Rumah seharusnya menjadi tempat yang aman bagi perempuan, namun laporan terbaru dari Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan bahwa ranah dan pola kekerasan terhadap perempuan yang paling konstan tertinggi dari tahun ke tahun adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap istri.
Berdasarkan pendokumentasian kasus yang dilaporkan dan ditangani oleh berbagai lembaga negara dan lembaga layanan, yang kemudian dirangkum menjadi Catatan Tahunan (CATAHU) 2017, Komnas Perempuan menemukan bahwa dari 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan, 10.205 kasus diantaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga/relasi personal. Pola dan ranah ini konsisten tertinggi dalam tiga tahun terakhir.
Dari 10.205 kasus KDRT/RP tersebut, kekerasan terhadap istri menempati urutan tertinggi yaitu 57 persen (5.784 kasus), diikuti kekerasan dalam pacaran sebanyak 21 persen, dan kekerasan terhadap anak perempuan, yaitu 18 persen. Sisanya adalah kekerasan oleh mantan suami dan mantan pacar, kekerasan terhadap pekerja rumah tangga dan kekerasan ranah personal lainnya.
Bentuk kekerasan yang paling menonjol pada ranah KDRT/RP adalah kekerasan fisik (42 persen), kekerasan seksual (34 persen), psikis (14 persen) dan ekonomi (10 persen).
Pola dan ranah ini kurang lebih sama dengan yang dicatat Komnas Perempuan pada 2015 dan 2016.
“Beberapa kali Komnas Perempuan menegaskan tingginya persentase kasus kekerasan terhadap istri menunjukkan bahwa rumah bukan tempat yang aman bagi perempuan. Ketimpangan relasi gender antara suami dan istri masih cukup besar yang antara lain diindikasikan dengan posisi subordinat istri dalam institusi perkawinan,” ujar Ketua Komnas Perempuan Azriana dalam peluncuran Catatan Tahunan (CATAHU) 2017, Rabu (7/3), sehari sebelum Hari Perempuan Internasional.
Meskipun sudah ada payung hukum Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga No. 23/2004, ujarnya, di tingkat implementasi banyak hal harus dibenahi agar tidak kontraproduktif, seperti misalnya istri yang melaporkan KDRT yang dilakukan suaminya malah dituntut balik oleh pihak suami.
Tingginya kasus kekerasan di dalam rumah tangga ini, menurut Komnas Perempuan, mendesak adanya pemantauan dan evaluasi UU PDKRT tersebut. Saat ini telah tersedia instrumen pemantauan dan evaluasi implementasi UU PDKRT yang disusun oleh Komnas Perempuan dan lembaga pengadaan layanan, serta didukung oleh UN Women. Komnas Perempuan mendorong pihak terkait untuk melakukan pemantauan dan evaluasi menyeluruh terkait implementasi UU tersebut.
Dalam hal bentuk kekerasan, Komnas mencatat ada 135 kasus pemerkosaan dalam perkawinan, atau marital rape, yang dilaporkan. Secara umum, konsep pemerkosaan dalam perkawinan ini tidak dikenal dalam tataran norma sosial budaya masyarakat, meskipun disebutkan dalam UU PDKRT pasal 8 mengneai pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga.
Komnas mendesak adanya cara pandang berperspektif gender pada aparat penegak hukum agar UU tersebut, terutama pasal 8, dapat diimplementasikan dalam kasus pemerkosaan dalam perkawinan.
Patut diduga, menurut Komnas, bahwa dalam kategori kekerasan fisik dan psikis, di dalamnya termasuk pula kekerasan seksual yang tidak diungkapkan secara terbuka oleh korban. Jika ada kecenderungan demikian, maka lembaga pengada layanan perlu melakukan penanganan lebih komprehensif dan menyeluruh.
Kekerasan dalam Pacaran
Salah satu hal yang mencemaskan dalam kekerasan dalam ranah personal adalah tingginya kasus kekerasan dalam pacaran, yang mencapai 2.171 kasus. CATAHU 2017 juga mencatat bahwa bentuk kekerasan seksual yang terbanyak di ranah personal adalah pemerkosaan, dengan pelaku terbanyak adalah pacar, yang mencapai 2.017 kasus.
“Kekerasan dalam pacaran, seperti juga kekerasan terhadap istri, sangat terkait dengan kuasa yang timpang antara perempuan dan laki-laki. Namun kekerasan dalam pacaran lebih rentan karena tidak ada payung hukumnya,” ujar Indraswari, Ketua Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan.
UU PKDRT tidak dapat diterapkan dalam kasus-kasus kekerasan dalam pacaran, menurut CATAHU 2017, sementara payung hukum lain tidak memadai bagi korban untuk mendapatkan keadilan. Dalam kasus kekerasan dalam pacaran yang mengakibatkan kehamilan di luar nikah, perempuan adalah korban yang mengalami beban berlipat akibat stigma sosial, dikeluarkan dari sekolah, dikucilkan keluarga dan menjadi orangtua tunggal.
“Tingginya angka kekerasan dalam pacaran ini mendorong urgensi disahkannya RUU Anti-Kekerasan Seksual,” kata Indraswari.
‘Femicide’
Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amiruddin mengatakan bahwa dalam kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2016, ada tren yang paling mencuat yang sulit ditetapkan secara kuantitatif, yakni femicide atau femisida.
Femisida atau pembunuhan terhadap perempuan karena dia perempuan, adalah isu serius yang menjadi perhatian dunia namun masih minim menjadi perhatian Indonesia. Perempuan sengaja menjadi sasaran penghilangan nyawa yang disebabkan oleh kebencian, penaklukan, penikmatan, kepemilikan, penghinaan ketersinggungan, karena seksisme.
“Femisida ini paling minim terlaporkan karena cenderung dianggap tindak kriminal biasa, yang ditangani polisi, yang lebih fokus untuk mencari pelaku,” ujar Mariana.
“Yang termasuk femisida juga adalah pemerkosaan yang berakhir dengan bunuh diri, misalnya. Femisida juga sering disebut sexist killing atau pembunuhan karena misoginis… disebabkan oleh kekerasan seksual, diakhiri pembunuhan,” kata Mariana.
Kasus-kasus femisida tahun 2016 termasuk kasus pemerkosaan berkelompok dan pembunuhan terhadap YY di Bengkulu; kisah korban yang diperkosa dengan cangkul; pembunuhan dan kekerasan seksual kepada F, anak berusia sembilan tahun di Kalideres; pembunuhan mutilasi ibu hamil di Tangerang karena relasi personal janji nikah; dan pembunuhan remaja di Deli Serdang dengan dimasuki botol racun ke dalam vaginanya.
Komnas Perempuan sendiri sedang mendalami femisida ini, untuk mendorong sistem pencegahan, perlindungan dan penanganannya. Pelapor khusus PBB untuk kekerasan terhadap perempuan, Dubracka Simonovic, pada 2015, telah menyerukan kepada dunia agar setiap negara membuat femicide watch atau gender-related killing of women watch, dan meminta agar data-data tersebut diumumkan setiap 25 November pada Hari Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan.
Comments