Acap kali, ajaran agama dipakai sebagai dalih untuk mendiskriminasi kelompok gender tertentu. Bukan tanpa sebab, hal ini terjadi—salah satunya—karena sejarah kelam Gereja pada abad pertengahan.
Memang seiring perkembangan zaman, masyarakat menjadi semakin rasional sebagaimana dikatakan oleh Max Weber. Mereka akan meninggalkan keyakinan-keyakinan magis karena semua masalah dianggap akan bisa teratasi dengan ilmu pengetahuan yang empiris. Namun, bukan berarti agama sekarang telah mati dan kehilangan perannya di dalam masyarakat. Di beberapa negara, peran agama justru cenderung menguat—terutama di negara-negara agraris dan beberapa negara pascaindustri.
Di tengah arus sekularisasi yang semakin kuat, Gereja berusaha untuk tetap mempertahankan eksistensinya dalam menyebarkan kabar keselamatan dan kasih di dalam dunia yang gelap. Untuk mempertahankan eksistensinya, Gereja membutuhkan strategi yang tepat dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat. Oleh karena itu, Gereja harus mampu menciptakan dialog yang harmonis untuk menemukan relevansi nilai-nilai yang diajarkan oleh Yesus dengan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat, yang semakin rasional dan kompleks.
Baca juga: Kalau Mau Bahas Misdinar Korban Kekerasan Seksual, Harus Bahas Gereja Juga
Ikut Persekutuan Gereja Itu Hak Universal
Sebelum membahas mengenai Gereja sebagai rumah bagi keberagaman gender, kita perlu memahami arti Gereja terlebih dahulu. Pengertian Gereja dalam hal ini bukan sebatas bangunan tempat orang Kristiani beribadah, melainkan “jemaat” yang merupakan orang-orang pengikut Kristus (berasal dari kata Yunani: ἐκκλησία [ekklesia]).
Saya pribadi memandang Gereja sebagai rumah terbaik yang saya miliki. Gereja merupakan tempat saya bisa diterima dengan hangat, tempat saya pulang dari kesibukan duniawi yang sering kali mengecewakan, dan tempat saya bisa menemukan kasih yang tak terbatas.
Selain itu, kita juga harus memahami ikut dalam persekutuan Gereja adalah hak manusia yang bersifat universal. Seperti yang tertulis dalam Kitab Yohanes 1:12, orang-orang yang telah menerima Kristus dan percaya kepadaNya disebut sebagai anak-anak Allah. Setiap kelompok orang Kristen di dunia, yang terkecil hingga yang terbesar, dalam istilah Luther adalah justus et peccator (sekaligus benar dan berdosa). Tidak ada kriteria khusus bagi seseorang untuk menerima dan percaya Yesus Kristus sebagai Tuhan dan juru selamat. Semua manusia berhak, tanpa terkecuali.
Di Indonesia, gerakan sosial untuk memperjuangkan hak asasi manusia semakin marak digaungkan. Salah satu hak yang diperjuangkan oleh sebagian masyarakat adalah hak kebebasan beragama, termasuk bagi kelompok gender minoritas. Seperti pengertian yang telah dijelaskan tadi, tidak ada kriteria-kriteria latar belakang khusus untuk menerima Kristus dan percaya bahwa Ia adalah Tuhan dan juru selamat umat manusia. Oleh karena itu, semua orang—dari berbagai latar belakang gender—berhak untuk mengikut Kristus dan bersekutu di dalam Gereja.
Baca juga: Membaca Ulang Ayat Alkitab Soal Hubungan Seksual dengan Lebih Kritis
Gereja dan Keberagaman Gender
Gereja berdiri di dalam wilayah teritorial suatu kebudayaan tertentu di dalam masyarakat. Tentu saja, gereja bisa jadi terpengaruh oleh kebudayaan setempat. Dalam masyarakat tradisional, keberagaman gender masih dianggap sebagai hal yang tabu sehingga orang-orang dengan identitas gender yang dianggap “tidak biasa” akan cenderung dikucilkan dari komunitas. Tidak bisa dimungkiri, di beberapa tempat, Gereja bersikap eksklusif terhadap kelompok gender tertentu dan kerap melakukan diskriminasi terhadap mereka.
Dalam laporan VICE misalnya, diceritakan pengalaman diskiriminasi gender dari pihak Gereja yang diterima oleh seorang transpuan di Surabaya bernama Handayani. Selain itu, masih banyak lagi kasus-kasus diskriminasi gender oleh Gereja yang terjadi seperti pandangan bias gender yang terjadi dalam gereja katolik di Papua. Pengalaman diskriminasi gender oleh Gereja seperti itu akan meninggalkan trauma yang bisa saja menumbuhkan rasa ketidakpercayaan kepada Gereja.
Ketidakmampuan Gereja untuk bersikap inklusif adalah bukti bahwa Gereja tersebut tidak merepresentasikan kasih Kristus di dalam dunia ini. Mungkin mereka lupa dengan kisah Yesus saat melindungi seorang perempuan yang pasrah dirajam batu karena adanya budaya patriarkal yang begitu melekat di dalam masyarakat (Yoh. 7:53-8:11), dan mungkin mereka juga lupa bagaimana Yesus mau makan bersama-sama dengan para pemungut cukai (Mat. 9:9-13, Mrk. 2:1-12, Luk. 4:38-41). Gereja juga tidak boleh “memandang muka” dalam mengasihi sesama manusia (Yakobus 2:1-13). Di mataNya, kita semua sama, dan Ia mengasihi kita apa adanya.
Sebagai pengikutNya, Gereja hendaknya meneladani kasih Yesus sebagaimana Ia mengasihi kita yang berdosa. Jika Gereja menganggap diri mereka lebih suci daripada orang lain dan menolak orang-orang yang mau ikut persekutuan, maka kasih Kristus tidak ada di dalam Gereja tersebut.
Memang bukanlah hal yang mudah bagi Gereja untuk mengubah paradigma mengenai gender yang selama ini ada di dalam masyarakat. Namun, Gereja sudah tidak bisa lagi menutup mata akan keberagaman gender yang ada di dalam masyarakat.
Perspektif keberagaman gender ini harus menjadi urgensi dalam studi pastoral dan harus dikembangkan. Selain itu, Gereja juga harus dengan gencar menyuarakan perlindungan bagi kelompok gender yang termarjinalkan dalam kehidupan sosial masyarakat. Gereja hendaknya tidak membisu di atas ketertindasan kelompok gender minoritas layaknya Yesus yang sering kali melangkahi adat istiadat orang Yahudi untuk menolong orang termarjinalkan.
Ketika Gereja mampu untuk membuka diri terhadap keberagaman gender yang ada di dalam masyarakat, Gereja akan menjadi rumah yang hangat bagi kelompok gender minoritas saat dunia menolaknya. Gereja akan menjadi tempat yang aman serta terang bagi mereka di dalam dunia yang gelap.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments