Yuli Lestari dinyatakan sebagai pemenang dalam pemilihan kepala dusun (kadus) di Dusun Pandeyan, Kabupaten Bantul di Yogyakarta. Ia berhasil menduduki peringkat pertama setelah melalui rangkaian tes psikologi, wawancara, pidato, dan teknologi informasi, mengungguli calon-calon lainnya yang merupakan laki-laki. Yuli pun dilantik pada 15 Mei 2019 lalu.
Namun, tak beberapa lama setelah pelantikannya, sebagian warga dusun menyatakan penolakan terhadap dipilihnya Yuli, karena dia seorang perempuan. Mereka beralasan bahwa kadus perempuan itu kurang kompeten bila dibandingkan dengan kadus laki-laki, dan bahwa perempuan dilarang menjadi pemimpin menurut ajaran agama Islam.
Yuli bukanlah satu-satunya perempuan pemimpin di Indonesia yang mengalami tentangan dan penolakan karena gendernya. Alasan utama para oposisi ini adalah karena Islam sebagai agama dengan pemeluk terbanyak di Indonesia melarang perempuan menjadi pemimpin.
Padahal, menurut cendekiawan Islam Faqihuddin Abdul Kodir dari Fahmina Institute di Cirebon, Islam tidak pernah melarang perempuan untuk menjadi pemimpin. Konsep kepemimpinan dalam Islam mengedepankan kemaslahatan atau kebaikan dan itu tidak mengenal jenis kelamin atau gender. Menurut ajaran Islam, hanya amal kebaikan seseoranglah yang diperhitungkan oleh Tuhan, bukan jenis kelaminnya.
“Perempuan itu manusia, bukan? Bekerja, termasuk memimpin, itu baik atau tidak buat manusia? Kalau baik, ya kenapa enggak boleh? Katanya, perempuan gampang capek. Ya kalau capek istirahat. Laki-laki juga bisa capek. Kalau Anda masih meragukan, berarti Anda mempertanyakan kemanusiaan perempuan,” ujar Faqihuddin dalam webinar Magdalene Learning Club Ramadan bertajuk “Kepemimpinan dalam Islam” (21/4) yang didukung oleh Bank Mandiri.
“Katanya, kalau perempuan gampang capek, perempuan harus dinikahi. Loh, itu jauh sekali logikanya. Kalau dinikahi, toh, perempuan harus mengerjakan pekerjaan domestik.”
Baca juga: Muslimah Reformis: Memaknai Islam yang Penuh Kesetaraan
Pemimpin Perempuan dalam Islam
Faqihuddin mengatakan, kepemimpinan menurut norma dan prinsip Islam berarti mengelola sesuatu yang dilakukan oleh seseorang yang ahli. Seseorang yang ahli ini merujuk pada bagaimana ia bisa membawa kebaikan pada orang-orang yang dipimpinnya, bukan jenis kelaminnya. Karenanya, baik laki-laki dan perempuan yang beriman itu bisa menjadi pemimpin, ujarnya.
Faqihuddin juga menegaskan, anggapan bahwa Islam melarang perempuan menjadi pemimpin, atau bahkan sekadar turut berkegiatan di ranah publik, itu disebabkan oleh berbagai doktrin serta budaya yang kerap melemahkan perempuan. Hal itu sudah ada sejak ribuan tahun silam dan masih dilestarikan sampai sekarang.
Anggapan kalau perempuan itu tulang rusuknya laki-laki, lemah, akalnya separuh, itu narasi imajinatif dan fiktif. Kita semua tahu perempuan itu banyak yang pintar dan mampu
Faqihuddin mencontohkan, bahkan miskonsepsi seperti itu turut dijadikan alasan banyak laki-laki untuk membenarkan praktik poligami.
“Katanya, perempuan jumlahnya lebih banyak dari laki-laki. Padahal, kalau kita buka datanya, justru laki-laki lebih banyak. Itu hanya alasan. Banyak yang bilang sumbernya dari mana-mana, tapi tidak ada yang bisa diverifikasi. Di Al-Qur’an dan hadis juga enggak ada itu,” ujar Faqihuddin, yang menulis buku Qiraah Mubadalah, sebuah pendekatan dalam menginterpretasikan teks-teks wahyu untuk keadilan gender dalam Islam.
“Anggapan kalau perempuan itu tulang rusuknya laki-laki, lemah, akalnya separuh, itu narasi imajinatif dan fiktif. Kita semua tahu perempuan itu banyak yang pintar dan mampu.”
Apa yang dimaksud ajaran Islam mengenai laki-laki sebagai kepala keluarga juga tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi, kata Faqihuddin. Hal itu karena Islam mengedepankan konsep kesetaraan, kerja sama, dan kemaslahatan, termasuk dalam keluarga, ujarnya. Apabila ada pihak yang sedang tidak bisa mengerjakan (memimpin) sesuatu dalam rumah tangga, maka pihak lainnya harus menggantikan untuk saling melengkapi, ia menambahkan.
“Laki-laki itu diwajibkan menafkahi keluarga karena dia tidak terdampak setelah berhubungan seks. Kalau perempuan bisa hamil, jadi sulit mencari nafkah. Tapi tidak pernah ada larangan perempuan bekerja, punya uang. Bahkan hak perempuan untuk punya uang itu besar sekali karena bisa untuk berzakat dan berhaji. Jadi tidak boleh kekuatan itu digunakan untuk menundukkan, karena jadi menyamai Tuhan,” ujar Faqihuddin.
“Nabi dulu juga mengerjakan pekerjaan domestik, memerah susu, mencuci sepatu. Pembagian selalu ada, yang penting bukan pembakuan. Ngapain ribut masak itu tanggung jawab siapa? Bahkan sekarang ini bisa pakai layanan pesan antar.”
Baca juga: Muslimah Reformis: Memaknai Islam yang Penuh Kesetaraan
Agama Disalahgunakan untuk Kontestasi Politik
Menurut Faqihudin, stigma dan budaya patriarki itu berdampak pula pada nasib perempuan di dunia kerja. Ia mencontohkan, dalam dunia politik, agama kerap disalahgunakan untuk memenangi sebuah kontestasi dengan menjatuhkan pihak lain. Hal itu juga kerap menyasar perempuan.
“Misalnya, kalau perempuan terjun ke dunia politik itu yang dibahas tubuhnya, suaminya, gimana dia tidak mengurus keluarga. Kalau laki-laki tidak dipersoalkan begitu,” ujarnya.
“Ini jadi concern bersama, bahkan bagi agamawan. Kita harus memberi panggung seluas-luasnya pada perempuan. Kalau disempitkan, cikal-bakal pemimpin yang baik itu tidak muncul nanti,” ia menambahkan.
Faqihuddin juga menyoroti bagaimana ajaran tasawuf dalam agama Islam mengajarkan bahwa karakteristik feminin, yang banyak dikaitkan dengan karakteristik perempuan, bisa membuat seorang manusia semakin dekat dengan Tuhan dan menguasai dirinya sendiri. Itu merupakan sifat jamaliyah, meliputi perilaku saling peduli, kasih sayang, empati, dan kolaborasi.
“Kalau asumsinya pemimpin itu harus baik dan dekat dengan Tuhan, ya berarti orang dengan sifat feminin itu bisa berhasil (jadi pemimpin). Sejarahnya, ulama-ulama cerdas pada zaman nabi muncul pada masa kepemimpinan perempuan. Di Mesir ada Azhar (institusi pendidikan), itu didirikan pada masa kepemimpinan ratu perempuan,” katanya.
“Banyak contoh-contoh perempuan pemimpin yang berhasil. Tapi kadang mata kita memandangnya berbeda. Perempuan salah sedikit langsung dibilang, ‘Tuh, kan perempuan enggak kompeten.’ Selalu dilihat salahnya,” ujar Faqihuddin.
Baca juga: Kepemimpinan Perempuan Islam Indonesia yang Membumi
Hal itu bahkan turut dilanggengkan oleh media, misalnya dengan memberitakan para perempuan yang berkiprah di ranah publik atau profesi tertentu sebatas dari aspek ketubuhan dan sensasionalitasnya, katanya.
“Berita tentang polisi wanita (polwan) itu isinya polwan cantik, polwan tidak cantik. Bukan kiprahnya sebagai polisi. Kalau tidak cantik jadi permasalahan. Padahal banyak sekali kiprah polwan yang bisa diceritakan. Perspektif ini ada di berbagai segmen.”
Ia menambahkan, “Kita harus melihat perempuan dan laki-laki itu sama, sebagai manusia, hamba Tuhan, yang punya tugas untuk melakukan kebaikan dalam agama, keluarga, dan masyarakat. Ukuran kebaikannya ya akhlak, bukan seberapa panjang baju atau jilbabnya.”
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments