Pada 16 Mei lalu, saya terperangah ketika membaca sebuah berita yang dirilis The Jakarta Post, tentang pemecatan seorang polisi berinisial TT di Jawa Tengah karena orientasi seksualnya. Benak saya meraba-raba, jangan-jangan kasus ini pertama yang muncul di Indonesia? Atau mungkin tahun-tahun lampau memang ada kasus serupa dan saya melewatkannya?
Tak berapa lama kemudian, Vice Indonesia merilis berita tentang kasus tersebut dengan memakai judul yang memberi kesan serius, “Polisi di Jateng Jadi Aparat Pertama Dipecat dari Kesatuan Karena Homoseksual”. Ah, jadi benar kasus ini yang pertama terjadi di Indonesia?
Keterkejutan bercampur keheranan saya ini bukan tanpa alasan; ada hal yang menggelitik di dalam pikiran saya. Selama ini kita telah “akrab” dengan kabar-kabar persekusi yang dilakukan polisi kepada kelompok LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender). Alih-alih memberi perlindungan kepada minoritas, aparat malah mengesahkan tindak diskriminasi ini dengan dalih LGBT menyebabkan kerusakan “moral” bangsa dan harus diperangi.
Berkaca pada hal itu, sudah jadi rahasia umum bahwa relasi antara polisi dengan kelompok LGBT tidak bisa dibilang damai apalagi mesra. Dalam pandangan kelompok LGBT, aparat sudah menjelma momok dan ancaman yang menakutkan.
Mungkin pandangan kita juga sudah buram, kita hanya melihat dua kubu yang berseberangan, hitam dan putih. Di satu sisi aparat dan di sisi lain kelompok LGBT. Tapi dalam kasus TT ini kita bisa melihat problem yang unik bahwa ternyata anggota aparat juga ada yang homoseksual, kok. Ternyata di dalam tubuh aparat sendiri telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak individu anggotanya.
Pihak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam keterangannya di beberapa media tidak mengelak bahwa TT dinilai telah merusak citra Polri. Pertanyaannya, “citra” yang seperti apa?
Jawaban formalnya adalah, TT diduga melanggar Pasal 7 ayat (1) huruf b dan Pasal 11 huruf c Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri. Memang aturan tentang LGBT tidak termuat secara khusus, pihak Polri hanya mengambil simpulan bahwa LGBT melanggar norma agama dan kesusilaan. Kalau saya terjemahkan, sikap dan keputusan Polri ini hanya mengikuti arus stereotip mayoritas, bukan berdasarkan kajian yang kritis dan mendalam.
Itulah versi formal penodaan citra kepolisian. Tapi kita bisa melihat citra lain yang bersembunyi di balik doktrin mayoritas. Apa itu? Citra itu berkaitan dengan kultus maskulinitas yang berkelindan dengan prasangka homofobia.
Citra Polri sesungguhnya bukan sekadar tercoreng karena TT dianggap melanggar norma sosial. Lebih dari itu, polisi telah mengalami “luka” karena pengkhianatan maskulinitas. Aparat keamanan selalu menonjolkan citra-citra maskulin, seperti macho, gagah, berani, kuat, dan sebagainya. Ketika homoseksualitas anggota aparat terungkap, polisi merasa terancam dengan citra lain di luar maskulinitas. Maskulinitas LGBT dianggap “impoten”.
Menariknya, dalam wawancara yang dilakukan wartawan Erik Meers pada tahun 1998 di AS, ia menemukan fakta bahwa polisi lesbian lebih mudah diterima oleh anggota polisi heteroseksual daripada polisi gay. Sebagaimana diketahui, lembaga kepolisian di beberapa negara bagian AS telah memperbolehkan orang-orang LGBT bergabung di dalamnya. Fakta perempuan lesbian dianggap lebih dekat pada visi maskulinitas kepolisian ketimbang yang laki-laki gay menjadi menarik untuk ditelaah.
Stereotip polisi gay dianggap gagal memenuhi standar “laki-laki sejati”. Sisi feminitas pada seorang gay selalu dipandang sinis karena dianggap memiliki fisik yang lemah dan terlalu sensitif secara emosi. Asumsi-asumsi ini menjadi dalil pembenaran bahwa kelompok LGBT tidak layak bekerja sebagai polisi karena bertentangan dengan prinsip kerja kepolisian yang mengedepankan tindak laku agresif dan cenderung keras.
Padahal asumsi tersebut tak benar. Buktinya, kenapa ada banyak kasus homoseksualitas polisi baru dipermasalahkan ketika mereka sudah bekerja selama sepuluh tahun bahkan lebih? Artinya, selama itu perilaku mereka tak seperti yang kerap dijadikan mitos. Toh, kualitas fisik mereka tidak berbeda dengan polisi heteroseksual. Tidak ada kaitannya bahwa orientasi seksual dapat memengaruhi kinerja dan kemampuan seseorang.
Kemungkinan besar kasus TT menjadi yang pertama di Indonesia, tapi bukan yang pertama di dunia. Di Turki misalnya, kasus pemecatan anggota polisi karena orientasi seksualnya juga dialami Osman pada 2014 lalu dan Metin pada 2018––ini hanya berdasar penelusuran acak yang saya lakukan di internet, bisa jadi ada kasus serupa yang tidak terekspos media.
Stereotip polisi gay dianggap gagal memenuhi standar “laki-laki sejati”. Sisi feminitas pada seorang gay selalu dipandang sinis karena dianggap memiliki fisik yang lemah dan terlalu sensitif secara emosi.
Homofobia nyatanya masih menjadi momok serius bagi kepolisian yang mengkultuskan heteroseksual dan maskulinitas “tulen”. Bahkan di AS misalnya, setelah Sersan Charles Cochrane berani mendeklarasikan dirinya sebagai “polisi gay” di hadapan publik dan mendirikan GOAL (Gay Officers Action League) sebagai organisasi yang mengayomi polisi gay di tahun 1980-an, diskriminasi tidak secara otomatis lenyap begitu saja.
“Saya sangat bangga menjadi polisi Kota New York, saya dengan kebanggaan saya sebagai gay,” ujar Cochrane ketika menyampaikan kesaksian publik mengenai Rancangan Undang-Undang Anti-diskriminasi di Dewan Kota New York. New York Post menyebutkan, sejak kepolisian didirikan pada 1845 baru kali itu ada polisi yang secara terbuka mengaku dirinya gay.
Risiko yang dihadapi para polisi homoseksual ketika melela sangatlah besar. Di AS, meski sudah ada GOAL yang mengadvokasi hak-hak LGBT, masih banyak anggota polisi yang memilih menyembunyikan identitasnya. Risikonya tidak cuma dipecat. Ada akibat yang lebih berkepanjangan, yakni perlakuan diskriminatif di lingkungan sosial terdekat, terutama oleh sesama koleganya.
Itulah mengapa identitas TT memang selayaknya disembunyikan dan dilindungi, mengingat gelombang fanatisme dan intoleransi di Indonesia akhir-akhir ini sangat meningkat. TT mengatakan bahwa selama ini ia sudah menutup rapat orientasi seksualnya, terutama kepada sesama koleganya, seperti yang dikutip media. Namun entah kenapa hak privasinya itu bocor.
Memang kasus TT belumlah tuntas. Masih banyak hal-hal yang belum dijernihkan. Misalnya, tuduhan desersi dan pelecehan seksual yang ditimpakan pada TT. Tetapi hingga saya menuliskan ini, belum juga ada kabar yang menjernihkan, terutama atas tuduhan yang serius tentang pelecehan seksual.
Kalaupun pelecehan seksual itu terbukti, media harus bijaksana dalam mewartakannya kepada publik. Tidak perlu ada framing dan embel-embel “gay” yang dibombardir pada judul berita. Kenapa? Karena hal itu memperkuat stereotip negatif bahwa orang-orang LGBT dianggap “lumrah” melakukan pelecehan seksual. Harus dibedakan, kelompok LGBT “tidak secara otomatis” melakukan pelecehan seksual. Dengan begitu, fakta autentik bisa menjernihkan prasangka publik.
Berefleksi terhadap kasus ini dan kasus bias gender lainnya yang melibatkan aparat keamanan, saya kerap bermimpi seandainya lembaga ini bisa ramah gender. Jangankan terhadap isu homoseksual, terhadap isu pelecehan seksual yang dialami perempuan saja masih meninggalkan pekerjaan rumah yang berkepanjangan.
Jadi, bagaimana bisa polisi yang seharusnya memberi pengayoman hukum pada masyarakat, jika terhadap pelaksanaan hak asasi manusia di internal saja mereka masih cacat?
Ilustrasi oleh Sarah Arifin
Comments