Pada 2017 lalu, penyanyi Nafa Urbach melaporkan beberapa pemilik akun media sosial ke polisi karena melecehkan anak perempuannya yang masih di bawah umur. Kasus ini bermula, seperti dikutip media, saat Nafa mendapatkan tautan berita mengenai anak perempuannya yang berjudul “Gadis Mungil ini Ternyata Anak Artis Ternama! Cantik bak Barbie, Jago Nyanyi Pula". Dalam kolom komentar, sejumlah warganet menuliskan pesan-pesan bernada seksual terhadap anak Nafa, seperti istilah “loli” (mengacu pada Lolita) dengan emoji hati, dan “tunggu gedenya”. Sampai saat ini, kasus pelecehan ini sepertinya tidak mencapai penyelesaian.
Tak hanya komentar bernada seksual dari warganet yang problematik sebetulnya. Berita soal anak Nafa yang berfokus pada kecantikan fisiknya tersebut sangat mengobjektifikasi anak perempuan di bawah umur. Dan bukan sekali itu saja media melakukannya. Simak judul-judul berikut ini.
“Kecantikan Anak Marshanda Bikin Warganet Geger”
“11 Potret Anak Artis Perempuan yang Menawan Seperti Wajah Sang Mama”
“10 FOTO Arsyila Anak Risty Tagor dari Suami Ketiga, Cantiknya Kebangetan - Ayahnya Masih Jadi Misteri”
“Terlahir Cantik, 12 Anak Artis Indonesia Ini Bakal Bikin Cowok Bertekuk Lutut di Masa Depan”
Mungkin sebagian besar masyarakat melihat judul-judul seperti ini berita semacam ini biasa saja, apalagi dengan adanya kata-kata pemanis berisi “pujian” mengenai fisik anak-anak ini. Mungkin mereka berpendapat bahwa artikel semacam ini tidak memiliki muatan juga dampak negatif sama sekali. Artikel-artikel semacam ini pun terus menerus diproduksi oleh media massa dengan dibanjiri oleh likes dan dibagi sampai ribuan kali.
Baca juga: Perempuan dan LGBT di Media Online: Direndahkan dan Dilecehkan Demi Konten
Pandangan Laki-laki Diinternalisasi Anak Perempuan
Dalam bukunya The Lolita Effect: The Media Sexualization of Young Girls and What We Can Do About It, profesor ilmu komunikasi dari India, Meenakshi Gigi Durham mengatakan, anak perempuan menginternalisasi pandangan laki-laki imajiner dan mereka belajar melihat diri mereka sendiri sebagaimana laki-laki akan melihatnya sebagai objek pandangan dan penglihatan. Menurut Durham, pandangan imajiner laki-laki ini kemudian diadopsi oleh perempuan dan tertanam di banyak citra, pesan, dan institusi budaya kita, tidak terkecuali media massa.
Dengan penekanan pada penampilan fisik semata, media massa secara esensial mengobjektifikasi anak-anak perempuan dengan mengeksploitasi tubuh mereka. Media menjadikan anak-anak perempuan ini sebagai objek yang ada hanya untuk dipertontonkan di depan mata publik dan bisa diperjualbelikan dengan timbal balik berupa rating, peningkatan pengguna media massa, dan keuntungan kapital media massa lainnya.
Lalu apa yang dapat terjadi jika media kerap melakukan objektifikasi atau bahkan seksualisasi terhadap perempuan dan anak perempuan? Jennifer Stevens Aubrey, seorang profesor dari University of Missouri dalam artikel The End of Innocence: The Cost of Sexualizing Kids yang ditulis oleh Lois M. Collins and Sara Lenz, mengatakan bahwa semakin banyak orang mengonsumsi media yang melakukan objektifikasi dan seksualisasi terhadap perempuan dan anak perempuan, semakin besar kemungkinan mereka memperlakukan perempuan dan anak perempuan atau diri mereka sendiri sebagai objek.
Media massa dalam hal ini meningkatkan objektifikasi diri pada anak perempuan, yang berkontribusi pada ketidakpercayaan diri pada anak. Hal ini bisa dilihat dari penelitian yang dilakukan untuk Dove Self Esteem Project yang menemukan bahwa hanya 11 persen anak perempuan di seluruh dunia yang menyebut diri mereka cantik, dan enam dari sepuluh anak perempuan menghindari berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang menunjang kemampuan sosial mereka karena kekhawatiran tentang penampilan mereka. Sepertiga dari semua anak usia 6 tahun di Jepang memiliki kepercayaan diri yang rendah soal tubuh mereka. Anak-anak perempuan Australia mencantumkan citra tubuh sebagai salah satu dari tiga kekhawatiran teratas mereka dalam hidup, sementara 81 persen anak perempuan berusia 10 tahun di AS mengatakan takut menjadi gemuk.
Normalisasi objektifikasi media terhadap anak-anak perempuan kemudian tidak hanya menghantarkan pada objektifikasi diri yang berbahaya tetapi juga pada pembentukan pandangan superioritas laki-laki dalam bingkai dominasi laki-laki di dalam masyarakat.
Baca juga: Menjual Perempuan dalam Berita Olahraga
Objektifikasi dan Seksualisasi Anak Perempuan Berbahaya
Artikel berjudul Not An Object: On Sexualization and Exploitation of Women and Girls yang diterbitkan UNICEF menyebutkan bahwa melalui objektifikasi tubuh anak-anak perempuan, anak laki-laki nantinya akan melihat bagaimana tubuh mereka digambarkan dalam hubungannya dengan anak perempuan dan menginternalisasi gagasan bahwa kesuksesan dan daya tarik terkait dengan dominasi, kekuasaan, dan agresi.
Semakin banyak orang mengonsumsi media yang melakukan objektifikasi dan seksualisasi terhadap perempuan dan anak perempuan, semakin besar kemungkinan mereka memperlakukan perempuan dan anak perempuan atau diri mereka sendiri sebagai objek.
Sementara itu, perempuan menempati tempat yang berbeda dengan mereka, dengan kepasifan dan ketubuhan dianggap sebagai nilai-nilai utama yang harus diampu oleh mereka. Jika objektifikasi ini dilanggengkan terus menerus, maka tidak hanya stereotip memainkan peran besar dalam timpangnya relasi kuasa antar perempuan dan laki-laki, tapi stereotip ini berkontribusi pada bagaimana masyarakat kerap kali meremehkan kekerasan terhadap perempuan, terutama tindak kekerasan seksual.
Dalam artikel tersebut juga dipaparkan data dari 30 negara, bahwa hanya 1 persen anak remaja perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual mencari bantuan profesional. Rasa malu, penyangkalan, dan ketakutan akan dampaknya berkontribusi pada keengganan anak perempuan untuk membagikan kisah mereka. Terlalu sering media mengirimkan pesan bahwa penampilan fisik dan tubuh perempuan adalah nilai atau aset terbesar mereka. Perempuan pun dipandang sebagai objek pasif yang menjadi pusat perhatian publik, sehingga anak perempuan semakin mereduksi diri mereka sendiri atas pengalaman ketubuhan mereka yang miliki dan enggan bersuara atas kekerasan yang mereka alami.
Media massa memiliki kekuatan untuk membentuk pola pikir dan opini masyarakat. Dengan demikian, perlu usaha yang nyata dari para pelaku industri media massa dalam menindaklanjuti masalah ini. Sementara kita sebagai pembaca juga memiliki kekuatan untuk memilah berita yang dibaca dan menegur serta memberi pengertian pada mereka yang menyebarkan berita yang mengobjektifikasi perempuan. Hal kecil ini dapat dilakukan untuk setidaknya memulai sebuah perubahan di dalam masyarakat dalam memandang perempuan dan anak perempuan sebagai manusia, bukan sebagai objek.
Comments