Saat menyimak layar media sosial beberapa tahun terakhir, kita sering menemukan isu lingkungan hidup berseliweran di timeline. Entah disuarakan oleh aktivis, figur publik dan masyarakat yang memiliki kepedulian, maupun berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan hidup, di dunia maya.
Tak sedikit dari mereka punya pengikut yang mencapai puluhan ribu, seperti Yayasan KEHATI dan WRI Indonesia. Tentu angka itu menggambarkan luasnya cakupan audiens untuk menyuarakan kepedulian terhadap lingkungan hidup. Namun, engagement ataupun daya keterikatan pada konten yang mereka publikasikan, ternyata bertolak belakang dengan angka tersebut.
Dalam diskusi “Inisiatif Publik dalam Mengarusutamakan Perspektif Lingkungan Hidup Melalui Media Sosial” yang digelar Remotivi pada (5/2), Surya Putra selaku peneliti menjelaskan faktor penyebabnya. “Jumlah anggaran dan sumber daya manusia yang dialokasikan untuk kerja-kerja komunikasi digital masih minim,” katanya.
Karena itu, kuantitas followers di media sosial tidak berbanding lurus dengan kesadaran masyarakat terhadap isu lingkungan hidup. Padahal, apabila dimanfaatkan dengan maksimal, media sosial merupakan platform efisien dalam mengadvokasi permasalahan ini.
Baca Juga: Dokumenter ‘Semesta’ Soroti Para Perempuan Penjaga Alam
Menurut Program Manager Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GDKP) Adithiyasanti Sofia, pemaparan konten belum cukup menjangkau audiensnya dikarenakan informasinya bersifat ilmiah.
“Itu yang bikin datanya enggak gampang diterima,” ujarnya dalam diskusi tersebut. Pun berdasarkan pengamatannya, tidak ada staf khusus dalam LSM yang menangani media sosial.”Bukan dalam divisi khusus.”
Menurutnya, pada sejumlah LSM senior, struktur organisasinya sedikit banyak juga berperan dalam pemanfaatan media sosial. Perempuan yang akrab dipanggil Dithy itu menerangkan, kerap kali terjadi perdebatan antara pegiat senior dan junior dalam melihat media sosial sebagai ranah potensial, untuk mendorong advokasi.
“Mereka melihat media massa konvensional sebagai poin utama. Yang penting masuk koran A, B, dan C,” tuturnya. Sementara media sosial sebatas dimanfaatkan untuk mempublikasikan hal-hal yang sedang dikerjakan.
Sebagai LSM yang telah dipandang followers-nya sebagai pendorong kebijakan, GDKP pun sering dinilai sebagai kaki tangan pemerintah, ketika sedang melakukan advokasi lewat media sosial. Padahal, kolaborasi dengan pemerintah merupakan salah satu kunci untuk melahirkan suatu kebijakan.
Bagaimana LSM dapat Memanfaatkan Media Sosial?
Hal pertama yang perlu dipahami, setiap media sosial memiliki karakteristik dan fungsinya masing-masing.
Misalnya Facebook, platform yang diluncurkan Mark Zuckerberg itu dinilai ampuh untuk mendorong penggunanya mengklik tautan dan dapat meraih engagement tinggi jika menyertakan video. Sementara Twitter mampu menyebarluaskan isu dengan cepat dan membuka forum diskusi, serta memasukkan gambar dalam cuitannya.
Sedangkan Instagram memiliki kekuatan di audio visual untuk mengajak penggunanya bereaksi. Artinya mengutamakan foto dan video, dengan informasi berupa teks dikemas sesederhana mungkin, dan memanfaatkan fitur carousel. Atau TikTok yang karakternya lebih cair dan dapat meraup perhatian penggunanya lebih cepat jika lewat di laman “For Your Page” (FYP).
Baca Juga: Konferensi Iklim Didominasi Laki-laki, Saatnya Tingkatkan Keterlibatan Perempuan
Hal ini dibuktikan oleh Philip Aiken, seorang environmentalist creative yang memanfaatkan media sosial untuk meningkatkan kesadaran terhadap isu lingkungan hidup. Dengan lebih dari 1,4 juta likes di TikTok, Aiken membicarakan manfaat meningkatkan keanekaragaman hayati di taman dan ruang hijau.
Kepada The Guardian, pria di balik akun @philthefixer itu mengatakan, “Menurut saya, ini seperti menanam benih. Semoga orang-orang yang melihat mau mempelajarinya lebih jauh.”
Dalam platformnya itu, Aiken tidak hanya menciptakan wadah edukasi tentang berkebun dan kehidupan berkelanjutan, melainkan menggerakan audiensnya untuk saling bertukar informasi melalui kolom komentar.
Baca Juga: 5 Cara Bantu Selesaikan Masalah Krisis Iklim dari Rumah
Membicarakan media sosial tidak lepas dari peran meme, atau shitposting yang ternyata juga alat menarik untuk perhatian warganet. Menurut Managing Editor VICE Indonesia Ardyan Erlangga, shitposting adalah kunci menjangkau teman-teman di usia muda.
“Shitposting bukan berarti hanya berbentuk meme, tapi kalau bisa kenapa enggak? Asalkan capaian issue-nya enggak terlalu jauh,” katanya, dalam diskusi publik tersebut.
Selain itu, Ardyan memaparkan, konten terkait isu lingkungan hidup yang dipublikasikan VICE turut mendulang engagement tinggi dari audiensnya, yang berusia 16-31 tahun.
Karenanya, pengolahan konten yang tidak dipublikasikan secara mentah menjadi aspek penting yang menentukan engagement. Dalam memaparkan rangkaian program kerja misalnya, disarankan untuk tidak dapat bulat-bulat meletakkan kumpulan tulisan karena tidak baik buat menarik perhatian pembaca.
Sependapat dengan Ardyan, musisi sekaligus edukator Rara Sekar mengungkapkan, rendahnya minat baca masyarakat Indonesia menyebabkan pendekatan visual lebih diandalkan dalam menyampaikan informasi. Sehingga storytelling dianggap lebih efektif untuk menarik audiens di media sosial.
“Permasalahannya, orang-orang di LSM itu bukan storyteller karena bukan keahliannya,” jelasnya. Karena itu, Rara menyarankan sebaiknya LSM berkolaborasi dengan ahli media sosial.
“Harus dikemas supaya relate, dan menciptakan gaung di kalangan masyarakat yang masih awam terhadap sains,” ucap Rara.
Comments