Tiba-tiba kadar oksigen di dalam kamar seperti tidak cukup untuk bernapas, ketika promotor Sound Rhythm mengonfirmasi penampilan Justin Bieber dalam “Justice World Tour 2022”, di Stadion Madya Gelora Bung Karno (GBK) pada 3 November mendatang.
Pasalnya, saya yang berusaha memfokuskan perhatian ke layar laptop, masih memproses artikel yang dipublikasikan NME (23/3) tentang rumor kedatangannya ke Asia.
Walaupun bukan fangirl-nya Justin, saya berbohong kalau bilang musiknya tidak menemani masa-masa saya tumbuh remaja. Wong, tiap memasuki fase baru di hidup ini, Justin selalu rilis album baru juga. Ibarat lagunya Tulus, karier Bieber di industri musik layak disebut “teman hidup”.
Semua bermulai dengan My Worlds yang dirilisnya 2010. Saat ia pertama kali ke Jakarta pada 2011, saya sudah jadi siswi Sekolah Dasar (SD) yang keranjingan hits-hitsnya. Mulai dari Baby, One Less Lonely Girl, Eenie Meenie, dan One Time. Semua saya hapal.
Kemudian saat duduk di bangku SMP, ketika Believe (2012) dirilis, saya mulai mengakui kegantengan Bieber karena potongan rambutnya udah enggak polem lagi—alias poni lempar. Saya jadi punya hobi baru, nonton video klip Beauty and a Beat saban hari.
Giliran Purpose (2015) dirilis, fokus saya mulai terbagi. Waktu itu, di hari yang sama, One Direction meluncurkan Made In The AM. Tapi, lagu-lagu Bieber yang dimainkan di Prambors selalu menemani saya tiap pulang sekolah, hingga begadang untuk nugas.
Baca Juga: Dari Baju hingga Gaya Hidup, Ada Alasan Kita Senang Meniru Idola
Sementara dua album terakhirnya, Changes (2020) dan Justice (2021), menemani tahun terakhir saya sebagai mahasiswi dan transisi ke dunia kerja.
Bukan cuma tumbuh bersama Bieber, saya dan kalian, bersama-sama meyaksikan evolusi kariernya: dari remaja heartthrob sampai musisi autotune (?).
Musik yang Relevan
Label “idola remaja perempuan” juga melekat dalam diri Bieber, karena di awal kariernya, mayoritas penggemarnya adalah perempuan seusianya atau bahkan lebih muda.
Namun, Bieber memang bukan penyanyi biasa. Di belakangnya, ia punya manajemen yang sadar bahwa para penggemar setia ini perlu dipelihara. Pelantun Yummy itu memahami penggemarnya yang terus bertumbuh. Sehingga untuk tetap mendapatkan perhatian publik sekaligus mempertahankan karier, Bieber memproduksi musik yang disesuaikan dengan perkembangan usia para fans yang juga mendewasa bersamanya.
Mulai dari album pertama yang tipikal liriknya menyanjung sekaligus membuat ABG perempuan jatuh pingsan, hingga Purpose, album pop kontemporer dengan lagu-lagu yang merepresentasikan transformasinya dari remaja menuju dewasa. Lagu-lagunya diisi narasi-narasi hubungan romantis cheesy khas remaha, sampai cerita-cerita sunyi jadi di puncak ketenaran.
Perkembangan musiknya juga diikuti Lydia, salah seorang penggemar Bieber sejak debut One Time, 2009 lalu. Menurutnya, lagu-lagu Bieber merepresentasikan perjalanan hidup sang penyanyi, dan belakangan ini berfokus pada relasinya dengan Sang Pencipta.
Hal itu terlihat dalam Justice, album yang disebut Bieber dibuatnya di masa-masa lebih baik, terutama setelah kini ia menjadi lebih religius. Dalam lirik Holy, misalnya, Bieber bercerita tentang relasinya dengan sang istri, Hailey, dan Tuhan. Lagu tersebut menegaskan pernyataannya dalam wawancara bersama Vogue pada 2019.
“Saya ingin mendedikasikan kembali diri saya pada Tuhan, karena saya merasa lebih baik untuk jiwa saya. Dan saya percaya Hailey adalah berkat Tuhan.”
Bahkan ia berharap tidak kembali menjadi dirinya yang dulu, yang sempat menghentikan konser sepihak, berlaku kasar pada fans, menyalahgunakan pemakaian obat. Keengganan untuk jadi pribadi “dulu” itu ia tuangkan dalam Deserve You.
Baca Juga: Tolak Terlibat 'Fanwar' dan 'Call Out' Tak Auto 'Fake Fans'
Bagi Lydia musik Bieber masih relevan dan bisa dinikmati. “Kalau ditanya kenapa ngefans sampe sekarang, I guess he’s just adorable,” akunya pada Magdalene, (24/3). Baginya, lagu-lagu yang dilantunkan Bieber akan selalu menjadi nostalgia, mengingatkannya ketika duduk di bangku sekolah.
Indonesia adalah Pasar Konser Internasional (?)
Sebelas tahun bukan waktu sebentar bagi penggemar menantikan idolanya tampil lagi di depan mata. Tak heran begitu promotor mengumumkan tanggal konser Bieber, antusiasme Beliebers—nama fanbase Bieber—membanjiri media sosial, bahkan merajai trending topic Twitter.
Kebanyakan dari mereka mempersiapkan diri untuk ticket war di 29 Maret mendatang, terlepas dari harga tiket yang melambung tinggi, antara Rp1,5 juta hingga Rp8,5 juta.
Ara adalah salah satu yang ikut memburu tiket konser ini. Buatnya, Justin Bieber adalah idola. “He took a lot of part in my life at some point gitu,” kata Ara bersemangat. Ia mengikuti musik Bieber sejak masih duduk di kelas tiga SD, menjadikan Bieber topik obrolan tiap bermain dengan sepupu, sampai jadi alasan jerawat pertamanya tumbuh.
Saking inginnya menonton konser Justin Bieber, Ara membuka diskon besar-besaran buat orang-orang yang ingin menggunakan jasa tato handpoked yang dijalankannya. Ia sempat membuat utas di Twitter lengkap dengan keterangan “bantu nonton konser Justin Bieber”.
Namun, banyak juga fans yang mengaku “maju-mundur” karena harga tiket yang terlalu mahal, dan tanggal penjualan tiketnya kurang bersahabat.
Ditambah situasi pandemi, yang belum menjamin kemungkinan kasus Covid-19 tidak kembali naik. Sehingga masih ada kemungkinan konser harus diundur atau dibatalkan.
Namun, sejarah mencatat, Indonesia memang dikenal jadi salah satu tujuan konser artis internasional. Selain Bieber, Indonesia juga pernah didatangi Beyonce, Katy Perry, BTS, dan banyak penyanyi ternama lainnya karena dianggap sebagai pasar besar. Jumlah penduduk yang melimpah dan terbesar di Asia Tenggara sering kali jadi nilai jual di mata promotor dunia.
Namun, hal ini tertunda selama pandemi. Konser ditiadakan, bukan cuma di Indonesia. Sehingga banyak penggemar musik seringkali jadi lebih antusias menyambut gelaran konser yang direncanakan.
Baca Juga: Bagaimana Idola Perempuan Bertahan di Industri K-pop
Sebagai penggemar Bieber garis keras, harga tiket yang dijual untuk konser Bieber dianggap dalam tarif wajar. “He’s an international singer. Pasti sebanding dengan yang kita dapet,” ujarnya. Ia justru pesimis enggak bisa nonton lantaran jumlah tiket yang dijual terbatas.
Meski sering dilirik jadi tempat tur oleh musisi dunia, peluang Indonesia tentu tak sebesar negara-negara yang lebih dekat dengan negara asal artis. Kemungkinan menonton idola tanpa merogoh kocek lebih dalam karena harus membeli tiket pesawat, pasti dimaanfaatkan oleh para penggemar garis keras Bieber.
“It’s been 11 years since the last JB’s concert di Indo,” kata Ara. Demi nostalgia dan idola masa kecil, ia harus berhasil beli tiket konser Bieber.
Kamu sendiri gimana? Kesempatan dan kemampuan untuk nonton konser memang bukan privilise semua orang. Kamu termasuk yang rela merogoh kocek untuk ikut ticket-war?
Comments