Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Udayana, Bali, mencatat ada 73 laporan kasus kekerasan seksual yang menimpa mahasiswa kampus tersebut per bulan Desember 2020.
Wakil Kepala BEM Fisip Universitas Udayana, Oktava Anggara mengatakan, salah satu kasus bahkan sudah terjadi sejak bertahun silam, tapi penyelesaiannya tak kunjung membuahkan hasil sampai saat ini akibat minimnya kerja sama dari pihak kampus. Universitas tersebut tidak mempunyai peraturan soal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, sehingga Oktava dan rekan-rekan organisasinya berusaha mengadvokasi isu ini bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali.
“Kampus takut kehilangan nama baik. Waktu kasus ini sempat meledak dan muncul di beberapa media, mereka memilih untuk menekan kasus supaya tidak keluar. Damai aja. Mediasi aja, katanya. Padahal ini seharusnya bisa kita bawa lebih lanjut,” kata Oktava.
Ia berbicara dalam Campus Online Talkshow bertema “Ciptakan Kampus Aman, Laki-laki Perlu Kontribusi” yang diselenggarakan oleh Magdalene, bekerja sama dengan The Body Shop Indonesia, Jumat (19/2).
Baca juga: Laki-laki Anti-Kekerasan terhadap Perempuan: Ubah Perilaku dan Geser Paradigma
Oktava mengatakan, tantangan lain yang harus dihadapi dalam mengadvokasi kasus kekerasan seksual ini adalah merangkul mahasiswa-mahasiswa laki-laki untuk turut terlibat. Banyak dari mereka merasa takut maskulinitasnya berkurang apabila ikut memperjuangkan kekerasan seksual karena mengira isu ini adalah isu khusus perempuan, tambahnya.
“Banyak juga yang mewajarkan kekerasan seksual selama itu tidak menyakiti perempuan (secara fisik). Ini berhubungan dengan adanya rape culture. Masih banyak yang belum paham (kekerasan seksual). Akhirnya, susah juga mengajak mereka kerja sama,” kata Oktava.
Najmi Auliya dari Lembaga Pers Mahasiswa Kinday di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, mengatakan pihaknya pernah meluncurkan survei bertajuk “Survei Keterlibatan Laki-laki dalam Penghapusan Kekerasan Seksual” di kampusnya awal Februari 2021. Hasil survei menunjukkan, 87,5 persen responden menjawab keterlibatan laki-laki sangatlah penting.
“Dari 40 orang responden, sembilan di antaranya pernah mengalami kekerasan seksual. Dan satu dari sembilan orang itu adalah laki-laki. Tapi kami kesulitan mencari responden laki-laki lebih banyak. Sebagian besar yang pernah jadi korban cenderung menyembunyikan ceritanya karena merasa takut akan disalahkan (victim blaming),” ujar Najmi.
“Ini menunjukkan bahwa kampus belum menjadi tempat yang aman bagi korban kekerasan seksual,” tambahnya.
Baca juga: Reynhard Sinaga dan Pemerkosaan Terhadap Laki-laki
Laki-laki Harus Jadi Pelopor dan Pelapor
Husain Surasno dari Asosiasi Mahasiswa Kedokteran Indonesia (CIMSA) mengatakan, pihak kampus dan seluruh mahasiswa bisa mulai mempromosikan nilai dan norma yang melindungi korban dan mencegah kekerasan seksual untuk menciptakan kampus yang lebih aman.
“Strategi ini harus melibatkan laki-laki. Laki-laki harus jadi pelopor dan pelapor. Harus berani untuk mencegah dan melaporkan ketika melihat kekerasan seksual terjadi. Jangan berpikir kekerasan seksual ini adalah tanggung jawab individu. Ini tanggung jawab bersama,” katanya.
“Kampus juga harus menciptakan peraturan anti kekerasan seksual beserta alur mekanisme pelaporan yang jelas.”
Senada dengan Husain, CEO The Body Shop Indonesia, Aryo Widiwardhono, mengatakan, pelibatan laki-laki dalam kampanye penghapusan kekerasan seksual penting untuk menentang pendapat masyarakat bahwa laki-laki tidak bisa membicarakan kekerasan seksual.
“Langkah ini berguna supaya ada dorongan untuk merumuskan langkah strategis yang juga melibatkan laki-laki, termasuk di kampus. Kita tahu kampus bukan tempat yang aman, ditambah lagi karena ada kekosongan hukum selama bertahun-tahun,” katanya.
Maskulinitas Toksik Merugikan Laki-laki
Psikolog dari Yayasan Pulih, Ika Putri Dewi, mengatakan bahwa anggapan maskulinitas seorang laki-laki akan berkurang jika dia terlibat dalam penghapusan kekerasan seksual ini berhubungan dengan bagaimana norma dan nilai sosial masyarakat cenderung melarang laki-laki untuk menunjukkan emosi dan perasaannya. Sementara itu, karakter seperti tangguh, kasar, berani, agresif, dan tidak afektif, disebut sebagai ciri laki-laki ideal, ujarnya.
Anggapan bahwa maskulinitas seorang laki-laki akan berkurang jika dia terlibat dalam penghapusan kekerasan seksual berhubungan dengan norma yang mencitrakan karakter seperti tangguh, kasar, berani, agresif, dan tidak afektif, sebagai ciri laki-laki ideal.
“Maskulinitas dan femininitas adalah bentukan masyarakat. Padahal sebenarnya sifat maskulin dan feminin itu ada di dalam diri setiap manusia. Misalnya, ketika laki-laki berkeluarga, lalu bermain dengan anaknya. Ada unsur afeksi di situ, ” kata Ika.
Ia menambahkan, “Yang membuat nilai-nilainya sulit bergeser ya karena oleh masyarakat dua hal itu dikotak-kotakan menjadi sebuah konsep gender yang kaku.”
Ika menyebut konsep maskulinitas yang kaku ini bila dikawinkan dengan perspektif diskriminatif dan tidak setara akan menghasilkan sebuah maskulintas yang toksik. Misalnya, ketika laki-laki diidentikkan dengan kekuasaan, tapi laki-laki itu juga melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk menuntut pasangannya selalu menuruti dan melayani dia, kata Ika.
“Padahal toxic masculinity ini juga merugikan laki-laki. Ketika mereka diminta untuk selalu terlihat kuat, mereka jadi mengelak dari emosi-emosi yang mereka rasaan. Mereka jadi tidak berkesempatan untuk mengekspresikan perasaannya,” ujar Ika.
Baca juga: Kekerasan Seksual di Rumah Sendiri, Mengerikan Tapi Didiamkan
Pakai Narasi yang Dipahami Laki-laki Muda
Salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengajak laki-laki muda turut serta dalam penghapusan kekerasan seksual adalah membuat kampanye yang sederhana dan dekat dengan mereka, ujar jurnalis independen Rory Asyari. Mantan reporter Metro TV tersebut aktif menggunakan akun media sosialnya untuk mengampanyekan isu-isu kesetaraan gender.
“Kalau audiens dari kampanye-kampanye ini adalah laki-laki muda yang egonya tinggi, yang bakal dikatain ‘banci’ sama teman-temannya kalau enggak ngegodain cewek dan catcalling, ya buatlah narasi yang sesuai dengan target audiens. Gunakan bahasa yang mereka gunakan, pilih influencer laki-laki yang juga jadi role model mereka,” katanya.
“Video-video kampanye ini bisa diputar pada saat penerimaan mahasiswa baru, supaya mereka bisa belajar bahwa maskulinitas (yang tepat) itu seperti ini. Berikan juga edukasi yang sama pada para pemimpin organisasi kampus,” tambah Rory.
Menurut Ika, edukasi dan kampanye kekerasan seksual untuk laki-laki muda sebaiknya diawali dengan contoh-contoh kecil yang ada di sekitar mereka, yang mengandung muatan kesetaraan gender dan pembagian peran yang setara antara laki-laki dan perempuan.
“Karena, ketika kita bicara gender dan seksualitas, kita bicara nilai-nilai yang dipegang sejak individu itu kecil. Banyak yang dibesarkan dengan nilai masukulinitas yang toksik tadi. Sangat sulit mendekonstruksinya,” kata Ika.
Dukung kampanye “Semua Peduli, Semua Terlindungi #TBSFightForSisterhood” untuk mendesak pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), dengan menandatangani petisi di sini.
Comments