“Menari adalah satu-satunya praktik di mana posisi laki-laki untuk memimpin tidak tertandingi,” kata teman laki-laki berusia pertengahan 20-an.
Pengamatan lucu ini dilakukan oleh seorang teman untuk mendukung argumennya bahwa gerakan feminisme telah melahirkan generasi yang bingung tentang tempat perempuan dalam keluarga, apakah sebagai pengasuh, pencari nafkah, mitra, kepala, atau apa pun. Dia berargumen perempuan akan mencapai tingkat emansipasi yang sama seperti yang kita nikmati sekarang—dan laki-laki akan tetap menjadi pemimpin yang tak tertandingi—bahkan tanpa tindakan pembakaran bra yang menggemparkan nilai-nilai keluarga.
Baca juga: Drama Korea ‘Navillera’ dan Mengejar Mimpi Saat Lanjut Usia
Saya tentu saja sangat tidak setuju dengan ini. Emansipasi adalah tentang kekuatan dan karena tidak banyak laki-laki akan melepaskannya tanpa perlawanan, gelombang feminisme diperlukan. Saya cukup suka posisi laki-laki dan perempuan sekarang dikompromikan, sesuatu yang bisa didiskusikan dan disepakati, bukan hanya diasumsikan, setidaknya di beberapa rumah tangga.
Membiarkan seseorang mengambil alih arah hidup kita tentu saja memiliki daya tarik tersendiri. Pada 1997, saya melakukan perjalanan ke Sulawesi Utara dengan sepupu-sepupu perempuan saya. Om Billy ada di sana dan dia membuat semua keputusan untuk kami: Apa yang harus dilakukan, ke mana harus pergi, apa dan makan di mana, jam berapa dan bagaimana cara bangun (metodenya adalah pukul 7 pagi dengan memutar lagu-lagu religi keras-keras). Tidak harus berpikir dan tetap bisa bersenang-senang—dan, sayangnya, lingkar pinggang yang kian melebar—adalah suatu kebahagiaan.
Namun, itu adalah seminggu liburan dengan seorang laki-laki yang telah membuktikan dirinya sebagai juru masak yang hebat dan guru dari masa-masa indah. Apakah saya suka jika saya harus mengikuti seseorang secara buta sepanjang hidup saya hanya karena dia memiliki kromosom Y dan saya tidak? Tidak. Mengingat ini juga bukan peran yang mudah bagi laki-laki, saya berpendapat bahwa emansipasi terbalik bukanlah sesuatu yang juga diinginkan oleh laki-laki. Mari kita kembali ke lantai dansa tentang ini.
Suatu hari Sabtu dalam kelas salsa, saya mengalami konsekuensi ekstrem dari membiarkan laki-laki memimpin. Kami berdiri melingkar, berganti pasangan dansa setelah satu atau dua lagu. Orang pertama oke; dia memutar saya ke sana-sini dalam gerakan dengan sedikit variasi yang dipraktikkan dengan baik. Saya baik-baik saja, sungguh, karena saya lebih suka langkah berulang yang berjalan dengan lancar daripada putaran heboh yang sulit dan dilakukan dengan ceroboh. Tapi, dia tanpa henti meminta maaf karena tidak mengetahui lebih banyak gerakan dan atas kesalahan yang dibuatnya saat berdansa tadi.
Itu baik-baik saja dan agak lucu pada awalnya, tetapi kemudian dia mulai meminta maaf ketika saya melewatkan satu langkah. Ternyata, apa pun yang saya lakukan salah adalah tanggung jawabnya, karena dia seharusnya memimpin, katanya. Wah, beban sekali ya! Kecuali jika mereka adalah orang yang sangat egois, itu bukanlah posisi yang sangat nyaman. Hal ini kemudian membawa saya ke laki-laki berikutnya, yang menurut saya sangat menyebalkan sehingga saya sampai benar-benar mempertimbangkan untuk menginjak kakinya.
Kami sedang melakukan merengue, jenis tarian lain dari Amerika Latin, dan para laki-laki diperintahkan untuk memutar pasangan mereka. Jadi laki-laki jangkung ini mengangkat tangan kirinya, yang seharusnya menjadi tanda pertama untuk berbelok, dan setelah tiga detik saya berbalik perlahan.
Dia berseru, "Kamu tidak seharusnya berbalik jika saya tidak membalikkan badanmu!!" Saya menarik napas dalam-dalam dan memutuskan untuk menerima ucapan yang ia lontarkan pada saya meskipun ada keraguan.
Kami lanjut menari dan dia mengangkat lengannya lagi, saya menunggu sentuhan kecil di jari saya yang pasti akan menjadi sinyal bagi saya untuk berbalik, mengira saya merasakannya, dan bergerak. Dia menegur lagi.
“Aduuuh… yang jelas, dong! Jangan angkat tangan saya jika kamu tidak ingin saya melakukan apa pun—itu terlihat bodoh.”
Baca juga: Saya Berhijab dan Saya Penari
Saya melotot dan untungnya, guru menyuruh kami untuk berganti pasangan. Bayangkan jika orang seperti itu memimpin hidup saya. Dia tidak tahu apa yang dia lakukan, namun dia masih ingin saya mengikutinya dan menjadi sangat marah ketika dia mengacau. Enggak deh, saya enggak mau bertemu laki-laki macam itu.
Itulah perbedaan antara tarian hari ini dan ketika perempuan diperlakukan sebagai warga negara kelas dua tanpa rasa bersalah. Saat itu, saya tidak bisa mengatakan saya akan menolaknya. Sekarang, saya bisa memilih dengan siapa saya berdansa. Bahkan lebih baik lagi, saya bisa mendatangi seseorang dan *terkesiap!!* memintanya untuk berdansa dengan saya.
Selain itu, seberapa sering kita menari bergandengan tangan dalam mode klasik kamu-memimpin-saya-mengikuti saat ini? Kita lebih cenderung pergi ke klub dan pesta dan menari sendiri, kadang berdua, kadang berkelompok, tapi tetap dengan gaya dan nada kita sendiri. Kita bisa bergerak tanpa mengikuti irama, berputar, tangan melambai-lambai. Dan tak seorang pun perlu menegur dengan kasar atau meminta maaf.
Artikel ini diterjemahkan oleh Jasmine Floretta V.D. dari versi aslinya dalam bahasa Inggris.
Comments