“Kamu minoritas. Kita minoritas. Enggak usah ikut-ikutan.”
Saya mulai kurang nyaman dengan sebutan “minoritas”, terlebih ketika minoritas diasosiasikan dengan mereka yang lemah, tidak punya kuasa, tidak berdaya, dan yang belakangan semakin sering, untuk orang-orang seperti saya. Tapi, saya akan mencoba menuliskan pikiran saya ini dengan konteks “minoritas” yang sedang ramai digunakan.
Saya terlahir dengan dua jenis nama, nama Indonesia dan nama Cina dengan tiga suku kata, dengan marga keluarga sebagai suku kata pertama. Identitas ini datang bersamaan dengan lahirnya saya di dunia, tanpa perlu ada justifikasi dari rumah sakit bersalin sekalipun tentang “keturunan apa saya”.
Terlahir sebagai orang Cina, saya tidak pernah merasa berbeda atau dibedakan. Waktu kecil, teman-teman saya adalah orang Melayu, orang Dayak. Mereka adalah teman-teman berwarna kulit gelap dengan deretan gigi putih rapi yang selalu membuat saya iri. Mereka yang selalu menemani saya bermain di gang kecil di depan rumah saya, yang mengarah ke Sungai Kapuas, di Kalimantan Barat. Kami berteman dengan riang gembira, tanpa perlu berkenalan dengan SARA (suku, agama, ras, antargolongan).
Memasuki usia remaja, saya masih hidup bebas tanpa beban sedikit pun dari warna kulit dan bentuk mata saya yang kecil tanpa lipatan. Ayah saya yang punya banyak kawan dari beragam suku selalu meminta saya untuk menyapa teman-temannya dengan sopan kala mereka berkunjung ke rumah, tanpa pesan “kamu harus hati-hati dengan A, B, C”.
Kesadaran saya akan isu bernama SARA pertama kali muncul ketika kerusuhan antarsuku pecah di Kalimantan, saat saya berusia 13 tahun. Tumbuh besar dengan terlibat di organisasi agama yang juga sangat multietnik dan multikultur, saya dikirim untuk mengikuti kegiatan salah satu lembaga swadaya masyarakat yang melaksanakan kegiatan anak-anak setelah kerusuhan. Selain sebagai bagian dari penyembuhan trauma untuk anak-anak, mentor kami kala itu berpesan bahwa “kalian semua adalah bersaudara”. Saya menerima pesan tersebut dengan bahagia, di tengah-tengah kegiatan menari dan menyanyi bersama selama seminggu penuh bersama lebih banyak teman dari suku baru yang saya kenal: Batak, Madura, Sunda, dan lain-lain.
Pengalaman masa kecil saya hingga pesan dari kakak LSM itu, membuat saya tidak pernah mengindahkan perbedaan suku dan agama hingga saya beranjak kuliah dan bekerja. Di mata saya, orang Cina dan Jawa adalah sama. Orang Dayak dan Madura tidak berbeda. Mereka yang berkulit putih atau hitam legam serupa. Sama-sama manusia, sama-sama bisa bekerja, sama-sama memiliki hak dan kewajiban. “Sama-sama makan nasi,” begitu pesan Ayah dulu.
Namun, ketenangan saya justru terusik belakangan ini ketika pesan persatuan dan menghargai perbedaan semakin terus dikumandangkan di negeri ini. Ketika semakin banyak orang pintar bermunculan, ketika informasi semakin mudah disebarluaskan. Bukan misi bersatu dan menghargai yang membuat saya terganggu. Tetapi mereka yang meneriakkan pesan ini dengan lantang bak orang tidak berdosa.
Saat ini, pesan persatuan disampaikan bersanding dengan kata minoritas dan mayoritas. “Minoritas harus dihargai”, “Ayo rangkul kaum minoritas”, dan berbagai pesan harga-menghargai yang entah kenapa bukan malah membuat saya merasa tenang, melainkan merasa tidak aman.
Bagi saya, pesan persatuan ini malah membuat perbedaan di tengah masyarakat semakin besar. Masyarakat semakin “disadarkan” bahwa ada kelompok bernama minoritas yang perlu diselamatkan oleh mereka yang ada dalam kelompok mayoritas. Bayangkan jika pesan ini terus bergulir dan diingatkan kepada anak kecil setiap hari. Apa jadinya seorang anak yang sudah dikenalkan dengan perbedaan sejak kecil? Akankah mereka tumbuh menjadi orang yang sangat menghargai persatuan, atau malah terlalu peka dengan perbedaan? Saya tidak tahu.
Mau tahu apa yang ada di pikiran lingkungan saya yang minoritas saat ini? Takut. Media massa boleh mengobarkan pesan persatuan, media sosial boleh ramai dengan tagar #kitaIndonesia, tapi saya tahu lingkungan saya tidak sepenuhnya termakan oleh pesan tersebut. Mereka ingin percaya, tapi tidak sepenuhnya bisa. Mereka khawatir, ketidakadilan masih sulit diberikan karena status minoritas di negeri yang besar ini. Bayangkan bagaimana adrenalin mereka meningkat pada hari Rabu 17 April, dan Rabu, 22 Mei lalu? Perasaan takut luar biasa berkecamuk di lingkungan sekeliling saya dengan bias masa lalu.
Kenapa saya bilang “mereka”? Sebab saya masih optimis. Sampai detik ini, saya terus menjaga pikiran saya sebagai saya yang berusia 10 tahun, yang tidak mengenal konsep minoritas atau mayoritas. Saya tidak takut. Saya tidak khawatir. Karena saya tahu, di negara ini saya adalah mayoritas, yaitu Warga Negara Indonesia. Karena itu, saya punya hak untuk membela dan dibela oleh negara. Tapi, saya juga tahu, di luar perbedaan saya dan mereka, kami diam-diam berdoa agar negeri ini tetap terjaga untuk mereka semua yang tinggal, bukan hanya untuk mereka yang mayoritas.
Jadi, kalau ada yang merasa kaum minoritas tertindas, lebih baik kalian selamatkan pikiran mereka yang baik, atau yang ada di media sosial, dengan menghentikan penggunaan kata minoritas. Kenapa harus ada istilah minoritas, jika kita semua adalah sama-sama bagian dari 250 juta rakyat Indonesia? Yang ada adalah, kita semua ‘mayoritas’.
Kalau ada kaum mayoritas yang merasa lebih kuat dan tidak suka dengan minoritas, apakah kalian sudah menjadi “mayoritas” yang paling banyak membawa perubahan baik untuk Indonesia? Kalau iya, terima kasih. Kalau belum, lebih baik jadilah mayoritas yang berbudi baik.
Dan satu yang terakhir, jika kalian membenci kaum minoritas baik karena faktor yang masuk akal dan yang tidak, saya mewakili kaum minoritas meminta maaf. Saya meminta maaf karena kalian yang besar harus merasa kecil karena kami yang cuma segelintir ini. Mungkin sudah waktunya kalian betul-betul berlapang dada untuk berteman dan belajar dari mereka yang kecil, bukan memusuhi dan mencaci maki.
Dan sekali lagi, kita bukan dua kelompok berbeda hanya karena hitungan angka, karena kita adalah satu Indonesia.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments