Selama tiga tahun menjadi pengajar nontetap di jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia (UI), baru kali ini saya menjalankan perkuliahan tanpa tatap muka alias secara online. Jujur saya merasa kikuk pertama kali melakukan perkuliahan jarak jauh (PJJ)—istilah yang dipakai UI untuk kuliah daring, yang dimulai sejak 16 Maret.
Jika biasanya saya bisa dengan luwes bercanda, tanya-jawab dengan mahasiswa sambil mengitari ruangan, serta membuat latihan yang dikerjakan secara berkelompok di kelas, semua itu mesti saya kesampingkan dulu. Saya cuma bisa menghadap laptop dan mengetik pesan dalam diskusi kelas di grup WhatsApp, setelah malam sebelumnya mengirim materi kuliah kepada mahasiswa. Aplikasi ini saya pilih lantaran tidak semua mahasiswa di kelas saya, terlebih yang pulang kampung, punya sinyal kuat dan akses internet yang lancar untuk dapat membuka aplikasi online meeting dengan video seperti Zoom atau GoogleMeet.
Memberi kuliah daring bagi ibu dengan bayi berusia tujuh bulan macam saya ini cukup tricky. Sementara saya konsentrasi pada diskusi di grup, tiba-tiba anak saya yang sedang aktif merangkak, menggapai barang-barang untuk dia gigit, plus rewel ketika ditinggal kerja, membuat saya berkali-kali melepaskan pandangan dari laptop sejenak. Memang ada pasangan saya yang juga bekerja dari rumah. Tapi, dia pun sering harus melakukan panggilan video dari kantornya saat saya mengajar.
Alhasil, saya sering kelewatan membaca respons mahasiswa yang datangnya berondongan saban saya melempar suatu pertanyaan atau topik diskusi. Saya harus scroll up dulu untuk membalas satu per satu tanggapan mahasiswa saya, sementara kalau di kelas, respons mahasiswa bisa lebih terbatas. Hanya mereka yang angkat tangan dan secara bergantian saja saya tanggapi. Lah ini, pertanyaannya satu, yang balas bisa berbarengan 10 sampai 15 anak.
Sejak 16 Maret, ketika PJJ diberlakukan sampai sekarang, saya rasa beban mengajar secara online masih manageable kendati saya bekerja dobel sebagai jurnalis. Tapi jadi suka mepet atau lewat tenggat sih, karena urusan rumah tangga sering kali mengalihkan perhatian saya, apalagi karena saya tidak memiliki asisten rumah tangga.
Kendala selama PJJ rupanya juga dialami rekan saya satu tim di kelas Creative Thinking, Chandra Kirana.
Baca juga: Sialnya Lulus Kuliah Saat Pandemi, Nantikan Pekerjaan yang Tak Pasti
“Entah kenapa gue lebih kelelahan ketika ngajar online ini. Kadang gue suka menyudahi ngajar lebih cepat dari biasanya kalau di kelas,” katanya.
Ia menambahkan bahwa ada sesuatu yang hilang ketika harus menjalankan kuliah tanpa tatap muka.
“Energi gue kalo di kelas kan terbagi. Gue bisa ngeliat mahasiswa, gue merespons muka mereka, gue bisa ngakak. Kalau kesel gue bisa ngeliat muka siapa yang menyenangkan, dan sebagainya. Energi gue dan mereka saling support, itu yang gue enggak rasain di kelas online,” ujarnya.
“Lalu, di kelas yang dimediasi teknologi ini, gue merasa itu enggak real meskipun pesan kita tetap tersampaikan,” katanya.
Permasalahan lain bagi Chandra adalah matanya yang lebih cepat lelah karena bisa sepanjang hari menatap layar. Untuk semester ini, dalam seminggu ada empat kelas yang ia ajar. Chandra juga mengatakan, fokus pada mata dan telinga membuat perkuliahan daring terasa monoton.
Kuliah online menuntut kami untuk lebih mempersiapkan materi serta metode dan platform yang digunakan untuk mengajar. Ini menjadi PR tersendiri, karena metode kuliah sebelumnya selalu memberi ruang untuk improvisasi atau adaptasi.
Terjebak di asrama dan terimpit masalah keuangan
Selain masalah koneksi internet, ada salah satu mahasiswa saya yang mengalami permasalahan lebih mendasar selama masa karantina: Ia tak bisa keluar dari asrama, bahkan untuk membeli makan.
Tan Clementia Alfarine, mahasiswi angkatan 2018 jurusan Ilmu Komunikasi asal Semarang, bercerita bahwa sejak 22 Maret lalu, portal depan asrama ditutup dan penghuni tidak boleh keluar.
“Saya telat pesan tiket pulang sehingga harus tinggal di asrama. Jika keluar asrama, tidak boleh masuk lagi meskipun cuma buat beli makan. Kalau keluar artinya pulang ke kota masing-masing,” ujar Alfarine.
Karena pembatasan tersebut, urusan makan penghuni mahasiswa kini diambil alih oleh pengelola yang bekerja sama dengan ikatan alumni berbagai fakultas. Mereka secara sukarela mengirimkan makanan tiga kali sehari bagi para penghuni yang belum kembali ke kota masing-masing.
Alfarine mengatakan, isolasi ketat itu diberlakukan selain karena aturan dari pemerintah, juga karena ada salah satu penghuni asrama yang dinyatakan positif terinfeksi virus corona.
Baca juga: ‘Working from Home’ bagi Ibu Bekerja adalah Mitos
Perkara pulang atau tidak juga menjadi dilematis bagi Alfarine yang sudah hampir dua tahun tinggal di asrama. Sesuai kebijakan dari pengelola, mahasiswa yang sudah genap dua tahun di sana mesti mencari tempat tinggal lain agar kamar-kamar mereka bisa ditempati mahasiswa rantau baru pada tahun ajaran berikutnya.
“Nah, kalau saya keluar sekarang, saya harus bawa semua barang-barang di asrama keluar juga. Makanya saya enggak jadi pulang. Saya masih tunggu sampai akhir bulan ini,” kata Alfarine.
Bulan depan, rencananya ia dan dua orang kawan seangkatannya akan menyewa kamar kos untuk menaruh barang-barang mereka, lantas mereka pulang ke kota masing-masing karena waktunya bertepatan dengan libur semester juga.
Belum lama ini, Chandra juga mendapati informasi bahwa salah satu mahasiswa merasakan dampak besar dari pemberlakuan pembatasan sosial dari pemerintah karena orang tuanya kehilangan penghasilan.
“Ada mahasiswa yang ternyata ibu-bapaknya pekerja harian. Permasalahan dia bukan hanya kuota, tetapi keluarganya secara finansial benar-benar terpuruk,” ujar Chandra.
Menyikapi hal ini, pihak program studi berinisiatif menggunakan dana taktis untuk memberikan bantuan bagi mahasiswa tersebut. Dana yang dikumpulkan dari para pengajar tersebut juga dialokasikan untuk kebutuhan pulsa internet mahasiswa lain yang kurang mampu, membantu mahasiswa yang merasa depresi dan butuh bantuan profesional, serta membantu para petugas kebersihan di kampus yang sempat telat dibayar oleh perusahaannya selama beberapa hari.
“Angkanya memang enggak besar, tapi setidaknya kita bisa melakukan sesuatu buat mereka,” kata Chandra, yang telah menjabat sebagai dosen tetap sejak 2006 ini.
Plus-minus kuliah online
Terkait pengalaman PJJ, Alfarine mengatakan kuliah daring meningkatkan efisiensi dalam mempersiapkan diri untuk kuliah. Tidak ada waktu tempuh menuju kelas, juga tidak perlu bangun lebih pagi untuk bersiap-siap belajar.
Sementara bagi Eric Taher, mahasiswa saya yang lain, ketiadaan perkuliahan tatap muka membuatnya memiliki waktu luang lebih banyak karena tidak harus datang ke kampus. Berbagai kegiatan luar akademis di mana ia terlibat sebagai panitia juga ditangguhkan sehingga meringankan bebannya sehari-hari. Lain lagi dengan Larasati Satya, yang merasa diskusi selama kuliah daring ini lebih terdokumentasikan dengan baik sehingga kapan pun ia bisa mengakses tanya-jawab yang ada di sana.
Baca juga: Maudy Ayunda Tak Akan Kuliah di USU
“Karena pakai aplikasi, jadi fleksibel ikut kuliah dari mana aja. Enggak ada alasan buat enggak ikut kuliah sekarang,” ujar Laras.
Namun tidak semua memiliki tempat tinggal yang kondusif untuk perkuliahan daring.
“Rumah saya cukup berisik, jadi saya kesulitan fokus waktu kelas online,” kata Eric.
Masalah teknis selama memakai beberapa aplikasi dan sejumlah dosen yang gaptek adalah isu lain, ujar Eric. Begitu banyaknya grup WhatsApp yang dibuka untuk kelas-kelas yang diikutinya juga membuatnya kesulitan mengejar informasi yang disampaikan di sana.
Bagi banyak mahasiswa, kehilangan kesempatan berinteraksi langsung dengan teman-teman berpengaruh terhadap semangat belajar mereka.
“Saya ngerasa enggak semangat karena enggak ketemu teman-teman lain. Jadi kayak lebih terbebani sama tugas-tugas kampus walaupun sebenarnya sama aja sama yang dikasih di kelas,” ujar Alfarine
“Mungkin karena jenuh, cuma sendiri ngerjain tugas di depan laptop. Kalau ketemu orang-orang kan bisa kerja bareng sambil curhat,” ia menambahkan.
Memang, komunikasi via aplikasi meeting masih dapat mereka lakukan. Tetapi tetap saja ada kekurangannya menurut Bariq Agiko Shabah.
“Aku butuh banget ketemuan sama temen-temen. Kalo pakai Zoom di rumah, suka kurang luwes dan lepas begitu ngobrolnya. Enggak enak terdengar sama orang rumah,” kata Bariq.
Karena alasan jenuh dan tidak bisa bertemu teman-teman tadi, ada beberapa mahasiswa yang merasa lebih tertekan ketika mengerjakan tugas-tugas kuliah. Hal ini pun sempat Chandra rasakan. Kelelahan karena kuliah yang lebih monoton, ditambah berita duka dari seorang kolega yang meninggal dengan dugaan terinfeksi Covid-19, dan sempat berada di rumah sendirian membuat emosi tidak stabil di satu titik. Ia pun sempat berkonsultasi ke psikolog via telepon untuk memulihkan diri.
“Tapi pertemuan langsung dengan psikolog tetap enggak tergantikan. Bagi beberapa mahasiswa yang mengaku depresi ketika pembatasan sosial ini, konsultasi via telepon atau online enggak lebih memulihkan dibanding konsultasi langsung,” ujarnya.
Comments