Perkara laki-laki membayari perempuan, entah saat masih berkencan maupun sudah menikah, jadi isu klasik yang sampai sekarang masih saja banyak yang memperdebatkannya. Terlebih lagi, ketika kesadaran akan isu gender dan feminisme meluas, sebagian orang mulai mengeluarkan argumen-argumennya sendiri untuk membenarkan pilihannya. “Katanya feminis, kencan sama hidup aja masih dibayarin laki-laki,” demikian salah satu argumen lawas yang terdengar.
Ada yang merasa, sebagai perempuan, sudah sepatutnya kita belajar mandiri atau tidak bergantung pada laki-laki, termasuk urusan finansial. Di lain sisi, dalam hal kencan, masih banyak perempuan percaya bahwa laki-laki lah yang harus membayari. Pada kencan-kencan berikutnya, baru mereka bisa membagi tagihan atau bergantian membayari.
Di unggahan Instagram salah satu akun bahkan sempat disebutkan tips menghadapi istri yang kesal atau marah. Suami cukup berkata, “Ma, skincare sama bedaknya masih ada?”. Suatu hal menggelikan sekaligus menyedihkan buat saya karena kesenangan perempuan seolah hanya berhubungan dengan traktiran laki-laki.
Ada pula perempuan yang percaya laki-laki lah yang mesti menafkahi mereka, sebagaimana tertera dalam ajaran agama. Dengan berbagai alasan, mereka bergantung secara finansial kepada suaminya, sementara mereka memutuskan (atau sebagian terpaksa) mengurus ranah domestik lebih banyak (dan mungkin ditambah “melayani” sang suami).
Baca juga: 5 Tipe Cowok di Aplikasi Kencan yang Tampak Normal Tapi ‘Unmatchable’
Etiket Laki-laki yang Diterima Banyak Masyarakat
Dari generasi ke generasi, ada semacam etiket, “kode sosial” atau semacam standar tertentu bagi laki-laki saat memperlakukan perempuan. Misalnya, membukakan pintu untuk perempuan, memberi tempat duduk di transportasi publik, dan membayari saat kencan atau menikah.
Dalam tulisannya tahun lalu di Forbes, penulis buku Sex and the Office: Women, Men and the Sex Partition that's Dividing the Workplace Kim Elsesser mengutip hasil riset Money and SurveyMonkey yang menyatakan 78 persen responden mewajarkan laki-laki yang membayari kencan. Lebih banyak responden laki-laki yang berpikir demikian (85 persen) dibanding responden perempuan (72 persen).
Lebih jauh lagi, dalam riset lain tahun 2015 dikatakan, dari 17.000 orang yang disurvei, satu dari enam laki-laki percaya bahwa perempuan mesti mau berhubungan seks dengan mereka bila laki-laki telah membayari kencan.
Selama berabad-abad lamanya, laki-laki merasa berhak atas diri perempuan selama mereka punya uang. Tidak hanya tecermin dari jawaban sebagian laki-laki di riset 2015 ini, sejak dulu pun perempuan dianggap sebagai benda atau budak yang bisa dibeli. Perempuan tidak bisa punya properti atau hak seperti laki-laki. Bahkan, mereka tidak bisa memilih menikahi siapa yang mereka mau karena laki-lakilah yang mendikte keputusan mereka.
Dalam The Wallstreet Journal, antropolog biologi dan peneliti di Kinsey Institute, Indiana University of Bloomington Helen Fisher menjelaskan alasan fenomena ini dari perspektif evolusi.
“Perempuan ingin memastikan apakah laki-laki akan mengerahkan sumber dayanya bagi dia. Selama jutaan tahun, mereka memerlukan partner yang bisa memenuhi kebutuhan anak-anaknya dan perempuan terus mencari ‘sinyal’ seperti ini,” jelas Fisher.
Karenanya, dalam sejarah, dapat dipahami kenapa budaya membayari ini lebih lekat ke laki-laki dibanding perempuan, karena perempuan memang tidak pernah berkesempatan buat itu. Belum lagi di masa-masa berikutnya perempuan kesusahan mengakses pekerjaan berbayar atau punya gaji setara laki-laki. Dengan kondisi macam itu, semakin diwajarkanlah etiket laki-laki membayari kencan atau hidup perempuan dan keluarganya dalam masyarakat kita.
Baca juga: Jenis-jenis Kebohongan di ‘Dating Apps’ dan Kenapa Orang Melakukannya
Problem Tersembunyi dari Laki-laki Membayari Kencan
Elsesser berpendapat bahwa meski sebagian perempuan menikmati perwujudan etiket laki-laki seperti disebutkan tadi, hal ini bisa berimbas lebih buruk di kemudian hari, terutama terkait “benevolent sexism”. Dalam konsep ini, ditekankan bahwa perempuan mesti dipuji-puji dan dilindungi (sebagaimana dalam pemikiran paternalistis).
Tentu sekilas ini justru terkesan menguntungkan perempuan. Namun, konsekuensinya adalah semakin kuatnya stereotip bahwa perempuan itu lemah dan mereka senantiasa membutuhkan perlindungan laki-laki. Soal ini menjadi paradoks mengingat banyaknya perempuan yang justru menjadi korban kekerasan dari laki-laki.
Mengakarnya budaya laki-laki lebih superior dari perempuan juga berdampak pada kehidupan karier perempuan. Elsesser menulis, perempuan yang percaya bahwa laki-laki mesti beretiket semacam tadi, menjadi pelindung dan pemberi nafkah, punya ambisi karier lebih rendah dibanding yang tidak percaya demikian.
Baca juga: Menjadi Feminis yang Tak Sempurna
Dibayari Laki-laki Tetap Feminis?
Bagi beberapa perempuan, bisa membayar sendiri kebutuhan atau tagihan kencan mereka adalah simbol kekuatan dan independensi. Tetapi, perkara kesetaraan dan keadilan gender yang diperjuangkan feminisme lebih dari soal itu saja. Itu juga perkara opsi dan kesepakatan yang tentunya tidak memberatkan pihak mana pun.
Sesekali dibayari laki-laki bukan berarti kita tidak feminis. Terlebih lagi dalam relasi perkawinan, ketika si perempuan bergaji lebih rendah, lebih adil kalau porsi besar pembayaran tagihan dipegang laki-laki.
Poin penting yang tidak boleh luput dari perhatian adalah soal kesenjangan upah dan akses perempuan, yang membuat laki-laki lebih sering membayari jadi jamak. Perkarakan kenapa sistemnya begitu, bukan masalah etiket yang bisa diterima atau tidak saja.
Menggantungkan penuh urusan bayar-membayar kepada laki-laki, apalagi waktu masih kencan, itu juga cerminan seksisme dan pelanggengan maskulinitas toksik. Memangnya laki-laki tak merasa terbebani juga selalu membayari kencan? Tapi kadang mereka khawatir kalau meminta pacarnya yang membayar, pacarnya itu tersinggung atau gengsi mereka turun.
Jurnalis Emma Johnson berpendapat di Forbes, toh ketika perempuan feminis dibayari laki-laki saat kencan, tidak serta merta juga ia yakin partner-nya itu tidak misoginis dan seksis dalam keseharian. Seperti halnya perempuan, waktu dia dibayari laki-laki saat kencan, apa iya kita langsung menerkanya sebagai “cewek matre”? Kita tidak pernah tahu cerita orang di balik permukaan yang kita lihat, karenanya cepat menghakimi jadi hal yang mesti dihindari.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments