"Frida, di belakangnya enggak ada 'Siahaan'-nya, gitu?" ujar dokter yang hendak memeriksa fisik saya untuk memberikan surat keterangan berbadan sehat, salah satu dokumen yang saya perlukan untuk mendaftar suatu beasiswa pendidikan tahun lalu.
Termangulah saya di kursi seberang. Ternyata dokter itu sedang kepo sembari menutupinya dengan berusaha bercanda. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya saya menyahut, "Oh, enggak, Dok, saya orang Jawa, kok." Secara teknis, jawaban saya tidak keliru, karena meski saya orang Cina, saya lahir dan besar di Jawa Tengah. Tapi, kenapa saya tidak bilang saja bahwa saya orang Cina? Akan saya bahas sebentar lagi.
Itu bukan pertama kalinya saya dikira orang Batak. Mungkin karena muka saya memang tidak representatif terhadap suku apa pun, jadi identitas kesukuan saya sering dipertanyakan. Sesungguhnya saya tidak kaget saat identitas kesukuan saya dipertanyakan ketika bertemu orang baru, karena itulah salah satu keingintahuan utama orang Indonesia. Di sini tak cukup hanya menjadi orang Indonesia. Kamu harus menjadi orang Jawa, orang Batak, orang Sunda, orang Bugis, orang Bali, orang Madura, orang Papua—lengkap dengan stereotip dan stigmanya. Namun, persoalan ini jadi cukup pelik bagi saya, karena seolah selalu dituntut untuk membuktikan “keaslian” suku saya.
Makanya, wajar ketika pergi ke toko, misalnya, kadang saya mendapati si pegawai agak bingung hendak menyapa saya dengan sebutan apa, antara "mbak", "teteh", atau yang paling aman, "kak". Sebetulnya saya sendiri tidak masalah dengan sebutan yang mana saja di antara ketiganya (meski demikian, saya paham bahwa panggilan "mas" dan "mbak" ke sembarang orang adalah salah satu efek Jawanisasi). Bahkan, kadang juga ada yang memanggil "mas" atau "bang". Seringnya, itu terjadi ketika saya mendaki gunung atau ketika mengendarai motor.
Baca juga: Saya Cina dan Ingin Jadi PNS, Ada yang Salah?
Ketika orang-orang bertanya saya dari mana dan saya jawab “dari Jawa Tengah”, kadang mereka langsung percaya karena logat saya medok. Namun, beberapa jenak kemudian mereka akan bertanya lagi, "Tapi kamu asli orang Jawa?", karena mungkin menurut mereka muka saya tidak “njawani”. Karenanya, saya sungguh merasa terkoneksi ketika L. Ayu Saraswati dalam bukunya Putih bercerita bahwa identitasnya sering dipertanyakan, “Tapi asal Anda dari mana, aslinya?”
Jika saya menjawab bahwa saya orang Cina, kadang akan dibalas dengan ungkapan keraguan atas muka saya yang tidak mewakili stereotip penampakan fisik orang Cina. Persoalan makin pelik tatkala mereka mendapati bahwa papa saya menggunakan "nama Indonesia", sedangkan mama saya tetap bertahan memakai nama Cina, yang kadang membuat saya dikira blasteran Cina-Jawa. Lebih dari itu, di kalangan orang Cina sendiri (biasanya yang datang dari kelas sosial lebih tinggi—oh ya, keluarga saya adalah bukti nyata bahwa tidak semua orang Cina itu pedagang dan tidak semua orang Cina itu kaya) saya sering dianggap bukan bagian dari mereka. Jadi, selain pernah mengalami perundungan karena identitas kesukuan saya ini, di kalangan sesama Cina pun kecinaan saya dipertanyakan.
Baca juga: Antara Cina dan Amerika: Gesekan Rasial dalam Keluarga di Tengah Pandemi
“Ah, masa sih, enggak kelihatan Cinanya. Oh, kamu blasteran, ya?”
Dan ya, masih ada kalangan Cina tertentu yang menganggap bahwa menjadi orang berdarah campuran adalah semacam “dosa”. Barangkali semacam pemujaan berlebihan Salazar Slytherin terhadap darah murni. Saking seringnya tidak dikenali dan tidak dipercaya sebagai orang Cina, saya sampai terkejut ketika ada (jarang sekali, memang) orang yang baru pertama kali bertemu saya dan dengan tingkat ke-pede-an tertentu memanggil saya dengan sebutan "cik"—panggilan untuk kakak perempuan Cina.
Bisa dibilang, secara sosial-budaya saya merasa tercerabut dari mana-mana. Ketercerabutan ini tidak semata karena saya Cina medok yang kurang putih dan kurang sipit, tapi lebih dalam lagi, juga karena sejak generasi sebelumnya, budaya Cina di keluarga saya telah semakin luntur. Sebagai contoh, kakek-nenek saya sudah tidak bisa berbahasa Cina dan sudah sejak bertahun-tahun lalu Imlek dirayakan hanya sejauh tersedianya kue keranjang di meja makan. Memakai kacamata sejarah, saya juga melihat ini sebagai dampak pe-liyan-an secara sosial-politik yang disponsori oleh pemerintah sejak zaman kolonial Belanda sampai rezim Soeharto. Misalnya di zaman Orba, kebijakan seperti pembedaan KTP, penggantian nama Cina ke “nama Indonesia”, pelarangan perayaan hari raya tradisional Cina secara bebas, serta pelarangan penggunaan bahasa dan aksara Mandarin mengikis rasa keterikatan dan rasa memiliki terhadap identitas Cina. Rasa ketercerabutan ini terus berlangsung hingga sekarang, dan reformasi ternyata tidak mengobati itu semua.
Baca juga: Menjadi Cina Antara Mei 1998 dan 2019
Namun tak saya mungkiri, sebagai orang Cina yang sering dikira bukan Cina, saya jadi lebih mudah bergaul dengan kawan-kawan dari beragam latar belakang kesukuan. Barangkali karena orang-orang di sekitar saya yang bukan Cina dan kebetulan menyimpan stigma terhadap orang Cina cenderung memandang netral terhadap saya, setidaknya sebelum mereka tahu kalau saya juga Cina. Dalam konteks tertentu saya diuntungkan juga oleh identitas kejawaan yang saya peluk, misalnya in-group favoritism yang ditunjukkan oleh sesama orang Jawa yang saya temui di perantauan. Ini terdengar paradoks, bahwa identitas kecinaan saya membuat saya tergolong non-privileged, tapi kejawaan saya kadang menempatkan saya sebagai golongan privileged.
Bagi saya, pertanyaan “kamu orang mana” merupakan persoalan yang cukup pelik, sehingga demi efisiensi pembicaraan, saya lebih suka menjawab bahwa saya orang Jawa. Atau orang Indonesia. Namun, tetap saja pelik. Kalau saya menjawab begitu, saya sering dikira sedang mengajak bercanda.
"Ya iyalah, orang Indonesia. Maksudku, sukumu apa?"
Ah, tak cukupkah saya hanya menjadi "orang Indonesia"?
Comments