Berwajah imut dengan pulasan blush on pink tipis-tipis, gaun hitam selutut, dan pita merah menyala, Babymetal relatif mudah mendapat tempat di hati penggemarnya. Namun, siapa nyana, trio perempuan itu bisa tampil unyu ketika membuka mulut dan menyanyi. Diiringi musik cadas, sub unit dari idol group Sakura Gakuin itu mendobrak batas lawas bahwa yang kawaii enggak bisa tampil sangar.
Babymetal cuma salah satu contoh betapa kawaii tak membatasi kreativitas mereka. Selama ini kawaii selalu digambarkan sebagai subjek yang subordinat, manja, lemah, dan seterusnya. Ini selaras dengan makna kawaii itu sendiri. Dalam bahasa Jepang, kawaii berarti imut, gemas, menawan, memikat, hingga cantik. Ragam arti dari kawaii ini biasanya termanifestasikan dalam karakteristik hiperfeminitas yang khas, yaitu mata bulat, bibir pink, pipi yang merona, suara yang cempreng dan cenderung manja, serta pakaian-pakaian berwarna pastel atau berenda.
Dengan karakteristik hiperfeminitasnya, kawaii sebagai subkultur Jepang, telah eksis melebihi arti harfiah katanya dan menjadi bagian dari gaya hidup banyak perempuan Jepang atau penikmat budaya Jepang.
Baca Juga: The Problems with 'Kawaii' Girls
Namun, di tengah segala hingar bingar kepopuleran kawaii, tidak dipungkiri bahwa subkultur ini memiliki dua sisi mata koinnya tersendiri. Dalam sejumlah klaim media dan penelitian, subkultur ini dianggap telah melanggengkan norma gender tradisional di masyarakat Jepang, tapi di satu sisi subkultur ini justru membebaskan perempuan.
Kawaii yang Melanggengkan Norma Gender Tradisional
Dalam penelitian the Paradox of the Cultural-Aesthetical Kawaii Movement (2021), Dilton Riberio asisten profesor dan mahasiswa doktoral di Queen’s University memaparkan bahwa subkultur kawaii dalam satu sisi dapat dilihat sebagai bentuk dari produk patriarki. Subkultur kawaii memungkinkan perempuan untuk menjadi objek dan tunduk pada male gaze dan hegemoni maskulin dengan menciptakan citra perempuan Jepang yang 'ideal'.
Industri hiburan Jepang pun memainkan peran besar dengan secara aktif mempromosikan kawaii sebagai citra ideal sambil mengobjektifikasi perempuan. Dengan menekankan perilaku perempuan powerless dan submisif yang sangat lekat dengan ajaran konfusianisme, industri hiburan Jepang secara implisit menanamkan pemahaman mengenai norma-norma gender. Bahwasanya, laki-laki harus maskulin dan dominan dan perempuan harus feminin dan submisif. Karenanya, laki-laki dan perempuan harus bersikap dan berpenampilan sesuai norma-norma gender ini.
Secara khusus jika kita melihat anime dan manga shōnen dan shōjo, kita dapat melihat perbedaan mencolok dalam karakter yang mempromosikan pandangan peran dan identitas di yang diharapkan masyarakat Jepang terhadap perempuan. Protagonis laki-laki di sebagian besar genre shōnen misalnya digambarkan sebagai pahlawan maskulin dan heteroseksual yang melakukan berbagai tindakan untuk karakter perempuan yang digambarkan sebagai 'kawaii' dan tidak berdaya sehingga butuh diselamatkan (damsel in distress).
Bahkan tidak jarang protagonis laki-laki digambarkan hanya menyukai perempuan yang kawaii. Sehingga ada sebuah pesan yang ingin disampaikan pada perempuan bahwa mereka hanya bisa disukai oleh laki-laki dan mendapatkan validasi dari mereka jika mereka kawaii.
Baca Juga: ‘Jouhatsu’, Ketika Seseorang Sengaja Menghilang dari Muka Bumi
Hal yang kemudian menarik dari kritik terhadap subkultur kawaii adalah beberapa orang menilai bahwa kesenjangan gender di Jepang juga salah satunya disebabkan oleh subkultur kawaii. Nobuko Kobayashi, seorang konsultan bisnis dalam Nikkei Asia misalnya memaparkan sudut pandangnya bagaimana seksisme di Jepang termanifestasikan di dalam subkultur kawaii yang digandrungi oleh banyak perempuan.
Menurutnya laki-laki utamanya older generation menginginkan perempuan untuk menjadi sosok yang kawaii, sosok yang submisif yang menjalankan peran gendernya sebagai ibu dan istri yang baik. Bahkan tidak jarang keinginan ini menjadi alat justifikasi laki-laki untuk menggurui perempuan tentang bagaimana mereka seharusnya bersikap yang akhirnya diinternalisasi oleh para perempuan-perempuan muda.
“Sikap menggurui ini, bagaimanapun, mengarah pada kurangnya kesempatan yang adil bagi perempuan dan mengakibatkan kesenjangan gender dalam promosi kerja perempuan dari waktu ke waktu.”
Hal senada pun pernah diungkapkan oleh Akie Abe, radio DJ dan istri dari mantan perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Dalam wawancaranya bersama Bloomerang Jepang, ia mengatakan bahwa ia dan perempuan Jepang lain tinggal di dalam masyarakat laki-laki. Dalam masyarakat laki-laki, laki-laki Jepang cenderung lebih menyukai perempuan yang kawaii dibandingkan dengan perempuan berbakat yang berdaya.
Perempuan akhirnya lebih cenderung memerankan peran perempuan ideal yang kawaii dan menganggap laki-laki baik. Perempuan pun terbelenggu dalam peran gender tradisional mereka kendati mereka adalah perempuan yang berdaya di dunia kerja.
Baca Juga: Tabu Menstruasi di Jepang: Saat Darah Haid Dianggap Aib
Kawaii yang Membebaskan dan Memberdayakan Perempuan
Subkultur kawaii dengan karakteristik khas hiperfeminitasnya memang mendapatkan berbagai kritikan salah satunya adalah karena dianggap sebagai produk patriarki yang seksis. Walaupun demikian, bagi beberapa perempuan yang menjalani gaya hidup kawaii, subkultur ini nyatanya justru membebaskan dan memberdayakan mereka.
Dalam penelitian Capitalizing on “Cuteness”: The Aesthetics of Social Relations in a New Postwar Japanese Order (1998), Leila Madge professor antropologi di Universitas Clifornia menjelaskan bahwa alih-alih menyesuaikan diri dengan gagasan ideal tentang feminitas seperti kepatuhan dan kepolosan seksual khususnya, perempuan-perempuan muda yang mengadopsi gaya hidup kawaii justru berusaha menentang gagasan ideal ini dengan cara merangkul feminitasnya pada level yang ekstrem.
Pada tahun 1980-an akhir misalnya banyak perempuan muda Jepang mengadopsi gaya hidup kawaii sebagai bentuk perlawanan dan pelarian mereka terhadap ekspektasi masyarakat terhadap perempuan yang termanifestasi dalam peran gender ryousai kenbo 賢母良妻 atau istri yang baik dan ibu yang bijak.
Perempuan muda Jepang dalam hal ini menginginkan kebebasan tidak hanya dari pernikahan tradisional tetapi juga pernikahan dan peran reproduksi secara umum yang selama ini menjadi tanggung jawab sosial mereka di masyarakat patriarkal. Mereka pun dalam prosesnya mengumpulkan barang-barang kawaii di sekitar mereka, mengubah kamar tidur mereka menjadi surga kawaii, dan berperilaku kawaii.
Mengadopsi gaya hidup kawaii pun akhirnya tidak hanya menjadi sebuah jalan perlawanan para perempuan muda dalam melawan peran gender. Namun, di satu sisi juga merupakan pencarian metode baru kepuasan diri perempuan yang tidak bergantung pada suami dan
keluarga dengan menawarkan cara bagi perempuan muda untuk merangkul dunia masa kanak-kanak mereka jauh dari tanggung jawab sosial mereka sebagai perempuan dewasa.
Tidak hanya jauh dari tanggung jawab perempuan dewasa, mengadopsi gaya hidup kawaii sama saja menjadi seperti anak kecil. Hal ini berarti perempuan dapat mempertahankan sense of innocence-nya yang pada prosesnya mampu mengilhami kreativitas yang kepekaannya akan hilang seiring kita bertumbuh dewasa. Hal ini misalnya bisa kita lihat dari keunikan tren mode Harajuku dan Lolita, mode yang berakar pada konsep kawaii yang terus berkembang di tiap dekadenya.
Tidak hanya menjadi sesuatu yang membebaskan dan memberdayakan bagi perempuan, gaya hidup kawaii ternyata juga membebaskan bagi laki-laki. Dalam penelitian The Power of Cute: Redefining Kawaii Culture as a Feminist Movement (2014), akademisi Mary Christopherson memaparkan bahwa kawaii menantang feminitas ideal di masyarakat yang dalam prosesnya berusaha menumbangkan standar maskulinitas.
Shigemoto Yamamoto, pencipta desain MGC Factory dan the MonsterGirls misalnya mengungkapkan bahwa kawaii memberikannya kekuatan, semacam kekuatan motivasi. Melalui penolakan kedewasaan dan merangkul femininitas mereka dalam subkultur kawaii, laki-laki seperti Yamamoto mendapatkan kebebasannya dalam berkarya dan mengekspresikan diri di luar batasan gender biner yang mengekang mereka.
Dengan demikian, subkultur kawaii tidak bisa dinilai bagus atau tidaknya dari satu sudut pandang saja. Memang dalam satu sisi subkultur ini dapat dipandang sebagai produk patriarki yang kembali memenjarakan perempuan dalam batasan peran gender tradisional mereka. Namun, perlu dipahami, untuk banyak perempuan bahkan untuk laki-laki, subkultur ini membantu mereka untuk memperoleh kebebasan dan menjadi medium melawan masyarakat yang kerap memenjarakan mereka pada batasan-batasan tertentu.
Comments