Women Lead Pendidikan Seks
November 30, 2021

Kaum Menunda-nunda Sedunia, Bersatulah: Kamu Belum Tentu Pemalas

Sering disebut malas, ‘procrastination’ sebenarnya ketidakmampuan seseorang mengatur ‘mood’. Ini tak selamanya negatif.

by Aurelia Gracia, Reporter
Lifestyle
Share:

Saat menggarap skripsi sambil magang tahun lalu, setiap malam saya dihadapkan dengan dua pilihan: Mencicil atau menunda supaya tidur lebih cepat. Enggak jarang pilihan jatuh pada opsi kedua, alasannya capek dari pagi ke sore mengerjakan tugas magang. Tentu keesokan harinya saya panik dan menyesal, mengingat tenggat waktu pengumpulan yang semakin dekat.

Namun, bukan berarti saya kapok dan langsung mencicil skripsi. Kenyataannya, saya masih doyan menunda berulang kali, sampai merasa bersalah dan mengutuk diri sendiri. Sebuah panggilan pun saya sematkan, procrastinator ulung yang enggak bisa melawan rasa malas.

Ternyata, pemalas karena suka menunda aktivitas merupakan kesalahan pemahaman yang diyakini banyak orang. Meskipun serupa karena kekurangan motivasi, keduanya merupakan hal berbeda.

Mengutip Psychology Today, seseorang dikatakan malas apabila kegiatan yang seharusnya dilakukan dengan serius, justru diselesaikan asal-asalan karena tidak menginginkan usaha penuh.

Sementara procrastination, pengerjaan aktivitas ditunda karena takut gagal hingga mengakibatkan stres, tidak dapat mengerjakan dengan produktif, serta rasa bersalah. Walaupun demikian, sejak awal seorang penunda berniat menyelesaikannya.

Kemudian, saya menemukan jenis-jenis procrastinator yang dijelaskan oleh  Joseph Ferrari, seorang penulis dan profesor psikologi di DePaul University in Chicago, AS. Kepada The Washington Post, ia menyebutkan ketiganya.

Pertama, pencari sensasi, yang mengerjakan sesuatu saat mendekati tenggat waktu karena meyakini kerjanya maksimal apabila dilakukan di bawah tekanan. Kedua, penghindar, yang melakukannya untuk menghindari penilaian performa kerjanya ataupun dihakimi. Ketiga, seseorang yang bimbang akibat sulit mengambil keputusan penting atau stres, karena terlalu banyak mempertimbangkan opsinya.

Dari situ saya tahu termasuk tipe yang kedua, karena enggak ingin cepat-cepat dikoreksi dosen pembimbing. Lebih jauh lagi, saya menemukan sebuah fakta psikologis yang menarik perhatian. Procrastination bukan sekadar kehilangan motivasi, melainkan ketidakmampuan mengatur mood buruk dalam mengerjakan aktivitas tertentu.

Baca Juga: ‘Revenge Bedtime Procrastination’, Menyenangkan tapi Buruk untuk Kesehatan

Perkara Regulasi Emosi

Penjelasan itu diberikan oleh Fuschia Sirois, profesor Psikologi di University of Sheffield, Inggris. Kepada The Washington Post ia mengatakan, “Kita tidak menunda aktivitas menyenangkan, tetapi yang dianggap sulit, membosankan, atau bikin stres.”

Jika dipersingkat, seseorang cenderung menunda aktivitas karena bad mood. Terutama apabila aktivitas itu sangat berat hingga memicu kecemasan, dan membuatnya lebih baik menghindar.

Adanya present bias, atau keinginan menerima penghargaan kecil di masa kini dibandingkan menunggu yang lebih besar di masa depan, turut berperan di dalamnya. Seseorang cenderung memprioritaskan keinginan jangka pendek untuk meringankan emosi negatif, meskipun bentuknya tidak sebanding dengan yang akan diterima.

Sebagai contoh, menawar waktu untuk menyaksikan 20 menit pertama episode serial televisi, sebelum mulai mengerjakan pekerjaan kantor. Tentu kesenangan itu diharapkan terjadi secepat mungkin, daripada dua jam lagi setelah menyelesaikan pekerjaan.

Selain itu, procrastination sering dikaitkan dengan manajemen waktu yang buruk. Namun, Dr. Tim Pychyl, profesor Psikologi sekaligus anggota Procrastination Research Group di Carleton University, Kanada, menegaskan hal ini murni sebagai permasalahan pengaturan emosi.

Dalam studi berjudul “Procrastination and the Priority of Short-Term Mood Regulation: Consequences for Future Self” (2013), Sirois dan Pychyl menjelaskan, procrastination justru upaya memperbaiki mood dari aktivitas yang dihindari tersebut.

Pun tidak serta-merta procrastination dilakukan karena aktivitasnya sulit atau tidak menyenangkan, tetapi ada perasaan meragukan diri sendiri, rendahnya harga diri, kecemasan, atau merasa tidak aman akibat kurang percaya diri. Misalnya seseorang yang ingin memulai sebuah proyek, tetapi mengkhawatirkan hasil kerjanya yang buruk dan tanggapan orang lain.

Pada akhirnya, perasaan cemas, kesal, emosional, dan mengevaluasi diri sendiri secara negatif akan meningkat, saat seseorang berusaha menyelesaikan aktivitasnya dan menyesal telah menunda.

Baca Juga: Tren Kaum Rebahan: Ada Pemberontakan, Ada Kenikmatan

Itu merupakan beberapa dampak negatif yang ditimbulkan dari procrastination. Melansir The New York Times, procrastination juga mampu mengganggu kesehatan fisik maupun mental, seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular, gejala depresi dan kecemasan, stres kronis, serta tekanan psikologis umum dan kepuasan hidup yang rendah.

Sementara penelitian “Do procrastinators get worse sleep? Cross-sectional study of US adolescents and young adults'' (2020) oleh akademisi Xiaoyu Li dkk. memaparkan,  procrastination juga berkaitan dengan gangguan tidur. Misalnya, durasi tidur yang semakin pendek, meningkatnya risiko gejala insomnia, dan mengantuk di siang hari.

Ada Solusinya

Self-compassion atau berbelas kasih pada diri sendiri, merupakan kunci mengatasi procrastination, yang dapat memotivasi diri sekaligus mengurangi tekanan psikologis. Sirois membuktikannya melalui penelitian “Procrastination and Stress: Exploring the Role of Self-compassion (2013), yang mana disebutkan terdapat korelasi antara rendahnya self-compassion dan procrastination.

Penyebabnya, umumnya seseorang yang suka menunda cenderung bersikap keras pada dirinya, seperti merasa bersalah dengan kinerjanya yang lamban, mengkritisi keputusannya untuk menunda pengerjaan, atau hasil kerjanya yang mengecewakan orang lain.

Untuk memperlakukan diri dengan baik, Sirois menyebutkan perlunya pengakuan bahwa dirinya bersalah dan seharusnya dapat menyelesaikan aktivitas sejak awal. Namun, bukan berarti perlu menyalahkan diri terus-menerus, toh yang senang menunda sesuatu tidak hanya dirinya, sehingga procrastination merupakan hal wajar.

Kemudian, self-compassion juga berkaitan dengan kesadaran dan kebaikan diri, serta kemanusiaan. Menurut profesor psikolog di University of Texas, AS, Kristine Neff dalam “Self-compassion: An alternative conceptualization of a healthy attitude toward oneself. Self and Identity” (2003), seseorang yang kehilangan ketiga aspek tersebut akan mengkritik dan menyalahkan dirinya sendiri.

Baca Juga: Apa Itu ‘Toxic Productivity’, Kenapa Kamu Perlu Menghentikannya?

Berdasarkan self-compassion, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi kebiasaan menunda.

Pertama, mencari tahu mengapa aktivitas itu penting dilakukan, apakah membantu pekerjaan orang lain, atau menguntungkan diri sendiri untuk melanjutkan kegiatan selanjutnya. Tidak hanya membantu pengerjaan lebih cepat, hal ini akan menciptakan kebahagiaan dari dalam diri setelah berhasil diselesaikan.

Kedua, apabila aktivitas yang dilakukan berskala besar, pecah ke dalam beberapa bagian untuk meringankan pengerjaannya. Dengan demikian, fokus utama berpusat pada langkah-langkah kecil yang dicapai, dibandingkan tujuan secara menyeluruh.

Ketiga, pastikan matikan notifikasi gawai dan televisi supaya tidak ada distraksi karena umumnya, seseorang yang terganggu akan sulit melanjutkan dengan konsentrasi penuh. Dan terakhir, menetapkan prinsip Premack yang mengacu pada penghargaan diri, setelah menyelesaikan kewajibannya.

Namun, yang perlu dihindari adalah procrasticlearing trap, atau menunda aktivitas untuk membereskan ruang kerja, karena tidak dapat dilakukan dalam kondisi berantakan. Ferrari mengatakan, hal ini sah-sah saja apabila tidak menyita terlalu banyak waktu. 

“Tetapi, apabila harus merapikan satu lemari buku, kecenderungannya adalah procrasticlearing,” jelasnya.

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.