April 2021, azan Subuh belum berkumandang. Namun, Balai Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah sudah basah oleh air mata dan riuh dengan teriakan para perempuan yang menolak tambang.
“Dahulu kamu bilang mau melindungi Desa Wadas, sekarang sudah jadi lurah malah mau merusak,” kata salah satu warga Yatimah. Yang disebut lurah, Fahri Setyanto yang kala itu mendirikan tenda untuk sosialisasi keder.
Dilansir dari LBH Yogyakarta, perempuan lainnya Sri menimpali dengan ucapan, “Hidup di sini kok mau menghancurkan temannya sendiri. Mau jual tanah, sama saja jual temannya. Seenaknya sendiri mau bikin temannya sengsara.” Tangisnya tumpah.
Fahri yang dibekingi oleh ratusan aparat bersenjata pun berkemas. Hari ini, setahun berselang dari aksi di balai desa, para perempuan Wadas tetap teguh melawan.
Baca juga: Ekofeminisme: Perempuan dalam Pelestarian Lingkungan Hidup
Sebagai informasi, Fahri adalah pelaksana di level lokal setelah Gubernur Jawa tengah mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 509/41/2018 yang menetapkan Desa Wadas sebagai area penambangan batuan andesit. Sedianya ini akan diperuntukkan sebagai bahan proyek pembangunan Bendungan Bener, Purworejo yang direncanakan mulai beroperasi pada 2023.
Masalah bermula dari sini.
Ancaman Lingkungan, Kerusakan Bumi
Proyek tambang andesit tersebut tidak hanya mengancam lingkungan setempat. Jika dilihat dari letak geografisnya, Desa Wadas dengan kontur tanah yang curam menjadikannya sebagai kawasan rawan longsor. Selain itu, masyarakat sekitar yang menggantungkan hidup dari hasil alam akan turut terdampak.
Menurut pakar Hukum Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM) I Gusti Agung Wardana, izin untuk mendirikan bendungan dan pertambangan terbuka relatif janggal, lantaran mengacu pada dua hukum yang berbeda. Berbeda dengan tambang yang jelas-jelas punya efek merusak, menurutnya bendungan masuk dalam pembangunan untuk kepentingan umum dengan UU Nomor 2 Tahun 2012 sebagai dasarnya. Akibatnya, persoalan hukum proyek penambangan dengan proyek pengadaan tanah tidak dapat disatukan dengan dalil kepentingan umum.
Jika tambang ini nekat dilanjutkan, keberadaan 27 sumber mata air di Desa Wadas pun di ujung kehancuran. Rusaknya sumber mata air berpotensi merusak lahan pertanian warga. Jika dirunut lagi, kerusakan lingkungan yang secara sengaja dilakukan tersebut merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak hidup, hak asasi manusia.
Dalam hemat saya, pelanggaran hak tersebut mengakibatkan terjadinya ketidakadilan. Secara ekologis, makhluk hidup dan benda-benda abiotis dalam unsur lingkungan saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu, kewajiban dan tanggung jawab moral yang sama juga harus berlaku pada semua realitas ekologis.
Baca juga: Tentukan Masa Depan Bumi, COP26 Jangan Dipolitisasi
Perempuan Melawan
Ruang-ruang publik dan sosial kerapkali meminggirkan perempuan. Dalam hal ini, isu lingkungan, sumber daya alam, termasuk tambang adalah isu feminis. Mengapa demikian? Pasalnya, konflik tersebut berkaitan dengan situasi perempuan yang kerap mengalami ekses terbanyak menjadi kelompok pinggiran. Dipinggirkan oleh kebijakan negara, dikecualikan oleh pembangunan infrastruktur.
Ini berlaku pula dalam konteks pembangunan bendungan yang sekaligus mencerabut hak para perempuan. Dalam buku Ecofeminism (2005) Shiva dan Mies mengatakan, bendungan, tambang, bangunan-bangunan kokoh, markas militer, merupakan candi (pusat pemujaan) agama baru yang dinamakan pembangunan. Apa yang dikorbankan di altar agama ini adalah kehidupan alam dan kehidupan manusia.
Konteks ini memperlihatkan, perempuan memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan alam, namun opresi atas nama pembangunan memaksa perempuan menjadi bisu.
Baca juga: Empat Perempuan Aktivis Lingkungan Buka Festival Kolaborasi WEA
Sebagian besar dari mereka yang menolak dibisukan inilah yang hingga hari ini tetap teguh melawan atas nama Wadon Wadas. Isinya adalah para perempuan pemberani yang ingin agar Bumi tetap lestari, air tak cemar, dan anak cucu bisa hidup di masa depan.
Sebagai kesimpulan, saya tak menolak pembangunan, tapi saya memberi catatan kritis. Bahwa pembangunan apapun wujudnya harus memperlihatkan sifat berkelanjutan, ramah perempuan, tidak meminggirkan kelompok marginal. Selama pembangunan negara kita masih berwatak maskulin, saya kira tepat untuk menyerukan: “Pandang umur perjuangan. Tetap melawan, Wadon Wadas!”
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments