Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam catatan tahunannya (CATAHU) melaporkan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan meningkat hampir delapan kali lipat dalam 12 tahun terakhir, dengan angka kejadian terbanyak di ranah personal, termasuk keluarga.
Salah satu kasus yang disoroti Komnas Perempuan dalam CATAHU 2020 adalah kekerasan terhadap anak perempuan yang jumlahnya melonjak 65 persen, dari 1.417 pada 2018 menjadi 2.341 kasus tahun 2019. Persentase kekerasan terhadap anak perempuan sepanjang 2019 sendiri mencapai 21 persen dari total kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah rumah tangga/relasi personal, yang mencapai 11.105 kasus. Besarnya angka ini membuatnya menduduki peringkat kedua jumlah kekerasan di ranah personal setelah kekerasan terhadap istri (59 persen, 6.555 kasus).
Berdasarkan kategori, kekerasan terhadap anak perempuan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan terbagi menjadi kekerasan fisik (536 kasus), kekerasan psikis (319), inses (770 kasus), kekerasan seksual (571 kasus), dan kekerasan ekonomi (145 kasus).
Dominasi kasus inses dan kekerasan seksual terhadap anak perempuan menunjukkan bahwa perempuan sejak usia anak berada dalam situasi tidak aman dalam kehidupannya, menurut Komnas Perempuan. Ironisnya, situasi tak aman ini justru diciptakan oleh orang terdekat atau keluarganya sendiri.
“Ada kasus inses di mana ayah kandung memaksa anaknya melakukan seks anal. Temuan ini mematahkan stigma bahwa hubungan seks melalui anus hanya dilakukan dalam konteks perilaku seksual oleh homoseksual,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin, dalam konferensi pers peluncuran CATAHU 2020 di Jakarta, Jumat (6/3).
Baca juga: RUU PKS Perlu Disahkan untuk Tangani Kekerasan Seksual Berbasis Online
Dalam salah satu temuan riset kualitatif yang dimuat di CATAHU 2020 dinyatakan, seorang mahasiswi yang menjadi korban inses ayah kandungnya didatangi kamarnya oleh pelaku setiap malam. Kendati sudah mengunci kamar, ayahnya tersebut memaksa masuk dengan merusak kunci dan gagang pintu kamar, bahkan pernah juga memaksa masuk ketika pintu kamar sang korban sudah diganjal lemari untuk memperkosa korban. Walaupun berulang kali perkosaan telah terjadi, korban tersebut tidak berani melaporkan karena merasa kasihan dan tidak tega pada ibunya.
Pengumpulan data kekerasan ini melibatkan kerja sama dengan beberapa lembaga seperti Unit Pelayanan Perempuan dan Anak di Kepolisian, Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, rumah-rumah sakit, serta Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A). Selain itu, ada juga kontribusi data dari organisasi masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat.
Mariana mengatakan, meski ada peningkatan jumlah laporan di kepolisian, kasus yang diteruskan sampai ke pengadilan negeri terbilang sedikit.
“Ada kasus yang di pengadilan negeri masuk dari tahun 2016, sudah empat tahun prosesnya masih berjalan,” ujarnya.
Menjual diri untuk lunasi pinjaman
Selain kekerasan di ranah personal, kekerasan yang masih konsisten muncul dalam CATAHU adalah kekerasan gender berbasis daring, yang jumlahnya naik 300 persen dari 97 kasus pada 2018 menjadi 281 kasus pada 2019. Kategori terbanyak kekerasan semacam ini meliputi tindakan ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video porno korban.
Terkait ancaman terhadap perempuan di dunia digital, Komnas Perempuan mencatat kasus-kasus di mana perempuan yang terlibat pinjaman online diminta untuk melunasi utangnya dengan hubungan seks. Tidak hanya itu, pemberi pinjaman online juga memberi intimidasi lain dalam bentuk foto penis kepada para korban via Whatsapp atau Facebook.
Perempuan juga tetap bisa menjadi korban kendati bukan dirinya yang mengajukan pinjaman online. Dalam CATAHU disampaikan, pasangan salah satu korban yang sempat terlibat dengan pinjaman online (total aplikasi pinjaman yang dimilikinya untuk memproses pinjaman adalah sebanyak 27 aplikasi) mendapat ancaman dengan kalimat, “Jika kamu tidak bisa bayar, suruh saja istrimu tidur dengan saya, biar tagihannya lunas”.
Baca juga: Komnas Perempuan: Angka Kekerasan Seksual terhadap Perempuan oleh Pacar Tertinggi
Kekerasan berbasis daring yang diterima para perempuan ini membuat mereka sampai kehilangan pekerjaan, bercerai dengan pasangan, dan dijauhi oleh lingkungannya karena pelaku meneror orang-orang sekitar korban. Bahkan ada yang terpikirkan untuk bunuh diri karena malu dan putus asa.
Selain dua jenis kekerasan yang telah disebutkan, CATAHU 2020 juga mendokumentasikan beragam kekerasan lainnya seperti kekerasan terhadap buruh perempuan, femisida, kekerasan dalam konflik sumber daya alam dan tata ruang, kriminalisasi perempuan dengan pasal penodaan agama, serta serangan terhadap para perempuan pembela hak asasi manusia.
Laporan lengkap CATAHU 2020 dapat diakses di sini.
Comments