Terhitung sudah tiga kali saya tidak jadi menikah. Dua kali yang pertama baru sampai pada tahap sama-sama dikenal dan disetujui keluarga. Yang terakhir sudah sampai tahap lamaran, suntik tetanus, daftar ke Kantor Urusan Agama, beli barang-barang seserahan, dan tinggal cetak undangan. Namun, tidak seperti umumnya orang yang batal nikah, saya justru merasa lega meskipun sempat menghadapi situasi yang sangat pelik ketika saya matur ke orang tua.
Tentu orang tua dan kerabat menuntut alasan yang masuk akal (bagi mereka) kenapa lagi-lagi saya membatalkan pernikahan. Bukankah laki-laki itu cukup punya “nilai”? Sama-sama sarjana, sudah kerja, dari keluarga baik-baik dan kelihatannya sangat baik dan penyayang? Kakak saya sampai bertanya pada saya, “Kamu tidak sedang terinspirasi Julia Roberts dalam film Runaway Bride, kan?”
Jadi begini. Jujur, sebenarnya sudah lama saya memendam kegelisahan (juga ketakutan) ketika tiba waktunya bagi saya untuk (dipaksa) menikah. Buat saya, laki-laki baik dan bertanggung jawab saja tidak cukup. Tidak cukup meyakinkan untuk dijadikan suami, apalagi untuk seumur hidup. Laki-laki yang saya inginkan untuk jadi kawan hidup saya, selain memiliki hal-hal normatif pada umumnya, juga tidak misoginis. Bahkan sebenarnya lelaki non-patriarkal dan tidak misoginis harus jadi kriteria pertama, lalu diikuti oleh kriteria-kriteria lain.
Namun masalahnya, sedikit saya ceritakan, saya ini lahir dan tumbuh besar di keluarga religius pengikut suatu organisasi masyarakat keislaman tertentu. Sejauh ini, saya tidak menemukan lelaki tipe saya di lingkungan organisasi keluarga kami itu. Semuanya mentok pada narasi “emansipasi boleh, tapi jangan kebablasan.” Dan kabar buruknya, orang tua dan keluarga saya tidak mengizinkan saya menikah dengan lelaki di luar sekte kami (boro-boro nikah sama cowok beda agama). Ya wassalam, kan, nasib percintaan saya?
Baca juga: Ketika Laki-laki Feminis Divonis Takut Istri
Paham kesetaraan terbatas
Lalu, siapakah itu lelaki yang misoginis?
Di era Milenial ini memang sudah semakin banyak laki-laki yang paham narasi kesetaraan, utamanya kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam hal pendidikan dan pekerjaan formal. Banyak laki-laki yang mendukung istrinya berkarier di luar rumah atau menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Para suami mungkin sudah tidak gengsi lagi jika karier dan gaji istri lebih baik daripada mereka. Sudah banyak laki-laki yang mau turun ke dapur dan mengerjakan tugas-tugas domestik. Namun, apakah hal itu serta merta langsung menjadikan mereka melek sepenuhnya tentang narasi kesetaraan pada aspek lain, yaitu otoritas tubuh perempuan, misalnya? Wah, ya belum tentu.
Tidak banyak lelaki yang mendukung ide-ide feminisme secara kaffah (menyeluruh). Setidaknya, demikian yang terjadi di sekitar saya. Banyak teman laki-laki saya yang mendukung istrinya kerja dan sekolah lagi, tapi balik-balik ya tetap ditutup dengan wejangan klise dan mendidihkan kepala: Asal tidak lupa peran sebagai istri dan ibu, asal masih mengurus suami dan anak, asal masih mampu menyenangkan suami. Seolah-olah kodrat perempuan memang hanya seputar urusan olah-olah, umbah-umbah dan lumah-lumah (dapur, sumur, kasur). Seolah-olah pencapaian perempuan pada pekerjaan dan pendidikan hanya bonus yang boleh dikejar boleh tidak. Kenapa tidak berlaku sebaliknya? Kenapa laki-laki yang punya karier bagus dan sekolah tinggi tidak dijulidin dengan narasi yang sama: Asal tidak lupa peran sebagai suami dan bapak, asal tidak lupa mengurus anak dan istri, asal tidak lupa menyenangkan istri?
Kenapa laki-laki yang punya karier bagus dan sekolah tinggi tidak dijulidin dengan narasi: Asal tidak lupa peran sebagai suami dan bapak, asal tidak lupa mengurus anak dan istri, asal tidak lupa menyenangkan istri?
Masih banyak kawan laki-laki saya yang kaget dan tidak terima ketika saya bilang bahwa perempuan, juga istrimu, berhak loh atas tubuhnya sendiri, berhak mau pakai baju model apa, berhak untuk menutup atau mengekspos bagian tertentu tubuhnya, berhak untuk hamil atau menolak hamil. Bahkan seorang istri juga berhak untuk tidak berhubungan seks manakala sedang tidak minat. Seks bukanlah semata-mata pelayanan istri kepada lelaki. Tidak ada istilah melayani dalam rumah tangga. Mereka kemudian melotot dan marah.
Mengapa mereka marah demi mendengar narasi di atas? Ya apalagi kalau bukan karena konstruksi patriarki yang kuat tertanam dalam pikiran mereka. Bayangkan kalau saya menikah dengan lelaki semacam ini. Bisa jadi mantan calon-mantan calon suami saya itu akan mengizinkan (bahkan saya harus minta izin? Saya benci istilah ini!) meniti karier setinggi-tingginya atau sekolah sepuas-puasnya, tapi itu tidak jadi jaminan bahwa mereka akan membiarkan saya pakai baju ketat, bersahabat dan foto-foto dengan laki-laki lain, atau tidak memaksa saya berhubungan seks ketika saya sedang tidak ingin. Tidak ada jaminan bahwa mereka bisa menerima ide menunda kehamilan atau tidak punya anak sekalian ketika saya merasa tidak siap dengan perubahan-perubahan tubuh saya jika saya hamil.
Baca juga: Pilihan atau Tuntutan: Refleksi 2 Ibu Rumah Tangga
Hambok yakin, mereka pasti akan menggunakan dalil-dalil agama untuk memaksa saya bunting. Sudah pasti saya akan diceramahi bahwa sebaik-baiknya perhiasan adalah istri yang menyenangkan suami, atau semacam itu. Dia pasti akan menggunakan meme perempuan dan permen lolipop yang dikerumuni lalat kalau saya memutuskan untuk membuka jilbab manakala saya ingin.
Ya, itulah yang disebut laki-laki misoginis, barangkali ada yang belum paham. Mereka membenci perempuan. Perempuan yang tidak tunduk pada standar normatif mereka. Macam-macam kelakuan lelaki model begini; mulai dari pembatasan akses, tindak kekerasan, lelucon pornografi, objektifikasi tubuh perempuan, sampai aturan-aturan yang seolah-olah melindungi perempuan padahal mah pengekangan belaka. Laki-laki (yang ngakunya) saleh macam mantan-mantan saya tentu tidak melempar meme pornografi ke grup WA mereka. Tetapi, sudah pasti mereka pendukung ide analogi perempuan dan lemper yang mana sama-sama membuat saya kepingin muntah.
Demi Allah, saya tidak sudi menjadikan laki-laki seperti ini sebagai suami meskipun kata orang dia baik, mapan, berpendidikan dan bertanggung jawab. Saya tidak akan bisa memaafkan diri sendiri jika ini terjadi.
Comments