Beberapa hari terakhir, media sosial dipenuhi dengan berita tentang Maudy Ayunda. Mulai dari yang penuh canda hingga yang kelewat serius. Canda-canda seperti “untung kita bukan tetangga Maudy” atau “dari Maudy kita percaya, kalau Oppa Korea bisa terjangkau” sampai obrolan serius soal manusia privilese dan kurang beruntung.
Saya sudah berusaha untuk tidak mengikuti arus, menjalani rutinitas seperti biasa saja, mengejar deadline, berolahraga, belanja bulanan, sampai saya melihat foto Maudy dilamar di air terjun. Saya kirimkan unggahan Maudy itu ke pacar saya, niatnya bercanda, karena kami mengunjungi Purwokerto (kota kelahirannya) di Lebaran kemarin dan saya bermain di air terjun bersama adiknya, tapi dia tidak bersama kami. “Seharusnya kamu lamar aku kemarin, mumpung ada air terjun,” begitu pesan singkat saya.
Dia hanya menanggapinya dengan “he he he”.
Di sebuah laman berita online, saya menemukan judul artikel Maudy Ayunda dan Hari Insecure Nasional. Artikel itu membahas bahwa hari pernikahan Raisa Andriana dulu menjadi Hari Patah Hati Nasional dan hari pernikahan Maudy kali ini lebih tepat menjadi Hari Insecure Nasional. Saya sedikit mengiyakan, karena setelah mengirim foto Maudy dilamar di air terjun, saya menangis.
Baca Juga: Raisa dan Ekspektasi Cantik Natural
Sebelumnya saya mau menyampaikan bahwa saya punya kondisi gangguan kecemasan yang memicu kepala saya untuk mem-bully diri saya sendiri.
Saya menangis karena kepala saya mengatakan bahwa saya begitu buruk hingga usia segini, tidak ada yang melamar saya. Saya menangis karena kepala saya mengatakan di usia segini satu-satunya gelar yang saya punya cuma Sarjana Ilmu Komunikasi, dari kampus swasta yang tidak terkenal di Bandung. Saya menangis karena kepala saya mengatakan sebagai perempuan saya tidak bisa membuat seorang laki-laki pindah agama dan pindah negara seperti yang dilakukan suami Maudy.
Dulu saya juga pernah bertanya-tanya apa yang membuat seorang Pangeran dari Britania Raya turun tahta untuk menikahi Wallis Simpson. Apa yang dimiliki Roro Jonggrang sehingga Bandung Bondowoso mau membangun seribu candi dalam semalam. Kepala saya mengatakan bahwa saya tidak seistimewa itu sehingga membuat lelaki mau berkorban untuk saya.
Pacar saya sudah mengetahui kondisi saya dan sejak pertama kali menjadi pacar saya, dia sudah menyatakan siap untuk menjadi caregiver. Sehingga ketika saya mengatakan sedang menangis, ia segera menelepon. Untuk beberapa saat saya tidak bisa bercerita apa yang terjadi karena hanya bisa menangis, bahkan bernapas pun mulai kesulitan. Dia tetap menemani saya menangis dan menunggu saya bisa bercerita.
Sambil terisak, saya merunut apa yang sedang kepala saya lakukan. Saya sampaikan satu per satu kata-kata yang kepala saya katakan, beberapa sudah saya sebutkan, tapi tak semuanya bisa saya sebutkan di tulisan ini. Dia berusaha menenangkan saya dengan mengatakan banyak hal tetapi kemudian saya meracau lagi. Saya terus mengatakan apa yang kepala saya katakan.
“Jadi kamu mau mendengarkan aku atau kepalamu?” tanya pacar saya.
Ia kemudian menjelaskan rencana-rencana masa depan kami yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Dia sudah mempersiapkan semuanya dan dia hanya meminta saya sedikit lebih bersabar pada proses yang akan kami jalani.
Baca Juga: Kekeyi dan Tajamnya Lidah Warganet di Media Sosial
Saya terdiam mendengarkan apa yang ia sampaikan. Sebelum bertemu, kami memiliki masa lalu yang sama-sama tidak mudah dan apa yang kami jalani sekarang boleh dibilang cukup mulus dibandingkan hubungan-hubungan kami sebelumnya. Dia sudah bertemu orang tua saya, begitu juga sebaliknya, di masa hubungan yang belum genap satu tahun. Perjalanan cinta kami mungkin lebih mulus dari perjalanan cinta Maudy dan suaminya yang harus menghadapi perbedaan agama, budaya, dan banyak hal lainnya. Kenapa saya harus merasa kurang beruntung dari Maudy?
Menjadikan kehidupan orang lain sebagai standar kehidupan sempurna membuat diri kita sendiri tidak akan pernah merasa sempurna. Misalnya begini, pacar saya mungkin tidak akan meninggalkan kota tempatnya sekarang (kami LDR), bahkan sampai kami menikah. Sehingga mungkin saya yang harus mengalah untuk pindah kota nantinya.
Jika saya membandingkan dengan suami Maudy yang meninggalkan negaranya (bahkan agamanya) untuk Maudy, maka saya akan merasa bahwa dia tidak segitu cintanya kepada saya. Cintanya tidak sesempurna suami Maudy. Padahal kan tidak seperti itu. Dia sudah bersedia menjadi caregiver saya sejak hari pertama menjadi kekasih saya adalah sebuah pengorbanan yang mungkin jadi “tidak kelihatan” hanya karena saya sedang melihat lelaki lain melakukan pengorbanan kepada perempuan lain dan tiba-tiba menjadi standar kesempurnaan.
Saya bisa membayangkan para lelaki lain yang ketar-ketir karena suami Maudy disebut “sat set sat set diam mengejar prestasi, bergerak gelar resepsi”. Bagaimana perasaan mereka yang dibandingkan tidak apple to apple. Padahal, pernikahan Maudy dan suami tidak seinstan pembangunan seribu candi dalam semalam. Mereka mungkin menjalani hubungan yang berat, tetapi bisa jadi banyak juga pasangan yang menjalani hubungan lebih berat dari mereka, sehingga belum beruntung mendapat akhir yang baik atau bahagia. Bukan berarti mereka tidak mau sat set sat set.
Tulisan ini, selain untuk diri sendiri juga saya harap bisa membantu orang lain yang jadi korban “Hari Insecure Nasional”. Jangan sampai para orang tua nanti memberi standar bahwa perempuan harus seperti Maudy yang bisa dapat suami seperti itu. Karena kita tahu, di Indonesia ini seringkali orang tua membandingkan kekasih anak perempuannya dengan kekasih anak perempuan lain. Prestasi anak perempuan seringkali lebih kepada siapa suami yang berhasil dinikahinya ketimbang prestasi akademik atau prestasi lainnya.
Padahal, yang bisa para orang tua pelajari dari kehidupan Maudy adalah ia bisa menjadi perempuan seperti itu karena dukungan penuh orang tua sedari kecil. Pendidikan Maudy terjamin, ia berada di keluarga yang fully functioning sehingga memiliki kepercayaan diri untuk meraih pendidikan setinggi mungkin. Ketika anak perempuan lainnya kesulitan untuk memiliki pendidikan (atau bahkan kesulitan mengekspresikan bakatnya), Maudy mendapat dukungan penuh untuk sekolah dan berkarier di industri hiburan.
Baca Juga: Selebritis Berhak Punya Privasi, Kita Saja yang Gagal Paham
Namun, saya juga tidak berniat membuat para orang tua insecure karena tidak bisa menjadi orang tua seperti orang tua Maudy. Sekali lagi, ketika kehidupan mereka dijadikan standar, kehidupan kita menjadi seperti “hilang” dan tidak berarti lagi. Padahal semua orang punya jalan hidupnya sendiri dan saya percaya setiap orang tua akan berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya.
Kalimat “Maudy kurangnya apa?” sebaiknya juga tidak perlu ada lagi. Dia hanya manusia biasa, pasti banyak kurangnya, cuma kita tidak tahu saja (atau tidak mau tahu). Yang kita lihat dan jadikan standar hanya hal-hal yang sepertinya tidak bisa kita capai. Padahal orang seperti Maudy dan suaminya banyak, cuma kita tidak tahu saja (atau tidak mau tahu). Jangan sampai kita menjadi “hilang” hanya karena kehidupan orang lain yang tidak kita kenal menjadi standar kehidupan yang tidak bisa kita gapai.
Mengutip kata-kata pacar saya, “Maudy hanya sedang membagikan hari bahagianya”. Jika ada yang pro-kontra, insecure, dan sebagainya, itu bukan salah Maudy. Kita saja yang heboh sendiri. Seperti kepala saya yang malah sibuk mem-bully saya. Heboh sendiri.
Padahal sebelum Maudy nikah, saya baik-baik saja, bahkan cenderung sedang berbahagia karena sedang menikmati momen-momen kebersamaan dengan keluarga, kekasih, rekan kerja, dan teman-teman dekat, setelah dua tahun pandemi dan jauh dari mereka. Saya baik-baik saja sebetulnya, sama dengan kamu yang sedang membaca tulisan ini. Kita punya kehidupan sendiri, begitu pula dengan Maudy.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments