Women Lead Pendidikan Seks
January 08, 2020

Kala

Mayakresna adalah perempuan dengan segala hasratnya. Ia punya otoritas atas hasrat dan gairahnya.

by Udiarti
Culture // Prose & Poem
Share:

Dia tidak tertidur ketika kesakitan itu merayap pada buah dadanya. Ketika sepasang kakinya terasa kesemutan bukan main. Bahkan disentuh angin pun kakinya linu. Perutnya terasa ditekan galon air dengan batu bata merah di dalamnya. Sesak, mual, tapi ia tidak dibius, ia sadar, tak tidur tak menjerit. Rambutnya putih seketika. Beberapa helai berjatuhan dari keningnya. Dia tidak tertidur, menikmati tikaman demi tikaman yang merajah ubun-ubun kepalanya.

Apakah hari ini petang atau gemintang, atau dering tetes embun melati tersangkut di akar-akar. Ia tak lagi mampu membedakan. Dagunya kini sobek jadi dua bagian. Satu bagiannya dikunyah masa lalu. Satu bagian yang lain, ditelan masa depan. Sedang ia bingung, tengah berada di depan atau justru di belakang. Bola matanya tak mampu diputar lebih jauh lagi ke dalam kepala.

Seolah kejadian-kejadian itu benar-benar tenang menyusup pada tubuhnya. Silah hanya gemetar di ambang pintu. Putingnya masih mengucur ASI yang deras. Bibir mungil mengenyutnya gemas. Laki-lakinya, berdiri di luar pintu. Tidak masuk, hanya menatap pada bola mata nyalak itu. Hanya mematung dengan hamburan baju-baju di teras rumah.

“Kamu yakin?” laki-laki itu memastikan sekali lagi.

“Saya selalu yakin.” Berapi-api ia menyahut wajah itu.

“Dia masih kecil.”

“Akan saya besarkan.”

“Dia butuh bapaknya.”

“Dia butuh bapaknya untuk membikinnya. Dia sudah ada. Kita selesai.”

Laki-laki itu menghilang dengan koper dan sisa parutan keju pada sisi kiri pundaknya. Sambil menggerutu tentunya.

“Perempuan gila. Kamu akan hidup dikutuk memangsa anak-anak dan menunggui kuburan!” ucapan terakhirnya sebelum hilang.

Esok paginya Silah dengan koper merah menyala, tanpa parutan keju di pundaknya. Turut pergi. Mengejar hal-hal yang tak usai sudah dalam hidupnya. Silah, tak pernah merindukan, tak pernah tertidur sepanjang perjalanan.

***

Saya mencintaimu wahai bunga-bunga Kamboja dan segala bunga berwarna di kota ini. Saya mencintaimu juga kota yang sendu di setiap pagi dengan anak-anak menaiki sepedanya di jalan raya. Memang tidak akan seramai ibu kota, tempatku dulu pernah tinggal hingga SMA. Tapi di sini saya sudah jatuh cinta.

Ibu memberiku pilihan untuk kuliah di mana saja, maka saya memilih New York. Saya tidak boleh kalah dengan Ibu yang meraih gelar professornya di Belanda. Dia ibuku, atasanku tanpa perlu penasbihan. Tapi dalam hal pendidikan dan pengetahuan, saya harus berkompetisi dengannya. Tak ada negosiasi, hanya ada siapa yang lebih unggul dari siapa.

Tapi dengar dulu, tak semenakutkan itu. Kita tidak bermusuhan. Kita saling berbagi pemikiran, tapi jika salah satu dari kami tidak setuju, maka bisa jadi perang. Segala macam teori yang Ibu kuasai akan ia jejalkan di kuping saya. Dan saya yang masih belia ini akan diam sejenak, menganggap Ibu menang. Kecuali jika saya memiliki landasan yang lebih kuat dari teori-teori yang ia terangkan.

Baca juga: Puisi November

Saya diperbolehkan kembali ke Indonesia, asalkan sudah memiliki satu buku yang berhasil diakui penerbitan. Sudah tuntas, maka saya kembali. Saya ingin kembali ke tempat di mana Ibu pernah menimang sebentar masa balitaku, di Solo. Ibu sudah lebih dulu kembali ke Indonesia setelah gelar profesornya terpenuhi. Dan kami berkumpul kembali.

Saya  berdusta jika kembali hanya untuk mencintai kota ini. Saya memiliki tujuan yang lain. Menemui seseorang. Suatu ketika, di New York, di Konsulat Jenderal RI kami bertemu. Sebuah pameran seni rupa “The Maritime Spice Road” yang diselenggarakan di sana mempertemukan obrolan kami. Ia mengenakan kemeja abu-abu panjang yang rapi. Dengan segelas wine di tangannya, ia berkeliling sendirian.

“Kita sungguh hampir mati karena rempah,” katanya.

“Yang benar saja, kita tidak mati. Saya takjub, benda sekecil ini, pala, membuat beberapa orang-orang Eropa harus memikirkan berbagai siasat perang untuk merebutnya.”

“Ya, dan lihat kita sekarang, nona. Di tengah-tengah pameran ini, saya masih percaya, kolonialisme dengan pola-polanya yang baru masih menyusup di negara kita.”

Matanya hitam, mata kebanyakan orang-orang Indonesia. Rambutnya ikal dan diberi minyak. Nampaknya ia berusaha keras menata rambutnya seperti Salvador Dali, tapi gagal karena rambutnya lebih panjang melampaui telinga. Kumisnya, jika dipanjangkan kedua sisinya, ia akan tuntas menjadi potret muda Salvador Dali. Saya ketawa, ia sadar dan menyenggol lengan saya. Kulit kami bersentuh. Saya ingat Ibu memberikan wewenang pada saya atas tubuh dan segalanya sebagai perempuan. Maka, malam itu juga usai pembukaan pameran, kami berkencan.

“Mekar, kenapa kamu tidak kembali ke Indonesia?” lengan itu menggamit tubuh saya yang juntai di atas ranjang.

“Saya akan kembali, tapi tidak yakin. Bisa kamu yakinkan?”

“Pulanglah sebentar.”

Hanya itu, lalu ia mengisahkan tentang Solo. Nyatanya kami punya tempat pulang yang sama. Lalu ia harus segera pergi, waktunya di New York tidak banyak. Kami hanya bersenang-senang sebentar. Ia pamit sembari memberikan saya sebuah buku. Bukan buku lebih tepatnya, setumpuk kertas dengan gambar-gambar yang eksotis.

“Saya tidak bawa apa-apa. Tapi saya ingin kamu memiliki sedikit punya saya.”

“Ini kamu yang membuatnya?”

“Tentu. Pulanglah, lalu saya akan berikan apa pun yang ingin kamu ketahui tentang gambar-gambar itu.”

Bagaimana pun Mayakresna adalah perempuan dengan segala hasratnya. Ia punya otoritas atas hasrat dan gairahnya. Kenapa ia malah dikutuk Siwa dan justru ia pulalah yang setia mengabdi pada Durga untuk menjaga makam-makam. Kenapa darma baik harus disimbolkan dengan wujud-wujud keburukan?

Setumpuk kertas itu memiliki sampul depan dengan kertas kecokelatan, bertulis “Dyah Mayakresna, by Kala”. Kepergiannya meninggalkan rasa ingin tahu saya pada objek yang ia gambar. Dyah Mayakresna, anak angkat Siwa yang tak puas pada suami-suaminya. Bercinta dengan siapa saja yang menurutnya enak untuk memuaskan fantasi seksualnya. Sampai suatu ketika, ia bertemu dengan dua pemuda tampan di tengah hutan. Bercintalah mereka bertiga. Sedangkan Siwa tengah bertapa di tengah hutan tersebut. Dikutuklah mereka, jadi tiga makhluk mengerikan yang ibu saya bilang sebagai Kala Buchari. Raksasa yang menunggui kuburan dan memberikan kutukan pada siapa saja yang mengusik ketenangan kuburan. Maka di Indonesia, jika ada kasus persetubuhan di makam yang alat kelaminnya tak bisa dilepas, konon itu adalah ulah Dyah Mayakresna.

Tapi saya tidak suka kisah ini. Terlalu mengerikan. Bagaimana pun Mayakresna adalah perempuan dengan segala hasratnya. Ia punya otoritas atas hasrat dan gairahnya. Kenapa ia malah dikutuk Siwa dan justru ia pulalah yang setia mengabdi pada Durga untuk menjaga makam-makam. Kenapa darma baik harus disimbolkan dengan wujud-wujud keburukan?

“Bukan buruk. Orang yang digdaya berawal dari kutukan yang sakit dan membawamu ke dalam gelap. Ketika kamu bisa keluar, maka kamu menang,” kata Ibu.

***

Silah menunggu kedatangan anaknya. Bahagia. Tentu, mengubur masalalunya bukanlah hal yang mudah. Dari dapur, seseorang muncul dengan dua gelas teh hangat. Menyapa lamunan bahagia untuk bertemu anaknya malam ini.

“Saya akan pergi sore ini. Saya dengar anakmu akan datang.”

“Tidak apa-apa. Kamu di sini saja. Ia anak yang menyenangkan. Dia seumuran denganmu. Tapi pandangannya juga sudah sedewasa saya.”

“Saya tinggal di sini, ingatlah anakmu tidak tau menahu tentang kita. Saya hanya tidak ingin bertemu  anakmu sekarang. Jadi, biarkan saya pergi sampai anakmu kembali lagi ke New York.”

“Mengapa kamu seperti itu?”

Silah menciut. Laki-laki yang dikasihinya menolak kedatangan anak tersayangnya. Ia tidak terima, namun juga perasaannya tak ingin jauh dari laki-lakinya. Wajah laki-laki itu cemberut.

“Jangan cemberut begitu! Setiap hari kamu sudah membunuh saya dengan cemberutmu itu!” Silah merasa kembali pada masalalunya. Ketika laki-lakinya pergi setelah memberikan Mekar rasa keju parut pertama. Bapak Mekar tak bisa terpaksa untuk berpoligami. Silah tak mampu hidup sebagai simpanan dengan anak yang akan ia rawat. Maka ia memilih mengusir laki-laki itu, dan dirinya terbang bebas ke Belanda. Melampiaskan sakit hatinya dengan karir yang tak berujung.

Baca juga: Mewah itu Langit Biru

“Maaf. Kamu harus segera ke Bandara menjemput anakmu. Saya tidak bisa seperti ini.”

Laki-laki itu mendekat, mengelus rambut-rambut penuh uban.

“Apa saya juga salah jika memiliki perasaan kepadamu?”

“Saya pergi dulu Silah.”

Laki-laki itu pergi. Silah tak ingin melihat langkah kaki laki-laki itu keluar dari rumahnya. Ia berjalan, ke dalam kamar. Dia tidak tidur, ia sadar, tanpa dibius. Buah dadanya linu kembali usai membayangkan sebuah bibir dengan kumisnya mencucup lembut puting-putingnya. Di kepalanya, tidak ada negosiasi pada hubungan ini. Yang ada hanya siapa yang lebih unggul dari siapa. Pada masalalunya ia boleh membiarkan laki-lakinya pergi. Silah kembali dari kamarnya. Terburu-buru ia mencari sosok laki-laki itu. Dugaannya benar, laki-laki itu belum gegas menuju perginya.

“Pergilah! Asal jauh dan tidak perlu saya temui lagi! Saya bukan lagi obyek gambarmu!”

Silah melemparkan gelas berisi teh hangat yang belum juga ia minum. Tepat mengenai kepala laki-laki itu. laki-laki itu menoleh, tapi kepalanya hampir hilang.

“Kamu memang perempuan yang dikutuk untuk memangsa anakmu sendiri!”

“Dan menjaga kuburanmu.”

Yang terakhir pisau buah, mendarat di perut seorang pemuda.

***

Maka saya lebih sering menjenguk Ibu di rumah sakit jiwa dibanding menemui laki-laki yang membuat keinginan saya kembali pulang ke Solo. Indah rumah sakit jiwa ini. Dekat dengan kampus di mana Ibu mengajar, dulu. Dekat pula dengan makam seorang pemuda yang membuatnya harus gila dan meraung setiap malam. Ibu saya sudah gila, akan lebih enak jika saya tinggal saja ke New York. Tapi norma saya sebagai anak tak tega melakukan tindakan setidak peduli itu. Hanya saja, kecintaan saya pada kota ini musnah sudah.

Setiap malam, Ibu meraung, minta dibacakan cerita. Minta diperlihatkan setumpuk gambar-gambar yang eksotis. Perempuan berambut panjang dengan uban dan dada menggelembung indah. Di sampul tumpukan gambar itu, masih tertulis judul dan nama yang sama. “Dyah Mayakresna, by Kala.” Pada gambar terakhir, sebelum Ibu tenang dan beranjak tidur, ia bergumam.

“Kala, saya mencintaimu dan akan menunggui kuburmu,” katanya.

Hubungan Kala dan Ibu baru tiga tahun. Saya bertemu Kala di New York, lima tahun lalu. Betapa akhirnya saya lebih dulu keluar sebagai juara mengalahkan ibu saya. Juara untuk siapa yang pertama kali menidurinya. Sayang, Ibu lebih juara dalam hal membunuhnya.

Udiarti, lahir di Gunung Kidul, tumbuh di Surakarta, dan menumpang hidup di Jakarta sebagai guru tari taman kanak-kanak.