Tahun lalu, pemerintah meluncurkan program Merdeka Belajar. Hal ini menjadi paradigma baru bagi lembaga pendidikan (khususnya pendidikan tinggi) untuk mendukung pembelajaran mandiri.
Merdeka Belajar bertujuan untuk membekali mahasiswa dengan keterampilan praktis yang mendukung mahasiswa dan Indonesia untuk mampu bersaing secara global. Melalui program ini, para siswa dapat menempuh beragam alur untuk memperoleh pengetahuan dan keahlian. Alur-alur termasuk pengalaman di luar kampus dengan institusi dan industri pendidikan dan non-pendidikan.
Pemerintah semakin berupaya agar siswa dengan disabilitas dapat berdaya dalam perjalanan pendidikan mereka. Ini momen yang baik untuk melihat kembali bagaimana institusi pendidikan dan mitra mereka di industri dapat memastikan program ini memberi manfaat bagi siswa-siswa dengan disabilitas.
Baca juga: Ribut-ribut Risma: Memihak Disabilitas Mulai dari Pemaksaan ‘Normal’
Manfaat bagi Mahasiswa dengan Disabilitas
Di pendidikan tinggi, paradigma baru pembelajaran ini dikenal sebagai Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Kampus Merdeka memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk berkuliah secara tidak konvensional.
Dalam kurun waktu tiga hingga enam bulan, mahasiswa dapat memperoleh keterampilan baru yang melibatkan pemangku kepentingan di luar kampus. Bentuk kegiatan pembelajaran MBKM tersebut terdiri dari pertukaran pelajar dalam dan luar negeri, Kuliah Kerja Nyata Tematik/ Membangun desa, asistensi mengajar di satuan pendidikan, proyek kemanusiaan, kegiatan kewirausahaan, dan magang atau praktik kerja.
Sejauh ini, terlihat bahwa kegiatan MBKM ini belum memperhitungkan kebutuhan dari mahasiswa dengan beragam perbedaan. Beberapa perguruan tinggi bahkan belum mengambil langkah awal untuk mendirikan unit disabilitas. Karena itu, ada risiko besar kebutuhan mahasiswa penyandang disabilitas akan terabaikan.
Baca juga: Rendahnya Kualitas Hidup Penyandang Disabilitas
Orang dengan disabilitas masih menghadapi hambatan yang signifikan dalam dunia kerja sebagai pekerja yang terampil. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana perguruan tinggi terlibat dalam mendukung mahasiswa dengan kemampuan yang beragam dengan memanfaatkan MBKM ini?
Penelitian kami tentang pembelajaran online selama pandemi COVID menunjukkan masih banyak yang harus dipelajari tentang konsep akomodasi yang berterima, yaitu, bagaimana cara memastikan mahasiswa penyandang disabilitas dapat berpartisipasi dalam format pendidikan tradisional?
Institusi pendidikan tinggi sedang berusaha untuk meyakinkan mitra eksternal untuk menyambut mahasiswa penyandang disabilitas untuk dapat mengikuti program MBKM.
Tidak Banyak Terwakili di Pendidikan Tinggi
Data terbaru dari Badan Pusat Statistik menunjukkan penyandang disabilitas mencapai kesetaraan yang hampir sama dengan rekan-rekan mereka yang bukan penyandang disabilitas hanya pada pendidikan tingkat dasar. Kesenjangan dalam pencapaian pendidikan semakin tinggi seiring dengan meningkatkan tingkat pendidikan. Hanya sekitar 2,8 persen penyandang disabilitas Indonesia berusia di atas 15 tahun yang mengenyam pendidikan tinggi.
Pendidikan memainkan peran penting dalam meningkatkan kualitas hidup penyandang disabilitas karena pendidikan merupakan jembatan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menetapkan bahwa pendidikan inklusif dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi adalah sebuah prinsip dasar.
Perguruan tinggi memang seharusnya memiliki unit pendukung disabilitas untuk memberikan pelayanan dan mengakomodasi mahasiswa penyandang disabilitas dengan baik. Namun, hingga 2017 hanya 11 dari 4.670 perguruan tinggi dilaporkan telah memberikan akses kepada penyandang disabilitas.
Rendahnya pencapaian pendidikan berkontribusi pada jumlah rendah penyandang disabilitas dalam sektor ekonomi. Sebagian besar penyandang disabilitas terlibat dalam perekonomian informal.
Data juga menunjukkan bahwa baik pemerintah maupun industri masih jauh dari target yang ditetapkan undang-undang dalam mempekerjakan penyandang disabilitas. Kementerian Ketenagakerjaan pada 2018 melaporkan bahwa hanya sekitar 1 persen penyandang disabilitas yang memiliki karier formal dalam sektor industri.
Tanpa usaha yang signifikan dan terencana dengan baik, persentase partisipasi penyandang disabilitas dalam mengkases pendidikan tinggi akan terus rendah.
Berbeda dengan rekan sejawat mereka yang tidak mengalami disabilitas, penyandang disabilitas akan terus hidup dalam kemiskinan dan akan selalu bergantung pada keluarga mereka sebagai dampak terbatasnya kesempatan untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan.
Tanggung Jawab Semua Pihak
Pendidikan merupakan kunci kesetaraan sosial. Pendidikan merupakan jalan menuju kemandirian sosial dan ekonomi bagi seluruh masyarakat. Program MBKM menawarkan mahasiswa dengan disabilitas untuk mewujudkan kehidupan yang bermakna. Kurangnya pemahaman terhadap kemampuan yang dimiliki oleh penyandang disabilitas menghambat terwujudnya lingkungan yang mendukung.
Ini merupakan tanggung jawab semua pihak termasuk pengelola dan pemimpin untuk memastikan penyandang disabilitas tidak tertinggal dalam agenda reformasi sosial.
Peningkatan kepekaan terhadap isu disabilitas dan pengembangan kebijakan dengan melibatkan kerja sama yang terstruktur dan komprehensif antarkementerian, institusi pendidikan dan mitra industri merupakan sebuah langkah yang penting.
Berdasarkan pengalaman kami, ketertarikan dan antusiasme terhadap isu disabilitas sangatlah tinggi, namun kurangnya pengetahuan menjadi hambatan untuk memulai. Tanpa kepekaan melihat hambatan yang tidak terlihat yang ada pada kebijakan dan prosedur, capaian kesetaraan bagi penyandang disabilitas hanyalah utopia semata.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments