Perempuan miskin dan kelompok rentan sering kali tidak mendapat akses yang mudah terhadap hak-hak dasarnya dan banyak di antaranya yang tidak menyadari seberapa pentingnya hak mereka.
Masalah ini menjadi latar belakang adanya program “Making Rule of Law Meaningful for Poor Women and Vulnerable Groups” yang dibentuk pada 2016 oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK)
Untuk program ini, LBH Apik bermitra dengan tujuh kantor LBH APIK di Medan, Makassar, Semarang, Jakarta, Jayapura, Palu dan Mataram. Program ini juga didukung oleh Kedutaan Besar Belanda.
Program yang sudah berlangsung selama tiga tahun ini telah menghasilkan sebuah modul yang diharapkan dapat mengedukasi masyarakat tentang gender, hak-hak dasar, dan inklusi atau eksklusi sosial.
“Modul tersebut terdiri dari 40 hak-hak dasar (fundamental rights) yang sudah dirumuskan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan),” kata aktivis perempuan dan pendiri LBH APIK Nursyahbani Katjasungkana di Jakarta minggu lalu.
“Kita juga menghubungkan ini dengan Sustainable Development Goals di mana kita percaya tidak ada satu orang pun yang tertinggal. Lansia, difabel, minoritas seksual, miskin, satu pun orang tidak boleh tertinggal atau menghadapi eksklusi dari proses pembangunan dan semua orang memiliki hak untuk menikmati hasilnya,” lanjutnya.
LBH APIK juga berhasil melanjutkan ide yang sudah diperjuangkan oleh kelompok masyarakat sipil untuk Undang-Undang Pelayanan Publik, namun pada saat itu ide tersebut tidak diterima. Ide tersebut adalah sebuah “Forum Warga” yang dapat meningkatkan keterampilan advokasi masyarakat agar mereka sadar dan memperjuangkan akses mereka terhadap hak-hak dasarnya.
Forum Warga menjadi sebuah forum edukasi dan juga ruang politik untuk merumuskan strategi advokasi untuk mengakses hak-hak dasar dan pelayanan publik. Setelah banyak pertemuan, layanan publik seperti identitas hukum, pendidikan dan kesehatan layanan lebih mudah diakses oleh kelompok rentan.
Bersama dengan Forum Warga, Sekolah Pelopor Keadilan (SPK) juga dibuat oleh LBH APIK untuk melatih paralegal. Peserta SPK ini kebanyakan adalah perempuan miskin, kelompok rentan, difabel, petani, nelayan, dan juga kelompok minoritas.
“Di dalam program yang ini, peran paralegal sangat krusial karena LBH APIK sering kali berlokasi di kota dan stafnya tidak terlalu banyak. Maka di dalam komunitas di desa, peran paralegal sangat signifikan di Forum Warga ini,” kata Nursyahbani.
Kini, LBH APIK telah berhasil melatih 211 paralegal yang terus membantu masyarakat dengan hak-hak dasarnya dan telah mendirikan 18 Forum Warga di berbagai daerah di Indonesia.
“Setelah ikut di Forum Warga, perubahan dalam setahun itu sangat luar biasa. Yang tadinya saya takut untuk menyuarakan apa yang saya inginkan dan pikirkan, sekarang saya tidak lagi takut,” kata Siti Aisyah, Sekretaris sekaligus anggota Forum Warga Dasan Cermen, Mataram, NTB yang juga mengikuti acara LBH APIK tersebut.
“Itu semua karena di dalam Forum Warga, kita didorong untuk berbicara dalam forum. Maupun itu hanya satu atau dua patah kata,” lanjutnya.
Seperti sebuah kasus di Donggala, Sulawesi Tengah, Forum Warga menghasilkan sekeluarga mendapatkan sertifikat tanahnya setelah tertahan selama 16 tahun. Hasil lainnya adalah diadakannya sebuah kursus pranikah tingkat daerah di Mataram, Nusa Tenggara Barat yang mengedukasi perempuan muda tentang Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), haknya terhadap akses identitas hukum, dan kesehatan reproduksi. Dari Forum Warga juga masyarakat difabel di Mrisen, Demak, Jawa Tengah juga berdiskusi dengan pemerintah daerah tentang hak-hak difabel.
Dalam programnya ini juga, LBH APIK berhasil membuat sebuah pengumpulan analisis data bernama APIK Gender Justice Indeks (AGJI), yang sedang dikembangkan dan diimplementasikan di berbagai daerah. AGJI sendiri adalah pengumpulan analisis data tentang perbandingan akses laki-laki dan perempuan terhadap edukasi dan juga layanan kesehatan. Layanan kesehatan yang diperhatikan khususnya pada hak kesehatan reproduksi untuk mengukur tingkat kematian ibu. AGJI juga mengukur partisipasi politik laki-laki dan perempuan.
Saskia E. Wieringa, sosiolog asal Belanda yang juga profesor bidang gender dan perempuan mengatakan, AGJI berdasarkan statistik yang gampang dimengerti oleh semua orang, tidak hanya seorang ahli statistik.
“Hal ini adalah agar aktivis yang terlatih dapat mengumpulkan data, terlebih data yang dikumpulkan adalah data yang spesifik untuk perempuan seperti angka kematian ibu,” kata Saskia.
Namun, AGJI masih dikembangkan karena masih terdapat banyak kesulitan, salah satunya adalah data yang dikumpulkan tidak selamanya tersedia ataupun dapat diandalkan.
Ilustrasi oleh Adhitya Pattisahusiwa
Comments