Ivan Lanin adalah perwujudan karakter Mas Boy, idola remaja 1980an, dalam kehidupan nyata. Dia betul-betul baik hati dan tidak sombong, jagoan (bahasa) lagi pula pintar (selain tinggi dan enak dilihat). Jika Mas Boy selalu menggantungkan sajadah di kursi mobilnya, Ivan minta jadwal wawancara diundur sedikit agar bisa salat Zuhur dulu.
Tapi yang paling menonjol dari kepribadian aktivis bahasa Indonesia itu adalah sikapnya yang sungguh santun dan tulus serta rendah hati. Tidak heran jika dia diidolakan banyak orang. Di media sosial, semua orang bisa berkonsultasi soal bahasa Indonesia dengannya, dan setiap pertanyaan pasti dijawab, meski tentu saja tidak serta merta. Ia juga aktif menganjurkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta memperkenalkan padanan bahasa Indonesia dari istilah-istilah asing – hal yang tidak mudah karena keganasan warganet.
“Sekarang masalahnya, kerap kali untuk bikin (padanan kata) saja kita udah males duluan. Kami-kami penata istilah ini, begitu mengeluarkan istilah baru, orang-orang langsung, ‘Ah, apa sih ini, enggak enak banget.’ Kan males, mbak. Sudah memerah otak, kok sambutannya begitu,” keluhnya saat kami berbincang di sela-sela penyelenggaraan Ubud Writers and Readers Festival di Bali akhir Oktober lalu, di mana Ivan menjadi salah satu pembicara.
Mata pencaharian Ivan sebetulnya tidak berhubungan dengan linguistik. Lulusan Teknik Kimia dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Magister Teknik Informasi Universitas Indonesia itu berprofesi sebagai konsultan tata kelola perusahaan dan manajemen risiko. Setelah mulai menulis di Wikipedia pada 2006, ia mulai memperhatikan bahasa Indonesia dan menjadi aktivis bahasa. Ia kemudian bergabung dalam Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan mengembangkan Kateglo, atau kamus, tesaurus, dan glosarium daring.
Saat bertemu di Ubud, saya langsung menodong Ivan untuk konsultasi dan wawancara. Kami berbincang, antara lain, mengenai seksisme dalam bahasa; kegusaran kami atas banyaknya anak-anak dan remaja dengan bahasa Indonesia patah-patah dan beraksen bahasa asing; kefanatikan sejumlah orang terhadap bahasa Arab; dan keraguan orang-orang akan kemampuan Ivan berbahasa Inggris.
“Banyak yang kaget saya bisa berbahasa Inggris. Memangnya kalau kita aktif berbahasa Indonesia jadi tidak bisa bahasa lain?” ujarnya, tertawa.
Berikut adalah rangkuman dari wawancara dengan pria berusia 43 tahun tersebut.
Magdalene: Apakah bahasa Indonesia termasuk bahasa yang seksis?
Ivan Lanin: Dari segi sifat bahasanya sendiri, kita tidak mengenal gender. Kita memang mengenal putra-putri, siswa-siswi, tapi biasanya kita peroleh dari penyerapan, dari bahasa Sanskerta. Karena bahasa Indonesia itu pada dasarnya boleh dibilang sebagai bahasa rekaan, karena kita membuat sendiri. Kemudian ada yang namanya perencanaan bahasa. Sejak awalnya bahasa Indonesia itu memang dibuat agar egaliter. Salah satu sifat yang dihilangkan adalah sifat gender tadi.
Namun memang tidak bisa dimungkiri, ada pengaruh dari masa lalu kita. Ada siswa-siswi, putra-putri, namun belakangan kita terbiasa menyebut semua orang itu sebagai mahasiswa saja, misalnya. Enggak usah kita bedakan mahasiswa-mahasiswi. Saudara, tidak usah saudari. Santriwan, santriwati, tidak usah, pakai santri saja. Enggak apa-apa, itu sudah mencakup laki-laki dan perempuan.
Sejak kapan bahasa Indonesia direncanakan egaliter?
Secara sistematis perencanaan bahasa itu dimulai sejak 1945, sejak merdeka. Tahun 1947 itu kita punya, saya lupa persisnya namanya apa, tapi cikal bakal yang sekarang disebut Badan Bahasa. Itu mulai ada. Salah satu produk awalnya itu ejaan Soewandi. Sejak itulah dirancang bahasa kita mau ke mana. Banyak orang bilang, bahasa itu tergantung penutur. Tapi kalau saya mengibaratkan, membiarkan berbahasa semaunya itu kayak kita membiarkan orang berlalu lintas semaunya. Motor, ada lampu merah main serobot saja. Jadi harus ada pengaturan, apalagi kita ada 270 juta penduduk, enggak mungkin ada pemikiran yang sama kan.
Jadi pada dasarnya bahasa Indonesia itu tidak seksis, paling tidak dari segi kosa kata. Yang menjadi masalah sekarang, sejak 2016 Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dibuat daring, semua orang kan bisa lihat, nih. KBBI pertama itu tahun 1986, itu kan banyak mengambil dari kamus sebelumnya, W.J.S. Poerwadarminta. Lalu ada juga dari kamus (Sutan Mohammad) Zain. Dari latar belakang sejarah itu, saya lihat mungkin ada definisi-definisi yang tampaknya seksis. Contoh yang paling nyata itu adalah definisi mengenai perempuan.
Saya pribadi sih melihat enggak ada masalah ya (secara definisi). Untuk perempuan dan laki-laki definisinya sama, setara karena menunjukkan ciri-ciri fisik, tidak ada rasa merendahkan. Tapi entah mengapa, kemudian ada yang mempermasalahkan definisi dalam KBBI.
Mungkin terlalu fokus pada fungsi reproduksi dan domestik.
Mungkin, mungkin itu. Nah, menurut saya ini kembali pada persepsi. Saya tetap berpegang pada anggapan saya bahwa kata itu netral. Yang menjadikannya tidak netral, itu adalah persepsi kita. Saya ibaratkan, kalau kita bicara dengan orang lain dan kita sudah punya rasa amarah, itu kan kita apa pun yang dia ucapkan semua salah.
Kemudian yang sering dipermasalahkan juga adalah terlalu banyak istilah untuk pelacur perempuan, hampir 30 atau berapa begitu, dibandingkan dengan pelacur laki-laki. Pertanyaan saya, dalam bahasa lain begitu juga atau enggak? Harusnya demikian. Itu yang terjadi di semua bahasa. Jadi bukan soal bahasanya, tapi kultur manusianya seperti itu. Kalau kita mau mengubah silakan. Tapi itu perlu waktu ya.
Jadi bahasa Indonesia tidak seksis, hanya penggunaannya saja yang seksis?
Ya, itu di luar kendali. Artinya, dalam konteks penggunaan bahasa, itu ada ilmu bahasa linguistik murni, ada juga social linguistic, atau pragmatika. Itu sudah enggak bisa dikontrol oleh ahli bahasa. Yang bisa mereka lakukan adalah merekam kata, kemudian dideskripsikan. Kayak fenomena anak Jaksel, kajiannya kajian social linguistic. Linguistik enggak bisa bilang itu benar atau salah, paling bisa dibilang itu terjadi, dan terjadinya kenapa.
Dari segi pembuat definisi atau pengelola kamus itu komposisi gendernya bagaimana?
Setahu saya sih campur ya. Daftar penyunting KBBI itu bisa dilihat di KBBI V. Dari awal juga campur. Ini ada di aplikasi. Pemimpin redaksinya sendiri, Dora Amalia, perempuan. Jadi dari segi subjektivitas, harusnya sih cukup terjaga.
Bagaimana dengan perdebatan soal pemakaian kata wanita versus perempuan?
Kalau kita melihat kamus, definisinya wanita itu sama dengan perempuan dewasa. Perempuan kecil itu tidak disebut wanita. Kayak woman sama girl lah. Jadi definisi kamus lagi-lagi netral. Perkara ada yang menginterpretasikannya berbeda-beda, tidak bisa dicegah.
Asal usul kata wanita sendiri macam-macam. Ada yang bilang dari bahasa Sanskerta, ada yang bilang itu akronim dari wani ditoto (bahasa Jawa, artinya mau diatur). Ini yang jadi kelemahan kita. Dari segi etimologi, dokumentasi asal kata kita jelek sekali. Kebetulan hari Senin lalu, saya baru ada acara di Surabaya, tentang bahasa Indonesia dan bahasa koran. Kebetulan ada Om Remy Sylado, dan beliau ahli berbagai bahasa dan ilmu etimologinya bagus banget. Bukunya, 9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing, memuat banyak sekali sejarah kata. Beliau menunjukkan bahwa bangku, lemari, dan kata-kata untuk perabot itu banyak dari bahasa Portugis. Om Remy juga bilang, bahwa etimologi di kita tuh belum digali dengan baik.
Saya juga pernah buat situs asalkata.com, tapi kebetulan saya lupa memperpanjang domain-nya, jadi sekarang hilang. Tahun 2007, ada orang namanya Russell Jones, dia memang ahli bahasa Indonesia, dia mengumpulkan beberapa orang ahli kemudian dia bikin buku Loan-Words in Indonesia and Malay. Di situ memuat asal kata yang mungkin selama ini kita enggak pernah tahu.
Kalau saya pikir, salah satu yang harus kita lakukan sekarang...pembenahan definisi sekarang sudah mulai bagus. KBBI daring sudah ada fasilitas untuk orang ngasih kritik. Sudah bisa mengajukan usulan, kalau disetujui akan dimasukkan dalam pembaharuan KBBI berikutnya. Kan kita sekarang setiap tahun dua kali melakukan pembaharuan, tiap bulan April dan bulan Oktober. Kalau Oxford kan tiap bulan, kita belum secanggih Oxford. Oxford English Dictionary itu setiap bulan mengirim surel, memberitahukan kata ini (yang diperbarui). Kita belum ada seperti itu. Ini mungkin perkembangan berikutnya. Cuma secara sistem Badan Bahasa sudah membuat lebih transparan.
Bagaimana caranya jika kita ingin mengusulkan pembenahan definisi?
Masuk ke KBBI daring, daftar sebagai anggota. Lalu setiap halaman definisi itu ada tombol untuk mengedit. Mengeditnya tidak langsung, nanti masuk ke editor, dan akan dinilai oleh tim editor Badan Bahasa. Tim ini akan menilai benar enggak masukannya, sumbernya jelas enggak. Sistemnya bukan open source tapi kolaboratif.
Intinya, dibandingkan zaman dulu, sekarang sudah mendingan banget. Pertama, dulu kan kita baca KBBI males banget kan, tebel. Sekarang halamannya lebih enak, untuk mencermati satu per satu lebih mudah. Kedua, ada mekanisme untuk umpan balik. Kalau dulu kayaknya di menara gading banget kan. Kita misuh-misuh, tapi enggak bisa ngapa-ngapain. Tapi sekarang ada PR-nya lagi, orang penasaran kan, “masukan saya diterima atau tidak?”. Pelan-pelanlah.
Banyakkah yang memberi masukan?
Banyak. Saya dengar dari Bu Dora, tiap hari banyak banget yang masuk.
Kami di Magdalene sering kesulitan mencari padanan kata.
Ya memang, yang kurang di kita itu tesaurus. Itu memudahkan kita untuk mencari sinonim kan. Sebenarnya ada tesaurus.kemdikbud.go.id, tapi dia itu mengambil aliran Roget, atau tesaurus tematis. Tesaurus tematis ini sulit untuk orang awam. Orang awam lebih suka tesaurus yang sifatnya alfabetis.
Cuma tesaurus saja enggak selesai. Di dalam ilmu perkamusan, leksikografi, ada Learners Dictionary atau kamus pembelajar. Di kamus pembelajar ini dibedakan artinya menepuk dan memukul, misalnya. Jadi perbedaan nuansa makna. Kita juga belum ada tuh kamus nuansa makna. Apa bedanya pemakaian “seluruh” dan “semua”. Kita perlu itu.
Sekarang pertanyaan-pertanyaan teknis nih, Mas. Yang betul itu korban perkosaan atau pemerkosaan?
Perkosa itu kan kata kerjanya. Perkosaan itu hasilnya, prosesnya pemerkosaan. Jadi yang betul korban pemerkosaan. Akhiran –an itu menyatakan hasil. Gabungan pe- dan –an menyatakan proses.
Pimpinan atau pemimpin juga sepertinya sering tercampur penggunaannya. Tapi saya lihat di kamus, ada arti “pimpinan” sebagai kelompok pemimpin.
Nah, pimpinan memang menyatakan kelompok. Tapi dalam kamus ini menurut saya ada keanehan. Akhiran –an itu menyatakan hasil, jarang yang menyatakan kelompok. Jadi kalau menurut saya pribadi itu pembenaran saja. Karena sudah banyak yang menyatakan bahwa pimpinan itu kelompok pemimpin, akhirnya disahkan, justifikasi. Itu di KBBI IV kalau saya tidak salah, tahun 2008.
Kesulitan kami juga adalah dalam istilah-istilah kekerasan seksual, molestation, abuse, catcalling...
Catcalling sudah ada padanannya, yaitu pelucahan. Molestation bisa diterjemahkan sebagai molestasi. Akhiran –ion atau –tion di bahasa Inggris bisa diserap ke bahasa Indonesia menjadi akhiran –si. Asal jangan nation diterjemahkan jadi nasi (tertawa).
Ini juga soal nuansa makna. Bahasa Inggris karena sudah beratus-ratus tahun berkembang, penggunaan kata itu bisa spesifik sekali. Di kita masih belum ada kayak itu. Dan orang kita kan cenderung abai ya, kita cenderung menggunakan kata serampangan. Pada akhirnya perbedaan makna di antaranya kabur. Jadi memang kita sangat perlu itu tadi, selain tesaurus harus ada kamus pembelajar yang membedakan secara persis apa bedanya molestasi, misalnya, pelucahan, dibedakan. Kita perlu itu.
Saya pernah menemukan kamus sinonim dari Bu Jun (Junaiyah H. Matanggui). Beliau sudah mulai merintis apa perbedaan mati, wafat, meninggal. Kalau di kamus kan enggak ada bedanya itu. Nah, itu kan harus dijelaskan dalam bentuk narasi.
Jadi kalau abuse apa ya?
Ya, sulit juga, tergantung konteks. Abusing power penyalahgunaan kekuasaan, tapi sexual abuse bukan penyalahgunaan seksual. Bukan pelecehan juga. Nanti saya cari deh, belum ketemu. Saya akui, untuk kata-kata yang spesifik kita perlu merumuskannya dulu, pertama, lalu menyempurnakan.
Baca tentang penulis yang memperkenalkan aktivisme lewat buku anak.
Ilustrasi oleh Sarah Arifin.
Comments