Saya merupakan salah satu pengikut akun Instagram yang pro terhadap keberagaman gender di Indonesia. Menurut saya, akun ini cukup membantu mengedukasi masyarakat mengenai pemberdayaan perempuan, isu kesetaraan gender dan hak asasi manusia.
Pada 12 Mei 2019, akun tersebut mengunggah sebuah foto seseorang yang mengalami kebocoran menstruasi pada celana yang ia gunakan melalui Instastory. Setelah unggahan tersebut muncul, seorang laki – laki berkomentar, “Menjijikan.”
Photo credit: Indonesiafeminis
Diskusi berkembang dalam kolom komentar di akun tersebut. Kebanyakan followers menceritakan pengalaman mereka dibully oleh teman laki – laki saat kedapatan “tembus” ketika menstruasi. Akan tetapi, tidak sedikit yang ternyata setuju dengan ungkapan “menjijikan” itu. Mereka mengatakan bahwa akun tersebut tidak selayaknya mengunggah foto darah yang tembus karena tidak bermanfaat bagi pembaca, bahkan ada pula yang mengatakan unggahan ini tidak ada hubungannya dengan kesetaraan gender.
Saya tergelitik membaca komentar – komentar kontra yang tidak hanya datang dari kalangan perempuan, tapi juga laki – laki. Kejadian ini menunjukkan bahwa menstruasi masih merupakan hal yang tabu bagi sebagian orang meskipun kita sudah memasuki abad ke-21, terutama bagi gender bernama laki – laki.
Lalu, mengapa masih banyak laki – laki yang begitu antipati terhadap menstruasi?
Hampir di seluruh negara dan di Indonesia pada khususnya, menstruasi masih dianggap sebagai hal yang kotor yang dialami oleh perempuan. Perempuan yang sedang menstruasi di anggap tidak bersih, sehingga tidak diijinkan melakukan beberapa aktifitas sehari – hari. Padahal secara medis, darah yang keluar dari vagina bukanlah darah kotor dan sama dengan dengan darah mimisan atau darah yang keluar dari tubuh kita.
Relasi kuasa antara laki – laki dan perempuan yang menempatkan laki – laki sebagai superior juga mempertajam stigma ini, sehingga laki – laki merasa tidak perlu membahas menstruasi yang mereka anggap kotor itu. Bahkan, persepsi menstruasi merupakan ranah privat perempuan menyebabkan perempuan tidak boleh mendiskusikannya secara terbuka. Inilah sebabnya menstruasi masih dianggap tabu terutama untuk didiskusikan bersama laki – laki, apalagi dalam bentuk diskusi umum.
Hal ini sering sekali memicu tindakan diskriminatif dari pihak laki – laki kepada pihak perempuan. Bullying di sekolah dan keengganan membantu teman atau saudara perempuannya ketika menstruasi adalah dua hal umum yang sering kita lihat di masyarakat. Seperti pada akun Instagram di atas, penolakan dari laki – laki (dan juga perempuan itu sendiri) muncul ketika menstruasi di diskusikan di ranah publik.
Diskriminasi terhadap perempuan berlanjut!
Akibat dari tidak didiskusikannya secara terbuka, banyak mitos dan norma yang beredar seputar menstruasi dan menyebabkan perempuan menjadi tidak berdaya untuk mempertanyakan kebenarannya. Meskipun ada beberapa norma yang mungkin bermanfaat, tapi sering kali norma yang ada justru menghambat perempuan untuk berdaya dari sisi sosial, ekonomi, kesehatan dan kebersihan diri.
Di Flores misalnya, perempuan yang sedang menstruasi tidak diijinkan untuk membuat kue karena akan menjadi tidak enak. Sama halnya di Lombok, perempuan yang sedang menstruasi tidak dibolehkan membuat tape ketan karena tapenya akan berubah warna menjadi merah.
Lain ladang, lain ilalang. Di daerah perkotaan, perempuan tidak boleh mengkonsumsi makan dan minuman tertentu selama haid karena akan menghambat menstruasinya seperti konsumsi jeruk, es, minuman bersoda dan lain – lain.
Menariknya, terdapat pula mitos yang seragam ditemukan di hampir seluruh wilayah Indonesia, yaitu perempuan yang sedang menstruasi tidak boleh keramas atau memotong kuku.
Bullying, mitos, dan tidak ada dukungan dari masyarakat menambah rentetan hambatan bagi perempuan dalam meningkatkan kesejahteraan dirinya.
Menstruasi itu normal!
Menstruasi adalah sebuah proses alami yang terjadi hampir pada setiap perempuan di usia produktif. Proses alami ini sama dengan proses bagi laki – laki untuk mengalami mimpi basah! Oleh karena itu, sangat penting untuk mendiskusikan secara terbuka untuk memastikan perempuan memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengelola sistem reproduksinya secara sehat.
Praktek Baik di Nusa Tenggara Timur
Simavi berkomitmen untuk meningkatkan kesehatan menstruasi di masyarakat, salah satunya di kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Program manajemen kesehatan menstruasi (MKM) mendorong perempuan dapat mengambil keputusan secara mandiri oleh perempuan dan remaja perempuan itu sendiri. Kegiatan ini dimulai dari 1) meningkatkan pemahaman perempuan terhadap tubuh mereka, 2) memudahkan akses terhadap produk menstrusi (pembalut, tampon, cawan menstruasi) serta akses terhadap air bersih dan sanitasi yang ramah terhadap perempuan, dan 3) mendorong penciptaan lingkungan yang kondusif oleh pemangku kepentingan lokal agar dukungan kepada perempuan terutama dalam hal menstruasi dapat tersedia.
Di sinilah peran laki – laki sangat diharapkan dalam mendukung perempuan yang sedang menstruasi. Di kedua kabupaten tersebut, laki – laki didorong untuk dapat memecahkan kebisuan mengenai menstruasi dan mendobrak hambatan – hambatan yang ada.
Di beberapa daerah, laki – laki masih memegang peranan penting dalam hal ekonomi keluarga. Oleh karena itu, laki – laki dilibatkan dalam program MKM untuk dapat mengalokasikan anggaran rumah tangga dalam pembelian produk – produk menstruasi dan membangun jamban yang layak bagi istri, anak dan adik perempuannya. Orang tua, terutama ayah juga didorong untuk menjadi panutan bagi anak laki – lakinya untuk secara positif mendukung saudara atau teman perempuan yang sedang menstruasi dengan tidak mengejek, membantu membelikan pembalut jika dibutuhkan, dan/atau mengatasi nyeri yang dirasakan oleh perempuan ketika menstruasi.
Selain itu, Simavi juga melatih guru – guru di sekolah untuk menerapkan pembelajaran mengenai kesehatan menstruasi dan menyediakan sarana sanitasi yang layak MKM di sekolah. Sanitasi yang layak mencakup jamban bersih dan privat serta memiliki ruang yang cukup untuk mengganti pembalut, akses terhadap air bersih dan ada pemisahan kamar mandi berdasarkan gender. Tentu saja, intervensi ini juga dibarengi dengan dukungan kepada pemerintah daerah agar menciptakan lingkungan yang ramah terhadap perempuan.
Hasil intervensi di kedua kabupaten tersebut menunjukkan bahwa sekalinya laki – laki diperkenalkan pada topik kesehatan menstruasi, maka mereka akan antusias mendukung kebutuhan perempuan terutama ketika menstruasi. Dengan demikian, diskusi yang intensif di tingkat masyarakat mengenai kesehatan menstruasi akan meningkatkan kesadaran terhadap kebutuhan perempuan dan remaja perempuan secara luas dan mendorong penciptaan perencanaan dan kebijakan yang ramah terhadap perempuan.
Comments