Dalam persidangan kriminalisasi terhadap 26 aktivis buruh di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (9/5/2016) lalu, sekelompok buruh perempuan berjejer di halaman pengadilan. Bukan bersiap untuk orasi di atas mobil komando seperti tahun-tahun sebelumnya, saat itu, mereka bersiap menggelar pementasan teater guna menceritakan nasib para buruh yang meninggal karena berjuang mendapatkan hak-haknya yang ditindas negara dan perusahaan.
Ada kisah Marsinah, perempuan buruh yang dibunuh pada 1993, Bastian, buruh yang meninggal karena membakar diri dalam perjuangannya di Senayan pada 2015 lalu, dan beberapa kisah mengenaskan buruh lainnya.
Mereka juga menyelipkan adegan aparat kepolisian yang melakukan pemukulan kepada para buruh, pemandangan yang jamak jadi santapan para buruh sehari-hari. Tapi, tiba-tiba, puluhan polisi menyeruak masuk ke dalam kerumunan.
"Tidak boleh ada pementasan teater. Tidak ada izin pementasan teater. Tidak boleh ada adegan polisi melakukan pemukulan!" ujar salah satu polisi sambil berteriak, menurut catatan Konde.co.
Kerumunan dipaksa untuk bubar. Sejumlah buruh perempuan diminta pergi dari pengadilan. Sekali lagi mencoba menggelar pementasan setelah situasi mereda, polisi kembali membubarkan mereka. Pementasan berhasil diselesaikan pada upaya ketiga, setelah kucing-kucingan dengan aparat dan memutuskan untuk melanjutkannya di luar area pengadilan.
Pemanfaatan teater sebagai medium protes dan perjuangan bukan baru dilakukan para buruh baru-baru ini. Pada era Orde Baru, misalnya, ada Titi Margesti Ningsih dan Teater Aneka Buruh (Teater Abu) binaannya yang aktif menyuarakan isu-isu buruh dan perempuan lewat pertunjukan teater.
Baca juga: Pekerja Perempuan Tekstil dan Garmen Makin Rentan di Tengah Pandemi
Kejadian yang menimpa para buruh di PN Jakarta Pusat 2016 lalu ternyata adalah perpanjangan dan keberlanjutan dari upaya pembungkaman pemerintah dan kepolisian terhadap para buruh yang sudah terjadi sejak puluhan tahun silam. Sejak Teater Abu didirikan pada awal tahun ’90-an, Margesti, begitu ia akrab disapa, juga sudah harus bergelut dengan kendala serupa. Berkali-kali latihan maupun pertunjukannya dibubarkan.
Saat Teater Abu mementaskan lakon ‘Nyanyian Pabrik’ di Kota Bandung, misalnya, sekelompok tentara mendatangi mereka, yang berujung melahirkan tuduhan bahwa Teater Abu menghasut tercetusnya unjuk rasa pekerja di Majalaya, Jawa Barat.
Margesti bahkan sempat diinterogasi berjam-jam oleh aparat karena diduga menggalang suara para pekerja dan petani untuk memberontak lewat teaternya.
Namun, semangat Margesti tak pernah padam. Sampai kematiannya pada Januari 2017 lalu, Margesti mendedikasikan hidupnya untuk teater dan perjuangan perempuan buruh. Kisah hidup Margesti diriwayatkan dalam panel ‘Riwayatmu, Puan’ Sekolah Pemikiran Perempuan pada (23/7) oleh pegiat teater Dewi Noviami.
Bergerak lewat Teater
Catatan Radia Hafid dalam penelitian Perlawanan Kaum Buruh Perempuan (2009) menunjukkan, buruh perempuan mendapatkan upah yang jauh lebih kecil daripada para laki-laki buruh. Hal itu karena perempuan dianggap sebagai pencari nafkah tambahan, bukan pencari nafkah utama. Alhasil, banyak perusahaan yang memilih untuk mempekerjakan perempuan karena dianggap bisa menekan pengeluaran perusahaan. Cuti hamil, melahirkan, hingga menstruasi juga hanya angan-angan yang bahkan tak disadari para perempuan buruh sendiri menjadi hak fundamental mereka.
Tak terhitung pula jumlah perempuan buruh yang mengalami pemerkosaan dan bentuk-bentuk pelecehan seksual lain dari para laki-laki di sekitarnya, terutama orang-orang di perusahaan tempat mereka bekerja.
Baca juga: Menjadi Perempuan Buruh Pabrik di Indonesia
Kemurkaan Magesti dengan kondisi tersebut mendorongnya untuk membuat kritik-kritik yang lebih tajam lewat pementasan teaternya. Menurut Dewi, Teater Abu didirikan untuk melatih para buruh agar memiliki kemampuan mengekspresikan sikap dan pikiran yang berdaya dan saling peduli terhadap sesama, mengingat nasib perempuan dan perempuan buruh yang ditindas, lebih-lebih pada masa pemerintahan Orde Baru.
“Margesti percaya, teater bisa menjadi medium komunikasi, juga protes, yang relatif aman untuk mengundang massa serta mudah untuk dicerna masyarakat,” kata Dewi.
Salah satu lakon yang pernah dimainkan Teater Buruh berjudul ‘Mereka Bilang Aku Perempuan’ karya Ken Zuraida, yang ditampilkan di Taman Ismail Marzuki pada 2005. Pementasan ini mengisahkan kisah para perempuan buruh yang hidup dalam kondisi tidak layak, misalnya tokoh aktivis Diah dan Rukmini yang tinggal di rumah berukuran 2x3 meter. Keduanya aktif mengkritik arogansi pihak pabrik tempat mereka bekerja yang tidak memberikan upah layak dan kerap melakukan kekerasan pada para buruh. Nahasnya, Rukmini kemudian meninggal karena diperkosa oleh mandor di pabriknya.
Hambatan yang Dihadapi
Pada 1992-1994, Teater Abu mengalami perdebatan sengit dengan Yayasan Perempuan Mahardhika, lembaga yang membina mereka. Yayasan Perempuan Mahardhika menginginkan Teater Abu lebih banyak tampil di hadapan para kaum buruh dan masyarakat terpinggirkan, sementara Margesti dianggap lebih banyak tampil di hadapan para penikmat seni. Gesekan ini berhenti pada tahun 1994, tapi membawa dampak yang cukup signifikan terhadap gerakan Teater Abu.
“Anggota Teater Abu menyusut dari 40 orang menjadi 5 orang karena banyak buruh yang kesulitan membagi waktu untuk bekerja dan latihan. Apalagi, latihan dilakukan di daerah Parung Panjang, Kabupaten Bogor, tempat Margesti tinggal, dan kebanyakan buruh berdomisili di Tangerang, karena tidak ada lagi bantuan dana yang didapatkan,”
“Akhirnya, Margesti dan anggota yang tersisa lebih banyak bekerja dengan ibu-ibu yang bermukim di daerah sekitar tempat tinggalnya,” kata Dewi.
Baca juga: 4 Dampak UU Cipta Kerja dan PP Turunannya Bagi Buruh Perempuan
Transisi ini membawa perubahan yang cukup signifikan terhadap gerakan Teater Abu sendiri. Pada April 2006 lalu, kepada majalah Inside Indonesia, Margesti mengisahkan bahwa latihannya bersama para ibu kerap kali disaksikan warga setempat, seperti para pedagang sate, hingga buruh bangunan. Banyak dari mereka yang meminta untuk bergabung dan ikut berlatih teater.
Akhirnya, seiring perkembangan, Margesti membuka Teater Abu untuk massa yang lebih luas. Tak lagi menjadi kelompok khusus perempuan, Teater Abu turut merangkul para laki-laki buruh dan pekerja.
“Saya rasa, lebih baik bila tidak hanya melibatkan perempuan, tapi juga laki-laki. Ada petani, pekerja pabrik juga. Kami tetap fokus pada isu-isu dan masalah perempuan, tapi juga memainkan peran untuk merespons isu-isu yang urgensinya tinggi dan melibatkan buruh dari kalangan lainnya,” kata Margesti.
“Saya ingin, teater bisa ditampilkan oleh siapa saja, bukan hanya para profesional. Saya ingin memperkaya kehidupan para pekerja, supaya para pedagang sate tidak hanya jualan sate, pulang, lalu berjualan lagi keesokan harinya. Supaya mereka bisa mengembangkan aspek lain dalam hidupnya untuk mengembangkan pengetahuan dan jadi wadah aktualisasi diri.”
Comments