Viralnya tagar #percumalaporpolisi di Twitter usai liputan Project Multatuli, bukan sekadar pepesan kosong. Buktinya, banyak pihak yang ikut mendengungkan pengalaman serupa: Kasus yang diabaikan atau jadi korban kekerasan polisi. Salah satu pengalaman buruk berurusan dengan polisi dialami oleh warganet yang diteror beberapa orang yang diyakini polisi, karena ia berkicau: “Polisi se-Indonesia bisa diganti satpam BCA aja gaksih.”
Ia menerima sejumlah tanggapan yang mengancam keselamatannya, melalui DM Instagram dan komentar di media sosialnya. Beberapa di antaranya menantang berkelahi, menyakiti fisik, hendak mencari keberadaannya, melontarkan umpatan, bahkan meminta penjelasan kepada ia atau instansi yang menaunginya atas twit pribadi itu. Akunnya berusaha diretas, pun fotonya diunggah di akun Instagram @gegana_id dan @jayalah.negriku, hingga dihubungi ke nomor telepon pribadi.
Tindakan kekerasan ini tidak hanya dilakukan di ranah digital, melainkan fisik seperti yang diterima oleh FA, seorang mahasiswa UIN Maulana Hasanudin, yang dibanting polisi saat terjadi demonstrasi oleh Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa se-Kabupaten Tangerang, tepat di hari ulang tahun ke-389 Kabupaten Tangerang.
Polisi berinisial NP itu dianggap melanggar standar operasional prosedur (SOP) saat menangani massa aksi demo dan meminta maaf kepada korban. Melansir Antara, ia dikenakan sanksi pasal berlapis dan ditangani oleh Bidang Profesi dan Pengamanan (Bidpropam) Polda Banten, dengan status terduga pelanggar.
Selain itu, di video yang viral pada 14 Oktober lalu, seorang polisi lalu lintas memukuli pengendara motor hingga terkapar. Kejadian ini dipicu oleh pelanggaran lalu lintas yang dilakukan. Akibat tindakannya, sang polisi dinonaktifkan dan diperiksa Propam.
Dari rangkaian tindakan kekerasan tersebut, kita pun mempertanyakan tugas Polri sebagai institusi yang seharusnya memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, mengayomi, serta melindungi masyarakat.
Lantas, siapakah yang harus mengemban tanggung jawab tersebut, apabila yang berkewajiban justru memberikan ancaman bagi masyarakat?
Baca Juga: Penyiksaan di Rutan, Panti Rehab: Saat Yang Berwenang Jadi Sewenang-wenang
Kekerasan Polisi yang Dibiarkan Langgeng
Berdasarkan Pasal 10 Perkapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, anggota Polri wajib memenuhi ketentuan berperilaku, atau code of conduct, untuk tidak menggunakan kekerasan kecuali dibutuhkan dalam mencegah kejahatan.
Jjika tindakannya membantu penangkapan tersangka sesuai peraturan penggunaan kekerasan. Namun, apabila berkaca pada beberapa kasus di atas, justru tindakannya dilakukan untuk membela citra kepolisian.
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengatakan, ada semacam pembiaran tindakan kekerasan dalam instansi tersebut.
“Walaupun permintaan maaf sudah disampaikan oleh para pimpinan maupun memberikan klarifikasi, situasi di internal itu berbeda,” ujarnya kepada Magdalene, (19/10).
“Seringkali tindakan itu diglorifikasi dan diapresiasi, karena dianggap bertindak tegas di lapangan. Ini yang membuat perlakuan tersebut seperti sebuah pembenaran.”
Meskipun dalam lingkungan pendidikannya mereka menerima pelatihan humanis, sebagaimana tertulis dalam Pasal 3D Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 19 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pelatihan Kepolisian Negara Republik Indonesia, belum tentu dapat sepenuhnya diterapkan dalam praktiknya di lapangan.
Pelatihan humanis itu didefinisikan sebagai pelatihan yang dilakukan senantiasa memperhatikan aspek penghormatan, perlindungan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Pun dalam masa perekrutan, mereka melalui tes kejiwaan untuk menilai karakteristiknya, apakah memiliki gangguan mental dan perasaan, yang menentukan kondisi emosionalnya.
Maka itu, dalam hal ini peran pimpinan sangat penting untuk pengawasan dan mengendalikan anggotanya, karena Polri bertindak berdasarkan perintah penugasan dan kewenangannya. “Tindakan kekerasan itu tidak bisa dilakukan hanya karena terpicu provokasi massa, lalu diselesaikan dengan permintaan maaf,” tutur Fahmi.
Baca Juga: Tingkah Laku Polri-TNI: Dari Flexing sampai Narsistik
Para atasan tidak dapat melepaskan tindakan kekerasan yang dilakukan anggotanya hanya karena situasi di lapangan atau emosi yang buruk, tetapi perlu pertanggungjawaban. Dari sinilah menurut Fahmi pembenahan secara struktural perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan oleh Polri terus-menerus, karena dibutuhkan ketegasan kepemimpinan, serta aturan dan ancaman sanksi yang tegas.
Apabila peristiwa ini terus terjadi, kinerja Polri semakin dinilai tidak efektif dan semakin diabaikan, bahkan dilawan masyarakat.
Sayangnya, sampai artikel ini ditulis, belum ada tanggapan dari Polri terkait hal ini.
Menurunnya Kepercayaan Masyarakat
Berdasarkan hasil survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (KedaiKOPI) terhadap 1.047 responden di 34 provinsi Indonesia, per Agustus 2021 hanya sejumlah 66,3 persen masyarakat yang percaya terhadap Polri. Dibandingkan lembaga penegak hukum lainnya seperti KPK, Pengadilan, dan Kejaksaan, Polri berada dalam posisi terendah.
Bukan hanya tingkat kepercayaan yang menurun, melainkan kepuasan masyarakat terhadap pelayanan Polri.
Dilansir Kompas.com, pada 2016 Polri pernah mengkaji penyebab rendahnya kepercayaan masyarakat, salah satunya ialah kinerja yang belum maksimal terutama dalam profesionalisme.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang saat itu menjabat sebagai Kepala Polri Jenderal mengatakan, pemerasan, rekayasa kasus, dan penanganan hukum yang berbelit adalah beberapa di antaranya. Kemudian, sistem pelaporan berbasis IT dan layanan publik yang belum optimal, seperti lambannya merespons bantuan yang dibutuhkan masyarakat, juga menjadi penyebabnya.
Padahal, sebagai abdi negara, Polri bertugas untuk melindungi masyarakat, seperti yang tercantum dalam UUD 1945 Pasal 30 ayat 4. Apabila kepercayaan masyarakat saja tidak dapat dipegang, kepada siapa mereka bertanggung jawab?
Toh jika melihat caranya menanggapi kekecewaan masyarakat yang kasusnya tidak diusut dalam tagar #PercumaLaporPolisi, mereka justru fokus memperbaiki citranya di dunia maya. Polri cenderung defensif dan anti kritik, dengan berbagai pembelaan yang dilakukan melalui sejumlah tagar, seperti #PolriHumanis, #PolriHadirUntukMasyarakat, dan #PercayaPOLRI.
Baca Juga: Mau Jadi PNS atau Pasangan Tentara/Polisi? Pikir Lagi Baik-baik
Selain itu, Kepala Analis Cyber Crime Investigation Center Kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kompol M. Yunus Saputra, juga sempat menunjukkan presensinya di Twitter dengan menyampaikan sudut pandangnya terhadap sejumlah kasus, termasuk kekerasan seksual terhadap tiga anak di Luwu Timur. Ia juga mengedukasi warganet tentang perbedaan kritik dan penghinaan, serta cara mengkritik ala budaya Barat.
Semestinya kesempatan ini dapat digunakan untuk kembali mendapatkan kepercayaan masyarakat dengan mendengarkan keluhan sebagai kritik membangun, mengintrospeksi kinerja, membenahi internal, dan memproses berbagai kasus yang selama ini mandek tanpa perlu diviralkan.
“Enggak perlu membela diri atau mengklarifikasi. Yang penting Polri memroses masalah itu. Lakukan tugasnya sesuai KUHAP, dengarkan keterangan pelapor dan yang dilaporkan, lanjutkan ke penyidikan kalau memang bisa,” tegas Fahmi.
Comments