Perjalanan pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) telah memasuki babak baru. Belum lama ini, Badan Legislatif (Baleg) DPR mempresentasikan draf baru yang isinya disesalkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Anti Kekerasan Seksual (KOMPAKS). Pasalnya, draf versi Baleg ini menggeser berbagai aspek substansial yang mereka perjuangkan untuk dikukuhkan dalam UU.
Dari 128 pasal yang ada dalam draf RUU PKS versi Masyarakat Sipil per September 2020, hanya 43 pasal yang dimasukkan dalam draf versi Baleg. Jenis tindak pidana kekerasan seksual yang tadinya berjumlah sembilan, didiskon Baleg menjadi hanya empat. Tidak hanya itu, hal lain yang menurut KOMPAKS krusial namun diganti oleh Baleg adalah judul UU, yakni menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Proses pembahasan [di Baleg] ini adalah sebuah progres yang baik, tapi perubahan judul dan penghapusan elemen-elemen kunci RUU PKS adalah kemunduran bagi pemenuhan dan perlindungan hak-hak korban kekerasan seksual,” ujar Naila Rizqi, perwakilan dari KOMPAKS dalam rilis pers mereka.
Baca juga: INFID: Lebih 70 Persen Responden Setuju RUU PKS Disahkan
Perubahan Nama RUU dan Penggantian Terminologi Perkosaan
Menurut Naila, perubahan judul RUU ini mengesampingkan tujuan awal yang diusung para penggagas RUU PKS. Sejatinya, RUU ini diharapkan mampu menghapus kekerasan seksual secara holistik dan komprehensif. Tetapi orientasi RUU ini menjadi lebih fokus ke penindakan pelaku saja begitu judulnya diubah.
“Ketika judulnya diubah jadi Tindak Pidana Kekerasan Seksual, kecil kemungkinannya untuk melakukan pencegahan kekerasan seksual secara komprehensif. Elemen-elemen penting yang tadinya di RUU PKS tidak muncul dalam draf versi Baleg ini karena titik beratnya ada pada tindak pidana sehingga urusan pemulihan korban diabaikan. Padahal, RUU PKS hadir karena penanganan secara pidana enggak menjawab kebutuhan korban,” papar Naila kepada Magdalene.
Ia menambahkan, dalam media ada pihak yang menganggap kata “penghapusan” itu terlalu abstrak. Asumsi ini dipertanyakannya mengingat di Indonesia sudah lebih dulu ada UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan tidak dipermasalahkan.
“Begitu juga dengan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kenapa kata ‘pemberantasan’ tidak dianggap abstrak juga? Toh kata memberantas kurang lebih sama dengan menghapus,” Naila berkomentar.
Dalam rilis persnya, KOMPAKS juga menyayangkan penggantian kata “perkosaan” menjadi “pemaksaan hubungan seksual”. Menurut mereka, penggunaan terminologi selain perkosaan dalam rangka penghalusan bahasa akan berdampak negatif terhadap pemaksaan peristiwa itu, menghambat pemenuhan hak korban, dan melanggengkan diskriminasi serta ketidakadilan bagi korban dalam proses peradilan dan di masyarakat.
Menanggapi persoalan terminologi ini, anggota Baleg dari Fraksi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Taufik Basari menyatakan, keputusan mengubah judul RUU ini tidak lepas dari upaya Baleg mencari jalan tengah dalam pembahasannya.
“Kami melihat ini sebagai bentuk akomodasi atau jalan tengah ketika ada yang menginginkan istilah penghapusan kekerasan seksual dan ada yang ingin memakai terminologi ‘kejahatan seksual’ di Baleg. [Masukan ini] Dikombinasikan, kekerasannya tetap ada, tetapi kejahatannya juga diakomodasi dengan [kata] tindak pidana,” ujar Taufik kepada Magdalene.
“Sepanjang judul ini tidak membuat substansi dasarnya berubah, tidak ada masalah. Ini supaya [anggota-anggota Baleg] bisa menerima dan tujuan agar RUU ini digolkan tercapai.”
Adapun terkait terminologi perkosaan, Taufik menyatakan hal ini dapat dipahami karena hal tersebut sudah diatur dalam KUHP.
Baca juga: Kaukus Perempuan Parlemen Himpun Dukungan, Strategi untuk Sahkan RUU PKS
Pasal-pasal dan Jenis Kekerasan Seksual yang Dipangkas
Dalam draf RUU versi Baleg, salah satu bab yang dihilangkan dari draf awal RUU PKS terkait dengan hak-hak korban. Sekalipun hal itu disinggung, hanya ada 1 bagian yang memuatnya yakni di pasal 1 angka 12 yang menyebutkan, “Hak korban adalah hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan yang didapatkan, digunakan, dan dinikmati oleh korban, dengan tujuan mengubah kondisi korban yang lebih baik, bermartabat, dan sejahtera yang berpusat pada kebutuhan dan kepentingan korban yang multidimensi, berkelanjutan, dan partisipatif”.
Ketiadaan pengaturan terperinci mengenai hak-hak korban akan mempersulit mereka dalam mendapatkan perlindungan dan pemulihan setelah mengalami kekerasan seksual.
Di samping itu, draf versi Baleg juga tidak mengakomodasi perlindungan bagi korban kekerasan berbasis gender online (KBGO) dan penyandang disabilitas. Padahal realitasnya, angka KBGO terus bertambah berdasarkan laporan dari SAFEnet. Tahun 2020, ada 620 laporan kasus KBGO yang mereka terima dan angka ini sepuluh kali lebih besar dari tahun 2019. Sementara, dalam penanganan kasus kekerasan seksual dengan korban penyandang disabilitas, semestinya hukum yang ada mengakomodasi kebutuhan khusus mereka yang berbeda-beda. Ketiadaan pengaturan yang jelas dalam draf versi Baleg akan menghambat pencapaian keadilan bagi mereka yang memiliki keterbatasan ini.
UU yang ada sekarang, yang dianggap bisa dipakai untuk menangani kasus KBGO dan kasus dengan korban penyandang disabilitas seperti UU ITE dan UU tentang Penyandang Disabilitas belum cukup untuk secara spesifik melindungi mereka dari tindak kekerasan seksual.
“UU ITE itu pedang bermata dua untuk urusan KBGO. Banyak sekali korban KBGO yang malah dijadikan tersangka dengan memakai UU ITE karena UU ini tidak berpihak pada korban. Lalu, substansinya [UU ITE] juga bukan tentang kekerasan seksual, melainkan tentang kesusilaan. Padahal, kekerasan seksual bukan soal kesusilaan, ini tentang melanggar integritas dan privasi seseorang,” terang Naila.
Jenis kekerasan seksual yang dipangkas menjadi problem besar lainnya. Draf versi Baleg hanya menyebut empat jenis kekerasan seksual yakni pelecehan seksual (fisik dan nonfisik), pemaksaan alat kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual. KOMPAKS menilai hal ini mengindikasikan invalidasi terhadap pengalaman korban kekerasan seksual serta pengabaian terhadap hak mereka.
Menanggapi hal ini, Taufik menyatakan pihaknya tengah mempelajari apakah jenis kekerasan seksual lain yang tidak disebutkan dalam draf versi Baleg bisa masuk dalam satu jenis kekerasan tertentu.
“Apakah jenis kekerasan seksual tertentu unsurnya bisa terpenuhi dengan unsur delik antara empat [jenis kekerasan seksual] ini. Misalnya, pemaksaan hubungan seksual apakah juga bisa mengakomodasi pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual. Atau perbudakan seksual apakah bisa masuk eksploitasi seksual,” kata Taufik.
Taufik menambahkan, ada jenis-jenis kekerasan seksual lain berpotensi menimbulkan pro-kontra dalam pembahasannya. Contohnya pemaksaan perkawinan dan pemaksaan aborsi. Kedua hal ini akan sulit untuk diakomodasi melalui empat jenis kekerasan seksual yang dirumuskan dalam draf versi Baleg.
Sementara untuk hal-hal lain yang tidak kontroversial menurutnya masih bisa dimasukkan dalam pembahasan draf ini di kemudian hari.
“Dalam rapat kemarin, saya juga sempat sampaikan itu supaya KBGO bisa dimasukkan, begitu juga dengan perlindungan penyandang disabilitas. Potensi untuk dimasukkan juga besar karena ini tidak terlalu pro-kontra,” ungkap Taufik.
Masih Ada Harapan
Menurut Taufik, masih ada harapan akan berubahnya draf versi Baleg ini. Pasalnya, draf yang disinggung dalam rilis KOMPAKS tersebut merupakan draf awal hasil kombinasi masukan-masukan yang diterima oleh tenaga ahli (TA) Baleg.
“Kalau istilah ketua panitia kerjanya, ini proses dialog. Menurut TA Baleg dan ketua panja, ini upaya membuat RUU ini bisa maju dulu supaya yang menolaknya bisa menerima bahwa masukan-masukannya [mereka] kan sudah diterima, tidak seluruhnya ditolak. Seperti semacam rumusan jalan tengah supaya ini bisa maju,” papar Taufik.
Draf awal ini akan ditanggapi oleh masing-masing fraksi yang akan memberikan pandangannya secara tertulis. Masukan-masukan mereka kemudian akan diolah oleh TA Baleg untuk merumuskan draf-draf berikutnya. Setelah ada pembahasan dan muncul kesepakatan bersama, anggota Baleg akan dimintakan pendapatnya, apakah setuju atau tidak terhadap draf terakhir yang dibuat.
“Kalau mayoritas setuju, maka draf itu akan dibawa ke pimpinan untuk dibahas di badan musyawarah dan ditetapkan sebagai draf RUU usul DPR. Setelah itu baru akan dikirim ke presiden,” jelas Taufik.
Setelah diterima pemerintah, bila ada pasal ayat atau huruf yang tidak mereka setujui, mereka akan mengajukan keberatannya dan alternatifnya. Atau, kalau pemerintah merasa ada yang kurang (tidak diakomodasi dalam draf tersebut), pemerintah bisa mengusulkannya. Intinya, antara DPR dengan pemerintah harus ada kesepakatan sebelum RUU disahkan menjadi UU.
Proses yang panjang ini mendatangkan harap-harap cemas tersendiri bagi para pendukung RUU PKS. Namun, jika pahitnya RUU yang disetujui adalah versi yang sudah dipangkas dan diubah oleh Baleg ini, Naila mengatakan masyarakat bisa menempuh upaya hukum lain supaya tujuan awal RUU PKS tercapai.
“Jalan yang bisa ditempuh adalah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Jalur lainnya, minta perubahan lagi, revisi UU-nya melalui legislative review, baik lewat pemerintah atau DPR, tapi ya panjang lagi jalannya. Yang jelas kita enggak mungkin bisa terima produk UU yang jauh banget dari harapan. Enggak mengubah apa pun jadinya,” kata Naila.
Comments