“Kami mengusulkan agar pasal 484 ayat (1) huruf e [tentang perluasan definisi zina, dari perselingkuhan menjadi persetubuhan tanpa status pernikahan yang sah] dihapus sebab berpotensi mengkriminalkan korban pemerkosaan yang hingga saat ini masih sulit mengajukan pembuktian terjadinya pemerkosaan,” ungkap Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amirudin dalam konferensi pers pekan lalu di Kantor Komnas Perempuan.
Mariana juga memaparkan bahwa pasal tersebut hanya akan mempertajam stigma pada korban perkosaan yang mengalami kehamilan karena akan membuat mereka rentan diskriminasi karena tuduhan berzina. Ia menjelaskan bahwa stigma tersebut juga berpotensi mempengaruhi bias aparatur penegak hukum terhadap perempuan korban perkosaan sehingga dapat merujuk pada terjadinya reviktimisasi korban dan impunitas pelaku.
“Selain itu, pasal tersebut juga berpotensi menyebabkan terjadinya peningkatan perkawinan usia anak karena kekhawatiran orang tua jika anak berzina dan terancam dipidana,” tambahnya.
Yuniarti Chuzaifah, Wakil Ketua Komnas Perempuan juga menyampaikan potensi kriminalisasi dan persekusi anak-anak yang dituduh berzina.
“Pasal ini tidak mengenal batasan usia, sehingga anak-anak juga dapat dikenai pidana zina. Perlu ditekankan bahwa memenjarakan anak-anak tersebut akan menghentikan hidup mereka,” kata Yuniarti.
“Padahal, tumbuh kembang anak adalah tanggung jawab orang dewasa. Orang tua, guru, lingkungan, dan kita semua memiliki kewajiban membina mereka. Memenjarakan anak-anak tidak akan menjadi solusi masalah, melainkan memperparah,” sambung Magdalena Sitorus, Komisioner Komnas Perempuan.
Sebelumnya, Komnas Perempuan juga mengkritik Pasal 484 ayat (2) yang berbunyi “Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar”. Komnas Perempuan mendapati bahwa frasa pengaduan oleh “pihak ketiga yang tercemar” masih tidak cukup spesifik dan ambigu sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
“Masukan kami didengarkan sehingga frasa ‘pihak ketiga yang tercemar’ telah diubah menjadi ‘anak atau orang tua’. Langkah ini cukup baik, namun dari revisi tersebut, yang masih belum terlindungi adalah korban eksploitasi seksual [jika pelapor bukan satu di antara pihak-pihak yang disebutkan]. Sehingga, langkah kami berikutnya adalah memastikan isu eksploitasi seksual masuk di UU Penghapusan Kekerasan Seksual,” jelas Azriana R. Manalu, Ketua Komnas Perempuan.
Terkait pasal dalam RKUHP yang menunjukkan sentimen terhadap kelompok LGBT, Azriana menyampaikan bahwa hukum pidana tidak seharusnya dijadikan jalan pintas untuk memecahkan permasalahan.
“Hukum tidak harus selalu dijadikan satu-satunya solusi. Pemerintah harus membenahi aspek jangka panjang dalam menanggapi isu ini, misalnya dengan cara menjamin tersedianya pendidikan yang memadai,” tambahnya.
Secara garis besar, Komnas Perempuan menghimbau panitia penyusun RKUHP untuk terus berkoordinasi dengan seluruh pihak yang terlibat.
“Usulan-usulan yang kami sampaikan merupakan refleksi kami atas kebutuhan korban-korban yang kami tangani sehari-hari serta dari lembaga-lembaga mitra pengada layanan. Menjadi kewajiban kami untuk mengutarakan suara-suara marginal, dan perlu diingat bahwa seluruh kegelisahan kami adalah kegelisahan korban. Oleh karena itu, baiknya perumusan RKUHP ini lebih mendengarkan masukan-masukan dari berbagai pihak, termasuk data riset maupun data dari lembaga yang terlibat langsung di lapangan,” kata Yuniarti.
Comments