“The truth hurts, a lie’s worse…”
Cuplikan lirik “Broken Strings” yang dinyanyikan James Morrison dan Nelly Furtado ini sudah hampir seminggu menggema di kepala saya. Bukan, bukan perkara cinta sebagaimana yang diangkat dalam lagu tersebut, melainkan kejadian tentang bungkamnya seorang kawan dekat baru-baru ini. Bagi saya, truth hurts, lie’s worse, and silence is the worst.
Sudah masuk hari keenam sejak Kamis lalu, “Tante”, orang tua teman saya yang telah sebulan ini menjadi pengasuh anak, mengabarkan bahwa pacar teman saya, “Merry”, positif COVID-19.
Setiap Senin malam hingga Rabu sore, saya memberi Tante hari libur untuk pulang ke rumah pacar Merry, tempat Merry berdomisili selama beberapa tahun ini. Pada Rabu sore, saya menanyakan apakah ia menunggu anaknya pulang dulu sebelum ke rumah saya atau tidak. Jawabannya hari itu mengejutkan:
Tante: “Pacar Merry kemarin panas dingin, hari ini swab. Tante juga agak demam.”
Saya: *level kecemasan: 3* Tante udah cek ke dokter?
Tante: “Belum. Tunggu hasil swab [PCR] pacar Merry keluar.”
Kamis sore, Tante belum juga ke dokter, melakukan tes PCR atau antigen, sementara ia mengaku demamnya sudah hilang. Lalu malamnya, ia mengirim pesan, “Patres, pacar Merry positif. Jadi Tante enggak ke tempat kamu dulu, ya.”
*Level kecemasan: 6*
Saya lantas menyarankan ia langsung melakukan tes, setidaknya antigen dulu dan tidak ke mana-mana selama dua minggu. Malam itu juga, saya dan pasangan langsung ke klinik terdekat mengambil tes antigen. Hasil keduanya negatif. Cemas hilang? Tentu saja tidak.
Saya memang enggak ngikutin banget bermacam perkembangan informasi seputar COVID-19 karena semakin banyak saya baca, semakin stres sendiri saya jadinya. Namun, setidaknya saya tahu, hasil antigen bisa berbeda dengan hasil PCR.
Baca juga: Beban Ganda Perempuan Pasien COVID-19 dan Cara Membantu Mereka
Ini yang membuat saya terus kepikiran untuk mengambil tes PCR, tetapi di sisi lain, keuangan saya bulan ini juga sedang ambruk setelah membayar biaya operasi salah satu anak bulu saya: Sampai lebih dari 90 persen gaji saya. Untuk sisa bulan ini, saya mau tidak mau memakai uang tabungan yang sejatinya saya peruntukkan bagi sekolah si kecil plus subsidi dari pasangan. Hiks.
Jumat sore, saya kembali menghubungi Tante menanyakan apakah ia sudah tes swab, dan dijawab “belum” karena menunggu anaknya pulang kerja dulu. Kecemasan saya saat itu bercampur dengan amarah.
Selama sebulan terakhir, saya merasa telah membangun relasi berkualitas tidak hanya sebagai pemberi kerja dan pekerja saja dengan Tante. Saya bahkan merasa entah bagaimana, dia mengisi posisi ibu saya yang sudah meninggal sekaligus menjadi teman yang nyaman diajak berbicara tanpa penghakiman. Ada kelekatan lebih meski baru hitungan 30 hari dan saya mencemaskannya karena ia telah berusia kepala 6.
Saya lantas meneleponnya dan menceritakan tentang bapak saya yang tinggal jauh dari saya. Bapak sempat terkena COVID-19 dan baru mendapat hasil negatif tes PCR setelah dua bulan lebih. Saya mengingatkannya tentang komorbid darah tinggi yang ada di di riwayat kesehatan Tante, seperti halnya Bapak. Saya pun menumpahkan kekecewaan saya karena Merry dan pacarnya tak buru-buru memeriksakan Tante yang jelas-jelas masuk kelompok rentan.
Dengan emosional saya berkata, “Tante butuh apa sekarang? Uang atau butuh dijemput, dievakuasi? Karena kemungkinan Tante terpapar besar. Merry dan pacarnya bisa tes dengan fasilitas kantor, tapi Tante yang faktor risikonya besar, malah belum tes,” dan dibalas Tante dengan, “Enggak, udah, makasih, Tres. Katanya udah enggak menular [virus COVID-19 dari hasil tes PCR pacar Merry].”
*Level kecemasan: 9*
Baca juga: Virus Corona atau Bukan, Ya?: Pengalaman Merawat ODP di Rumah
Apa itu Egois?
Sebagian mungkin berpikiran saya hanya egois karena saya membutuhkan jasa Tante untuk mengasuh anak saya di rumah. Itu ada betulnya, karena tak terelakkan, saya kembali di posisi kewalahan sebagai ibu bekerja yang sering merasa jam kerja pun terasa kurang untuk menunaikan semua kewajiban kantor.
Relasi terputus dengan si Tante membuat rutinitas saya berubah dan kondisi psikis saya memburuk. Di tengah kondisi emosional yang tidak stabil di bawah perawatan psikiatri seperti sekarang, susah rasanya untuk otomatis ikut senang dan tersenyum saat anak tersenyum atau mengajak main. Sekarang ini hanya dengan menenggak psikotropika, saya bisa “berfungsi” lebih baik. Tidak, saya tidak membesar-besarkan kondisi mental saya dan mencari apologi. Saya mengatakan yang sejujurnya dan saya tahu ini bukan dalih untuk tidak menjadi ibu dan pekerja yang “baik”.
Sejak awal saya memutuskan menambah jasa ART pun, kondisi mental saya yang menjadi salah satu faktor yang mendorong keputusan itu. Saya tak mau anak saya sering mendapati ibunya meledak-ledak tak terkendali, sementara si kecil tengah jadi spons supercepat menyerap apa pun yang dilihatnya.
Saya egois juga kalau dilihat dari bagaimana saya bereaksi kepada Tante. Seakan-akan dirinya adalah “milik” saya atau ibu saya sendiri, sehingga saya berhak memintanya melakukan ini itu. Saya sadar betul ikatan darah dengannya yang tidak saya miliki, menjadi batasan jelas saya dengan dia. Namun, kecemasan terhadap nasibnya tidak terhindarkan. Sangat.
Di lain sisi, sampai detik ini pun, Merry tidak mengabari saya tentang kondisinya sama sekali. Padahal, Senin malam itu saya sempat bertemu dan mengobrol dengannya berjarak satu kursi, dan setiap hari dia jelas tidur sekamar dengan pacarnya. Sesekali ia melepas maskernya dan saya di rumah tak memakainya juga. Salah saya memang menerima tamu dalam keadaan begitu.
Poinnya adalah, Merry pasti sadar ada risiko dari pertemuan kami itu. Entah saya yang bisa ditularkan atau menularkan COVID-19 kepadanya. Idealnya, siapa pun yang positif COVID-19 mengabari siapa saja yang mereka temui sebelum mereka terdeteksi. Namun, itu cuma jadi angan-angan saya karena tidak ada informasi darinya. Pun, dari Tante setelah saya meneleponnya Jumat malam itu. Tante tidak mengabari apakah dirinya sudah tes, apakah ia positif atau negatif. Saban pasangan saya bertanya, saya hanya menjawab “Masa bodoh dengan keluarga itu” seraya sesekali menahan perih di perut yang menyerang, seiring bertambahnya level kecemasan saya diam-diam.
Siapa yang egois? Apa itu egois? Apa itu pertemanan? Menutupi kenyataan, apakah itu bagian dari pertemanan yang diidamkan, bahkan bila itu membahayakan nyawa seseorang? Saya tak percaya pada kebohongan apa pun saat ini.
Bergulat dengan Trust Issue
Dalam kondisi kalut dan setelah bertahun-tahun tidak merasakan relasi pertemanan yang baik, saya kembali ke lubang trust issue tempat saya terjerumus lama. Pada Mei lalu saat teman dekat saya yang lain, “Mariska” menggelar pernikahan [dengan prokes tentunya], Merry sempat datang dan kami bertiga bercerita panjang lebar setelah tahunan tak bersua. Di sana Merry, yang sejak kelas dua SD saya kenal, bilang, “Kan ada gue kalau lu mau cerita,” waktu saya berkata sempat tidak percaya pada persahabatan. Sangat menyakitkan mengingatnya lagi.
“Yah, jangankan temen. Keluarga sendiri aja juga begitu, Nyet. Itu saudara gue yang positif juga diem-diem aja pas bergejala dan ke rumah ortu gue, sampe kemudian adik, kakak, nyokap, dan bokap gue kedeteksi positif,” kata Mariska pada saya saat saya menumpahkan unek-unek soal Merry lewat telepon.
Konyolnya lagi, saya bilang, dari Tante, saya tahu pacar Merry masih sempat seliweran menjemput Merry ke kantor di tengah kondisi positif tersebut walau “sudah tidak menularkan”. Tak habis pikir saya. Makin lama saya membaca artikel tentang CT value yang dibilang berhubungan dengan potensi menularkan COVID-19, makin dekat ke angka 10 level kecemasan saya, terlebih kepada anak saya yang baru akan menginjak dua tahun.
Perkara pandangan COVID-19 sebagai aib, atau saya dirasa sebagai pihak tidak berkepentingan, telah membuat saya skeptis terhadap pertemanan, enggan berelasi lagi dengan mereka yang saya kira cukup dewasa dan peduli kepada saya, sebagaimana saya peduli pada mereka.
Saya tidak sendirian. Sebuah laporan di The Atlantic Januari lalu juga menuliskan hal serupa dengan Merry. Orang yang tadinya tidak pernah menutupi apa pun dari keluarganya, mendadak bungkam soal COVID-19 yang mereka derita. Bahkan setelah bergejala, sebagian dari mereka masih bekerja setelahnya.
Manusiawi bila orang yang positif COVID-19 takut ditinggalkan atau distigma buruk oleh sekitarnya, seakan terkena lepra dalam bahasa artikel The Atlantic tadi. Namun, ini sudah berjalan hampir satu setengah tahun. Ayolah, apakah bagaimana orang memandang kalian lebih penting dari keselamatan dan perasaan was-was sekitar? Lebih darurat mana?
Setiap orang butuh kepastian akan keselamatannya dan kepastian itu harganya tidak murah. Di luar biaya material, kepastian itu membutuhkan keberanian dan kesetiakawanan yang besar, dan tidak semua orang punya modal itu. Harga ini adalah ongkos yang mesti dibayar di muka, bukan pada akhir masa isolasi kalian, yang ternyata selain isolasi fisik, juga melibatkan isolasi relasi pula.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments