Kerusuhan di Sri Lanka semakin menjadi-jadi setelah Presiden Gotabaya Rajapaksa, yang baru saja mengundurkan diri dari jabatannya, dikabarkan melarikan diri ke Maladewa pada Rabu lalu.
Presiden dan keluarganya meninggalkan Kolombo, ibu kota negara, dengan pesawat militer hanya beberapa jam sebelum jadwal awal pengunduran dirinya menyusul protes besar-besaran oleh rakyat. Puncaknya adalah pada 9 Juli lalu, ketika ratusan ribu demonstran menyerbu istana presiden.
Perdana Menteri (PM) Sri Lanka, Ranil Wickremesinghe, mengambil alih pemerintahan sebagai Pelaksana Tugas Presiden dan menyatakan keadaan darurat. Berbagai pihak memperkirakan bahwa ia pun akan mengundurkan diri di bawah tekanan rakyat Sri Lanka yang menyalahkan buruknya manajemen dan korupsi di kalangan elit politik sebagai biang kerok krisis ekonomi negara tersebut.
Selama tiga bulan terakhir, negara kecil di Samudra Hindia itu mengalami keterpurukan ekonomi yang parah. Inflasi mencapai lebih dari 50 persen dan diperkirakan akan terus meningkat. Kelangkaan makanan dan bahan bakar melanda. Negara ini pun gagal bayar utang luar negerinya pada bulan Mei. Gejolak politik juga terjadi.
Dalam situasi seperti ini, peran tentara akan jadi pusat perhatian. Ada banyak laporan pasukan militer menembaki pengunjuk rasa saat menyerbu istana presiden, tetapi panglima militer kukuh, mereka hanya menembak ke udara sebagai upaya menjaga ketertiban.
Muncul banyak pertanyaan terkait apakah tentara akan turun tangan dan mengambil alih pemerintahan, setidaknya sampai situasi kembali kondusif dan pemerintahan baru terbentuk.
Baca juga: Negara Kaya Ogah Danai Krisis Iklim Negara Berkembang: Dampak Buat Indonesia?
Akankah Militer Ambil Alih?
Walaupun intervensi militer bisa jadi memulihkan ketertiban di jalan-jalan, kecil kemungkinannya para panglima berniat mengambil bagian langsung dalam pemerintahan, karena dua alasan.
Pertama adalah budaya. Sri Lanka pernah berada pada masa-masa yang rawan berujung pada intervensi militer, yakni pada 1983 sampai 2009, tahun-tahun terjadinya banyak perang saudara. Banyak masyarakat meyakini tentaralah yang telah menjaga negara dari perpecahan sebelum akhirnya menang, meski dengan penuh kontroversi, melawan kelompok separatis.
Terlepas dari peran besar institusi militer negara itu, serta tahun-tahun penuh kesulitan, perang, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), masyarakat Sri Lanka tetap berpegang teguh pada pemerintahan sipil demokratis mereka.
Pernah ada upaya kudeta pada 1962, 1966, dan 1991. Namun, semua itu digagalkan oleh pemerintah sipil.
Alasan kedua adalah ekonomi. Masalah-masalah utama yang dihadapi Sri Lanka saat ini adalah akibat dari maraknya praktik korupsi dan pengelolaan perekonomian negara yang buruk.
Pemerintahan baru perlu segera mendapatkan pinjaman luar negeri atau bentuk dukungan lain untuk menstabilkan ekonomi dan melanjutkan impor makanan dan bahan bakar. Ini hanya dapat terjadi jika pemimpin sipil yang memimpin negosiasinya.
Pihak militer Sri Lanka pun masih mengemban reputasi buruk di mata internasional akibat banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi selama masa perang saudara melawan kelompok separatis Tamil.
Jika seorang jenderal angkatan darat mengambil alih kekuasaan sekarang, Sri Lanka akan menuai sorotan negatif – dan hampir tidak mungkin punya kesempatan untuk mendorong investasi asing yang sangat mereka butuhkan.
Pentingnya memilih sosok figur yang mampu menegosiasikan pinjaman dari lembaga internasional – seperti International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan Asian Development Bank (ADB) – sangat terlihat ketika Rajapaksa menunjuk PM Wickremesinghe untuk mengurus keuangan negara.
Wickremesinghe sebelumnya telah mengumumkan serangkaian paket kebijakan yang dirancang untuk menstabilkan ekonomi. Ia pun berniat mengajukan rencana restrukturisasi utang kepada IMF pada Agustus.
Baca juga: Menjadi Cina di Indonesia: Luka Kami Masih Basah
Terperangkap Jebakan Beijing
Keterpurukan ekonomi Sri Lanka sebagian besar adalah akibat korupsi yang dilakukan oleh para elit politik negara itu dan kesalahan dalam mengelola pemerintahan.
Pemotongan pajak yang tidak selaras dengan anggaran dan proyek infrastruktur yang terlalu ambisius, misalnya, telah mengosongkan “dompet” Sri Lanka. Sementara itu, neraca dagang yang timpang juga menguras cadangan devisa negara.
Situasinya menjadi lebih buruk dengan keputusan pemerintah untuk lebih memilih membayar utang daripada melakukan restrukturisasi.
Cina adalah salah satu kreditor terbesar Sri Lanka, dan mereka telah menolak konsesi apa pun. Cina khawatir pemotongan utang Sri Lanka – yang utamanya membengkak akibat proyek infrastruktur Belt and Road Initiative (BRI) – akan mendorong negara-negara debitur lain melakukan hal yang sama sehingga mengancam jalannya proyek raksasa tersebut.
Pada 2017, ketika Sri Lanka gagal membayar pinjamannya sebesar US$1,1 miliar (sekitar Rp16,5 triliun) untuk pembangunan Pelabuhan Hambantota di bagian selatan Sri Lanka, negara tersebut terpaksa menandatangani perjanjian sewa pelabuhan – beserta ribuan hektar tanah di sekitarnya – dengan masa sewa 99 tahun. Sebelumnya, Cina telah menguasai 43 persen dari proyek pembangunan besar-besaran Colombo Port City dengan masa sewa yang juga 99 tahun.
Red Lantern Analytica, lembaga think-tank yang berbasis di India, mengatakan Cina “telah melakukan ‘Diplomasi Jebakan Utang’ yang licik untuk mendapatkan keuntungan strategis dari Sri Lanka dan menyandera ekonominya”.
Kejadian ini harus menjadi peringatan bagi negara-negara non-Barat lainnya yang juga telah banyak meminjam uang dari Cina. Beijing juga harus ikut bertanggung jawab atas krisis keuangan yang mengerikan di Sri Lanka ini – tapi sepertinya mereka belum menunjukkan tanda-tanda akan turun tangan.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments