Pikiran saya tergelitik beberapa waktu lalu saat melihat selebaran promosi dari sebuah lembaga konsultan pendidikan, yang menyandingkan pendidikan di luar negeri dan jodoh. Dua variabel yang dari awal sudah membuat dahi berkerut ketika disandingkan.
Jika pendidikan hanya dipandang sebagai investasi dalam mencari pasangan, maka bersedihlah Ki Hadjar Dewantara yang namanya selalu hadir dalam kutipan di Twitter atau Instagram anak muda saat Hari Pendidikan Nasional. Bung Hatta, yang menunggu negara merdeka dulu baru mau meminang Siti Rahmiati, niscaya juga akan geram.
Dalam selebaran tersebut terpampang seperempat halaman foto laki-laki Indonesia dengan kekasih kulit putihnya, diimbuhi slogan dengan huruf merah seolah-olah penegas, “Bisa jadi jodohmu bule benua ini, itu, atau ono”.
Tujuan lembaga tersebut jelas mengeruk untung dagang, yang bisa dipahami di tengah pandemi yang membuat orang berpikir dua kali untuk menimba ilmu ke luar negeri. Namun ada yang problematik dalam selebaran cocoklogi di atas.
Pertama, mengapa harus foto laki-laki Indonesia dengan perempuan bule? Ini setali tiga uang dengan pertanyaan dari kawan-kawan saya di Indonesia, “Sudah berapa cewek bule yang lo tidurin di Swedia?”, “Sudah mau habis masa studi di sana, enggak pernah gue lihat lo posting foto di Instagram dengan pacar bule”.
Hubungan percintaan adalah urusan masing-masing. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan dan foto di selebaran di atas merupakan manifestasi kultur maskulinitas nan toksik yang mengakar di masyarakat. Percintaan dianggap perihal kompetisi, penaklukan, dan pengakuan, bukan manifestasi afeksi terhadap pasangan masing-masing tanpa perlu umbar-umbar dan relasi kuasa.
Permasalahan ini juga dialami oleh para mahasiswa perempuan. Percakapan saya dengan beberapa kawan perempuan mengerucut pada pernyataan umum yang biasa dialamatkan pada mereka, “Cari cowok bule saja, menikah dan hidup nyaman di sana”.
Baca juga: ‘Fuckboy’ adalah ‘Bad Boy 4.0’: Setuju atau Tidak?
Pandangan ini berbahaya, sebab lagi-lagi merepresentasikan budaya maskulinitas toksik. Perempuan dianggap objek taruhan dan kompetisi yang jika dimenangkan, ia dapat tunduk pada kondisi yang dirancang oleh si penakluk. Misalnya hidup nyaman atau rezeki cukup, yang sebenarnya juga dapat diraih perempuan tanpa adanya penaklukan.
Menarik jika melihat latar belakang kawan-kawan penanya. Mereka bukan berasal dari kalangan kelas menengah bawah kurang pendidikan, yang terbatas akses pemahamannya terhadap isu gender yang memang dari awal sudah sangat terbatas pembahasannya. Mereka adalah kaum menengah perkotaan berpendidikan tinggi, dan satu dua bahkan aktif di isu-isu resistensi macam gender atau perjuangan kelas.
Menarik sebab antara sedih dan geram, pertanda kultur maskulinitas toksik telah menembus batas-batas kelas, bahkan pada mereka yang mengaku paling progresif sekalipun.
Mengapa harus bule?
Lebih jauh lagi, pertanyaan dan pernyataan manifestasi di atas berkait dengan embel-embel bule yang disematkan. Ini bersambung dengan poin kedua catatan saya: Mengapa memang kalau punya pasangan bule?
Pandangan inferior terhadap orang kulit putih tak lepas dari manifestasi kapitalisme dan ide pembangunan yang membentuk disparitas antara yang kaya dan miskin, yang maju dan terbelakang. Tidak usah jauh dulu ke Barat, saya yang dari kampung ini saja selalu diteror pertanyaan oleh keluarga atau kawan di rumah, “Sudah punya pacar orang Jakarta belum?” ketika pertama kali belajar di Universitas Indonesia. Seolah saya yang udik dan berkacamata puth ini tak dapat menjalin hubungan dengan perempuan-perempuan modis ibukota.
Merujuk pada konteks Indonesia, negara ini dahulu dijajah oleh bangsa kulit putih yang juga mengusung semboyan maskulinitas toksik, “gold, glory, gospel”. Terlepas dari eksploitasi yang masif, pandangan bahwa negara Barat lebih unggul memang sudah ada dari zaman kolonial. Ini berlanjut dalam konteks pembangunan global setelah Perang Dunia II. Awal munculnya ide pembangunan sendiri sudah mempertegas ketidaksetaraan. Pidato Presiden US, Harry S. Truman, tahun 1949, berbunyi,
Baca juga: 5 Tanda Kamu Punya Maskulinitas Rapuh
“We must embark on a bold new program for making the benefits of our scientific advances and industrial progress available for the improvement and growth of underdeveloped areas. … For the first time in history, humanity possesses the knowledge and skill to relieve the suffering of these people.”
Pidato tersebut menjadi landasan dari program-program pembangunan global yang juga dirasa Indonesia. Bungkusnya memang tak lagi imperialisme, namun isinya sama saja, bahwa Barat lebih superior dan kita butuh diselamatkan. Ada relasi kuasa di sana.
Kapitalisme Barat dalam wajah pembangunan ekonomi mulai masuk. Muncullah istilah “white savior” atau pandangan bahwa apa pun yang impor Barat pasti bagus. Restoran ayam goreng bermaskot badut berbanderol dua kali lipat dari warung tenda pinggir jalan ramai diserbu pembeli. Ia dianggap produk keren dan mentereng.
Melihat latar belakang kawan-kawan saya, agaknya tidak heran jika maskulinitas toksik muncul. Pemahaman gender mereka belum melampaui batasan gender itu sendiri dan ia bertalian dengan kapitalisme. Kombinasi ini selalu merugikan perempuan. Mereka sama-sama berakar pada cara pandang kompetisi, penaklukan, dan relasi kuasa.
Berpasangan dengan bule tak masalah namun ide di balik itu yang harus dicermati. Jika ia manifestasi kultur maskulinitas toksik, maka perempuan akan selalu dirugikan. Tak heran istilah “yellow fever” ramai berkembang, bahwa laki-laki kulit putih gemar berpasangan dengan perempuan Asia karena merasa mereka lebih gampang diatur. Atau muncul seminar macam jodoh dan pendidikan yang melihat perempuan Barat sebagai objek taklukan dan simbol superioritas.
Interaksi saya dengan kawan-kawan perempuan saya tidak selamanya perihal seks dan kondom, banyak hal di luar itu yang menarik untuk digali terlepas dia orang Indonesia atau kulit putih.
Comments