Vagina bukanlah sebuah kata yang lazim didengar dalam percakapan sehari-hari dengan seorang ulama. Namun Husein Muhammad, atau yang lebih dikenal akrab sebagai Kyai Husein, dengan santai melakukan hal tersebut, tanpa bernada merendahkan.
Ia memang aktivis hak reproduksi anak muda, bahkan telah memprakarsai sebuah kampanye hak kesehatan seksual dan reproduksi berbasis Islam di pondok pesantren, melalui Institut Fahmina di Cirebon, Jawa Barat.
Menjabat sebagai kepala sekolah dari pesantren Dar al Tauhid di Arjawinangun, Cirebon, Kyai Husein juga merupakan anggota Komisi Nasional Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), telah mendirikan beberapa LSM perempuan, serta menulis sejumlah artikel dan buku mengenai hukum Islam (fikih) mengenai perempuan, permasalahan gender di pesantren, dan pluralisme.
Upaya-upaya tersebut membuatnya digelari kyai feminis.
Kyai Husein mengatakan ia tidak terlahir dengan pemahaman mengenai kesetaraan gender, tidak juga tumbuh dalam sebuah keluarga yang progresif.
“Saya dulu konservatif, dengan pemahaman literal mengenai teks-teks agama. Saya dulu berpikir bahwa teks-teks tersebut selalu benar adanya, dan bahwa kekurangannya ada di masyarakat,” ujar Kyai Husein, 66, dalam sebuah wawancara dengan Magdalene di kediamannya di Cirebon.
Lulus dari Universitas Al Azhar di Kairo pada 1983, Kyai Husein kemudian diminta mengelola pondok pesantren keluarganya, yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Muslim terbesar di Indonesia. Sekolah tersebut memiliki sekitar 500 santri, dari tingkat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas.
“Pesantren ini didirikan oleh kakek saya. Beliau memiliki banyak anak perempuan namun seperti dalam sebuah kerajaan, laki-laki selalu menjadi pemimpin sebuah keluarga,” ujar lelaki ramping dan berpembawaan tenang tersebut.
Baru pada 1993 Kyai Husein bersentuhan dengan isu gender, berkat program NU untuk meningkatkan kualitas pesantren dan masyarakat, sebuah inisiatif dari pemimpin besar organisasi beranggotakan sekitar 30 juta orang itu, sekaligus mantan Presiden Abdurrahman “Gus Dur” Wahid.
Mulai Memprakarsai
Pada tahun 1980-an, Gus Dur menulis banyak artikel yang menggambarkan pesantren sebagai agen perubahan sosial dan pentingnya menjadikan pesantren sebagai basis masyarakat dan ide-ide. Ia membuat serangkaian program untuk pesantren, termasuk kontekstualisasi dari buku-buku referensi dan pendirian kelompok-kelompok belajar sebagai sarana diskusi mengenai interpretasi teks-teks agama, teologi, dan juga studi gender.
Kyai Husein sendiri mengatakan bahwa pada awalnya ia resistan terhadap ide-ide kesetaraan gender, namun kemudian menyadari bahwa meskipun laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan secara biologis, tidak terdapat banyak perbedaan dalam aspek lainnya.
“Perempuan sering kali dianggap emosional dan bahwa tempat mereka adalah di dapur. Namun saya menyadari bahwa peran gender dapat berubah—hal tersebut bukanlah sesuatu yang alami atau mutlak. Saya menjadi lebih sadar akan fakta-fakta, menjadi lebih rasional. Saya merasa bahwa teks-teks agama, jika dibaca secara harfiah dapat memarginalkan dan merugikan perempuan,” ujarnya.
Teks utama yang menurutnya masih problematik karena bersifat diskriminatif terhadap perempuan adalah Surah Annisa (yang berarti perempuan dalam bahasa Arab) Ayat 34 di dalam Alquran, dan salah satu hadis dari Bukhari-Muslim.
Kedua teks tersebut, menurut Husein, menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki, dan menganggap laki-laki memiliki derajat yang lebih tinggi. Hadis tersebut bahkan mengatakan bahwa sumber dari keresahan sosial dalam masyarakat adalah perempuan, termasuk kepercayaan bahwa Adam jatuh dari surga akibat Hawa.
“Hampir semua isu perempuan didasarkan pada teks-teks tersebut, yang kemudian mengasingkan dan memarginalkan perempuan. Perempuan harus menutupi tubuhnya, harus didampingi oleh pasangan atau saudara dekatnya; tidak bisa menjadi hakim, politisi, dan lainnya. Seluruh umat sangat taat pada teks-teks tersebut dan kyai-kyai biasanya mengamini hal-hal tersebut karena takut perubahan dapat menghilangkan otoritas mereka,” lanjutnya.
Kyai Husein kemudian mulai lebih banyak menulis mengenai isu-isu gender dan menyampaikan kepercayaannya melalui ceramah-ceramahnya. Ia juga mendirikan atau ikut mendirikan berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berfokus pada isu-isu perempuan: Puan Amal Hayati, Rahimah, dan Fahmina.
Pada tahun 2001, ia menerbitkan sebuah buku yang mendobrak berjudul Fiqih Perempuan, yang membedah isu-isu perempuan menurut yurisdiksi Islam. Banyak dari pandangannya bertentangan dengan ajaran Islam pada umumnya, bahkan hingga kini. Beberapa di antaranya menentang pernikahan muda, juga menyatakan bahwa perempuan dapat menikahkan dirinya sendiri tanpa keberadaan wali dan bahwa perempuan boleh menjadi imam, atau pemimpin salat.
“Banyak orang yang menyambut baik buku tersebut, tetapi banyak juga yang melawan, terutama kelompok-kelompok garis keras yang mulai memanggil saya kafir. Saya juga mendapat teguran dari keluarga saya sendiri,” kata Kyai Husein, yang saudara-saudara kandungnya merupakan pemimpin dari berbagai pesantren di Jawa.
Ia menyatakan bahwa kekuatannya, selain memiliki otoritas sosial sebagai pemimpin pesantren, juga karena ia paham betul sejumlah dokumen dan jurnal Islam klasik.
“Komunitas-komunitas tradisional biasanya menentang pendapat-pendapat yang berlawanan. Salah satu cara saya dalam menghadapi pandangan yang berlawanan adalah dengan mempelajari teks-teks klasik, meskipun biasanya bukan merupakan teks arus utama. Kebanyakan aktivis hanya membaca buku-buku baru, tapi saya biasanya membaca kembali teks-teks dari abad ke-7 hingga abad ke-13 untuk memeriksa kebenaran beserta argumen yang mendukungnya,” ujarnya.
“Persepsi-persepsi yang berbeda mengenai isu-isu agama, seperti bagaimana perempuan harus menutupi tubuhnya, sudah ada sejak abad ke-9. Pilihan-pilihan yang kini dianggap sebagai bagian dari Westernisasi sudah pernah menjadi bahan perdebatan sebelumnya.”
Melawan Militansi
Namun, perlawanan terhadapnya terus berlangsung, terkadang berwujud kekerasan. Pada 2006, Fahmina dikepung oleh 50 orang yang marah, menuduh Kyai Husein sebagai agen asing dan antek Yahudi. Saat itu, perdebatan mengenai RUU Pornografi sedang marak dibicarakan, dan Kyai Husein menentang RUU tersebut.
“Bukannya saya mendukung pornografi, tetapi ada moralitas pribadi dan ada moralitas umum. Pemerintah tidak seharusnya mengatur yang pertama,” katanya.
Ia merasa khawatir dengan meningkatnya jumlah undang-undang yang mengatur isu-isu pribadi seperti kewajiban untuk menggunakan penutup kepala dan pelarangan penggunaan pakaian ketat bagi perempuan, seperti yang telah terjadi di beberapa daerah.
“Alasannya adalah demi melindungi perempuan, tapi hal tersebut berarti sebaliknya. Aturan itu meminggirkan perempuan, mengembalikannya ke rumah ataupun wilayah domestik,” ujar Kyai Husein, yang istrinya merupakan anggota DPRD di Kabupaten Cirebon.
Interpretasi religius menjadi semakin mengkhawatirkan karena semakin literal dan tidak relevan, padahal seharusnya interpretasi itu bersifat kontekstual, lanjutnya.
“Ini suatu kemunduran yang didukung konservatisme yang kuat, radikalisme yang meningkat, dan mimpi akan kejayaan masa lalu. Yang paling menyedihkan, pemerintah seolah tidak berdaya dan membiarkan hal ini terus berlangsung. Kita harus kembali menegakkan Undang-Undang Dasar dan Pancasila,” katanya.
“Toleransi beragama kini sedang terancam. Hal ini berbahaya, dan seperti yang bisa kita lihat hal ini memungkinkan beberapa kelompok agama untuk main hakim sendiri.”
Meski ada krisis tersebut, ia berpendapat bahwa ada beberapa hal yang dapat dibanggakan, seperti kemunculan ulama-ulama muda yang progresif, meskipun masih sedikit jumlahnya, dan kelompok-kelompok diskusi antaragama yang bekerja bersama, termasuk dengan pihak kepolisian, untuk menghadapi kekerasan publik terhadap orang-orang dengan kepercayaan yang berbeda.
Kyai Husein juga merasa senang dengan pertumbuhan Fahmina, meski sering kali menghadapi kesulitan finansial. Dari isu gender, ruang lingkupnya kini telah diperluas untuk memberdayakan masyarakat, seperti nelayan, pedagang kaki lima, ibu rumah tangga, pekerja migran, dan pengemudi becak, demi memperjuangkan hak-hak mereka.
Fahmina juga telah membangun Institute for Islamic Studies (ISIF), yang saat ini memiliki 300 siswa, semuanya didukung oleh beasiswa karena mereka berasal dari golongan ekonomi tidak mampu.
“Kami membangun pengaruh kami dengan pesantren dan tokoh muda lainnya. Bukanlah hal yang mudah, terutama ketika isu yang terkait adalah mengenai kesehatan reproduksi. Prosesnya panjang dan berliku. Tetapi saya senang karena banyak orang telah menunjukkan dukungan mereka untuk program kami,” katanya.
Artikel ini diterjemahkan oleh Sheila Lalita dari versi aslinya dalam bahasa Inggris.
Comments