati kampanye tahunan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKtP).

“Temuan lainnya, responden kami bercerita, paling tidak hampir semua pernah mengalami pelecehan verbal, seperti pelucahan atau catcalling,” katanya.

Selain mengalami pelecehan, ungkap Irianto, para responden juga mengatakan bahwa mereka sering menyaksikan perempuan yang mengalami pelecehan seksual di ruang publik, seperti di trotoar, atau oleh sesama penumpang di transportasi publik.

“Karena hal ini sudah sangat sering terjadi, tidak ada tindakan, dan adanya kecenderungan untuk menyalahkan korban, maka hal ini dianggap sebagai hal yang normal dan biasa, padahal itu parah. Karenanya, ketika perempuan mengalami kekerasan atau pelecehan seksual di ruang publik, mereka tidak berani melaporkan,” kata Irianto.

Pun ketika perempuan melapor, tambahnya, mereka takut disalahkan, atau ditanyakan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan korban seperti pakaian apa yang dipakai ketika kejadian. “Jadi dari studi kami, ada kecenderungan victim blaming,” kata Irianto.

Dari studi tersebut, Irianto menyampaikan beberapa rekomendasi, yang paling utama adalah peningkatan keamanan di transportasi dan infrastruktur publik lainnya.

Tahun lalu, UN Women bekerja sama dengan Transjakarta untuk melatih para petugas agar menjadi orang yang paling pertama kali bertindak atau tahu harus melakukan apa ketika ada kejadian pelecehan atau kekerasan seksual di Transjakarta. Selain itu, UN Women dan Transjakarta juga melakukan kampanye publik bagi sesama penumpang agar proaktif dan melakukan  intervensi ketika terjadi kekerasan atau pelecehan seksual.

Rekomendasi selanjutnya adalah adanya dorongan partisipasi publik, terutama keterlibatan perempuan dalam perencanaan kota agar hasil infrastruktur ramah perempuan dan anak perempuan.

Baby Setiawati Dipokusumo, Staf Ahli Bidang Sosial Budaya dan Peran Masyarakat di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), mengatakan bahwa kesetaraan dan pengarusutamaan gender dalam pembangunan yang berkelanjutan sudah masuk dalam Rencana Strategis (Renstra) PUPR 2015 sampai 2019.

“[PUPR] berkewajiban membangun infrastruktur yang berkelanjutan melalui pembangunan yang terpadu, efektif, efisien, dengan memperhatikan pengarusutamaan gender serta tata kelola pemerintahan yang baik,” papar Baby.

“Pengarusutamaan gender dalam program PUPR juga tidak mengesampingkan aspirasi kelompok masyarakat, termasuk laki-laki, perempuan, lansia, dan kelompok rentan, seperti masyarakat berpenghasilan rendah dan kelompok marginal. Itu semua termasuk dalam masyarakat yang kami layani dalam pembangunan infrastruktur,” tambahnya.

Baby mengatakan, meskipun implementasi yang responsif terhadap gender ini belum sesempurna yang diharapkan, PUPR masih berusaha membangun infrastruktur dengan memperhatikan kebutuhan laki-laki dan perempuan yang berbeda. Hal itu juga termasuk anak-anak, penyandang disabilitas, lansia, dan kelompok rentan.

Infrastruktur dan pemenuhan hak perempuan

Wakil Ketua Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Yuniyanti Chuzaifah mengatakan, bicara infrastruktur, tidak terlepas dari kekerasan terhadap perempuan dan hak asasi manusia (HAM) perempuan. Ia memaparkan beberapa kekerasan terhadap perempuan di ruang publik yang dilaporkan pada Komnas Perempuan.

“Yang pertama di transportasi publik, tak hanya di bus atau angkot, tapi di udara dan laut. Kami melihat seorang pramugari mengalami pelecehan dari para penumpang. Kami juga menemukan kasus di kapal wisata, pelakunya adalah turis asing. Maka hukum apa yang digunakan? Ini multi-teritori,” papar Yuniyanti.

Ia juga menyoroti kekerasan di tempat kerja dan lembaga pendidikan, kasus-kasus mahasiswi yang meninggal dunia di area kampus yang gelap, pembunuhan di toilet kampus, dan pemerkosaan di rumah kos dekat kampus.

“Jadi infrastruktur ini jangan-jangan hanya memperbaiki kampusnya, tetapi ruang mobilitas perempuan tidak mendapatkan perhatian,” ujar Yuniarti.

Baby menambahkan, bicara infrastruktur tidak hanya sekedar di kota saja karena keterbatasan infrastruktur di pinggir kota dan di desa juga turut menghambat anak-anak untuk bersekolah.

“Hal ini memicu tingginya perkawinan anak. Ketiadaan infrastruktur inilah yang berkontribusi besar kepada hak-hak perempuan dan anak perempuan lainnya,” ujarnya.

Baby kemudian menyoroti dan menggarisbawahi persoalan HAM perempuan terkait infrastruktur, “karena pembangunan infrastruktur tidak hanya persoalan jalan yang aman, tapi mereka yang di bawah karpet yang harus menjadi perhatian,” katanya.

Salah satunya adalah infrastruktur lembaga pemasyarakatan (lapas) yang masih sangat buruk, dengan populasi yang berlebih, penyakit menular, konflik, dan dehumanisasi. Selain itu juga infrastruktur terkait hak atas air, seperti dalam kasus pembangunan pabrik semen di Kendeng.

Baby menekankan bahwa infrastruktur harus menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Ia mencontohkan penggusuran di Solo dan Bukit Duri, bahwa perempuan-perempuan di komunitas justru lebih senang tinggal di daerah kumuh dibandingkan di rumah susun.

“Rumah susun bagi mereka adalah impersonalisasi. Ini soal konsep bagaimana housing yang ramah terhadap social culture. Bukan berarti mereka mau tetap tinggal di tempat kumuh, tetapi konsep rumah yang harus dikoreksi,” ujar Baby.

Lebih lanjut lagi, dalam perencanaan untuk infrastruktur yang berkesetaraan, Baby mengatakan bahwa prinsip pembangunan yang masih menggunakan indikator maskulin untuk menunjukkan keberhasilan, harus diubah. Sebagai contoh, pembangunan yang cenderung berfokus pada struktur-struktur fisik yang menunjukkan kekuasaan, seperti bangunan, jembatan, dan monumen.

“Pembangunan infrastruktur yang berkesetaraan seharusnya juga menggunakan indikator yang lebih soft, seperti memperbaiki tempat-tempat rehabilitas, serta tempat-tempat yang ramah disabilitas,” ujarnya.

Baby juga menyayangkan kurangnya nama jalan, alun-alun dan gedung yang menggunakan nama perempuan, sehingga representasi perempuan tidak terlihat.“Pembangunan infrastruktur seharusnya meliputi pelibatan perempuan dalam seluruh proses, sehingga hasilnya sesuai dengan kebutuhan perempuan,” katanya.

Baca tulisan Camely mengenai menciptakan kota yang aman bagi anak perempuan

Amel adalah mahasiswi jurusan Manajemen. Ia menghabiskan terlalu banyak waktu menonton film-film Netflix, dan senang menyantap makanan Meksiko.