Belakangan, ibu kawan saya, Merry menghadapi masalah besar dalam hidupnya. Si “Tante” ini telah bekerja di kantin sekolah sejak saya dan Merry duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar. Nahas, pandemi memaksa Tante berhenti bekerja lantaran sekolah-sekolah di Indonesia tutup. Tak ada lagi penghasilan, tak ada pesangon sama sekali.
Selama puluhan tahun merantau ke Jakarta dari Yogyakarta, pun setelah menikah, Tante selalu tinggal di kontrakan. Saat Merry berusia 8 tahun, suami Tante meninggal karena sakit. Praktis, Tante menjadi ibu tunggal yang harus banting tulang demi Merry dan dua saudaranya. Jangankan punya tempat tetap sendiri untuk menghabiskan hari tua, mengumpulkan uang untuk keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya saja, Tante sudah ngos-ngosan. Pilihan berutang pun dilakukan demi tambal sulam kebutuhan sehari-hari.
Suatu hari, Tante berkonflik dengan anak tengahnya, Dewi, hingga diusir dari rumah hasi cicilan Merry begitu ia jadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Pengusiran ini sendiri adalah klimaks dari konflik yang bolak-balik mereka alami sebagai ibu dan anak.
Anak sulung laki-laki Tante, yang lebih tua tujuh tahun dibanding Merry, masih bekerja serabutan. Penghasilannya bekerja sebagai freelancer, hanya cukup digunakan untuk menyewa kos kecil. Karenanya, mustahil untuk memboyong Tante hidup dengannya.
Akhirnya, Tante tinggal bersama Merry di rumah pacarnya. Sehingga, menggandakan beban kawan saya yang notabene masih diekori cicilan rumah, kendaraan, ditambah beban fisik dan psikis bekerja di tempat berjarak puluhan kilometer jauhnya. Beruntung Merry belum berkeluarga, sehingga ia tak harus terperangkap dalam sandwich generation.
Baca juga: Merengkuh Usia Tua dengan Gembira
Kisah Tante yang tamatan SMP ini hanya satu di antara sekian banyak representasi generasi tua yang nelangsa setelah tak bekerja. Sebagian lainnya lebih berdaya dan bisa hidup dari uang pensiunan atau kiriman anak-anak mereka. Namun, dalam kasus Tante, Merry harus mati-matian menggantikan posisi sebagai tulang punggung keluarga karena Dewi tidak bekerja, punya anak tiga, dan suaminya tidak berpenghasilan tetap pula. Masalah privasi di sisi lain, menjadi persoalan Merry yang mesti dihadapi setelah memutuskan menampung ibunya.
Masalah Bakti dan Realitas
Barangkali sebagian dari kita merasa cerita Tante ini biasa-biasa saja dan jamak. Wajar bila anak menampung ibunya ketika menua dan tidak bekerja lagi sebagai wujud baktinya, terlepas dari betapa sulit menghidupi orang tua yang telah renta. Ini pernah saya tulis dalam satu artikel Magdalene soal lajang banyak tanggungan.
Pengajar Sosiologi Universitas Indonesia (UI), Rosa Diniari menyatakan, “Kalau umpamanya anak sudah menikah, mungkin dia tidak bisa secara sepenuhnya menanggung orang tua karena ada keluarga sendiri yang perlu dihidupi. Tapi kalau yang lajang ini, dia dianggap harus bertanggung jawab sama siapa lagi kalau bukan kepada orang tua?”
Ia menambahkan, ketergantungan orang tua kepada anak tidak lepas juga dari anggapan masyarakat bahwa anak adalah aset orang tua. Ini berhubungan dengan level edukasi yang dikecap si orang tua tersebut.
Namun dalam kasus Tante, yang saya tahu (karena saya cukup dekat dengannya dan suka berbagi cerita), Tante tidak punya anggapan macam ini kendati level edukasinya terbilang rendah. Kondisi lah yang mendesaknya untuk “membebani” anak bungsunya itu.
Opsi memasukkan orang tua ke panti jompo juga sulit diambil. Dalam kasus Merry, uang jadi alasan utamanya. Sebagian panti jompo dengan fasilitas memadai, bahkan mewah, memaksa anak untuk menguras kocek dalam-dalam demi kesejahteraan orang tuanya yang lansia. Sementara dalam konteks lain, memasukkan orang tua ke sana dianggap tabu, seakan anak membuang sosok yang telah susah payah membesarkannya.
Baca juga: Waduh, Kakak Perempuan Saya Sudah Pensiun!
Tabu macam itu yang membuat saya agak kaget dan tertarik saat seorang kawan kampus saya dulu, “Dika”, bercerita bahwa orang tuanya lebih memilih dimasukkan panti jompo ketimbang harus hidup menempel dengan anak-anaknya saat mereka menua dan sakit-sakitan.
Saya menilai, apa yang dipikirkan orang tua Dika lebih realistis. Dika tentu tak punya waktu dan tenaga lebih untuk mengurus penuh orang tuanya yang tinggal beda kota dengannya. Namun lagi-lagi, hanya orang seperti Dika yang terdidik dan punya privilese ekonomi saja yang bisa melakukan hal tersebut.
Di samping itu, sebagian fasilitas di panti jompo di Indonesia juga masih langka dan jauh dari kata memadai. Sehingga, itu menjadi momok bagi seseorang jika kedapatan memasukkan orang tuanya ke sana. Hal ini ditegaskan oleh Ketua Pusat Kajian Lanjut Usia UI, Dr. Fatmah pada 2019 lalu dalam peringatan Hari Lansia Nasional.
Dilansir Suara.com, Fatmah mengatakan, keberadaan panti jompo dengan fasilitas memadai di Indonesia masih minim. Di Kota Depok misalnya, sudah ada kesepakatan [pemerintah kota] untuk tidak membuka panti jompo. Jika pun ada, panti-panti itu dikelola swasta dan terbatas.
Beragam Problem Lansia
Bicara tentang kebutuhan, lansia tentunya memerlukan perhatian lebih, khususnya dalam hal perawatan kesehatan. Lansia juga perlu mendapat fasilitas yang menunjang kesehatan mentalnya. Isu kesepian dan perasaan terisolasi menjadi hal jamak yang ditemukan dalam banyak penelitian tentang lansia, salah satunya seperti disinggung dalam riset Sarah Abdi dkk. yang dimuat di jurnal BMC Geriatrics (2019).
Di sana dikatakan, para lansia yang menjadi partisipan risetnya mengalami kehilangan relasi atau kesempatan untuk terjun dalam berbagai aktivitas sosial karena keterbatasan dirinya, terutama karena penyakit mereka. Sementara, lansia membutuhkan koneksi yang bermakna, tidak sekadar keberadaan keluarga atau orang yang merawatnya.
“Prevalensi tinggi kesepian dilaporkan terjadi pada lansia yang tinggal dengan orang lain, seperti halnya mereka yang tinggal sendiri. Ini mengindikasikan lansia punya kebutuhan untuk meningkatkan akses ke relasi ‘bermakna’, alih-alih meningkatkan kontak sosialnya semata,” demikian petikan riset tersebut.
Baca juga: Pelajaran Soal Relasi Remaja Putri dan Orang Tua dari Kasus ‘F’
Kesepian dan rasa terisolasi yang sering dirasakan lansia pada akhirnya memicu pelbagai masalah kesehatan fisik, seperti tekanan darah tinggi, penyakit jantung, obesitas, sistem imun yang melemah, kecemasan, depresi, penurunan kemampuan kognitif, Alzheimer, bahkan kematian.
Dikutip dari situs National Institute on Aging, orang-orang yang merasa kesepian karena ditinggal mati pasangannya, berpisah dari teman atau keluarga, memasuki masa pensiun, dan kehilangan mobilitas, berisiko lebih besar menghadapi masalah kesehatan fisik tersebut.
Sehubungan dengan kehilangan mobilitas, lansia juga lebih rentan mengalami post power syndrome, terlebih bagi mereka yang tadinya aktif bekerja. Hal ini merujuk pada keadaan gangguan psikis atau munculnya berbagai emosi negatif dan tidak stabil karena pensiun, PHK, atau kehilangan popularitas dan keberdayaan.
Tidak mengherankan bila saat seorang lansia tinggal bersama anak cucunya, perilaku mengontrol atau superior masih tampak sebagai residu post power syndrome yang ia miliki. Sebagian lainnya merasa cemas, tidak percaya diri, atau merasa tidak berguna lagi.
Apa yang Sebaiknya Dilakukan?
Setelah menyadari berbagai problem yang mungkin menghantui lansia, anak perlu memahami sejauh mana ia bisa berkontribusi untuk menjaga kesejahteraan orang tuanya. Memaksakan diri untuk selalu memenuhi semua kebutuhan orang tua tanpa memikirkan kesehatan fisik dan psikisnya sendiri juga bukanlah hal yang baik.
Oleh karena itu, komunikasi antara anak-orang tua lansia menjadi penting. Ini yang kerap diabaikan para anak atau lansia, sehingga rentan memicu konflik kepentingan, terlebih bila si anak sudah berkeluarga. Anak bisa juga mengalami pertengkaran dengan suami atau istrinya perkara anggaran bulanan yang harus melibatkan variabel orang tua lansia di dalamnya.
Kembali lagi, segalanya perlu dilakukan dengan realistis. Bila anak punya uang tapi tak punya tenaga atau waktu lebih, opsi panti jompo atau menyewa perawat bisa diambil tanpa sepenuhnya mengabaikan orang tua mereka. Sementara bila kondisinya tidak memungkinkan, anak bisa menampung orang tuanya dan bernegosiasi, lalu menetapkan batasan apa saja yang perlu dihormati dan menyampaikan seberapa kesanggupan ia membiayai si orang tua. Perlu diingat pula bahwa si lansia sendiri tidak sepatutnya berpikir, kesejahteraannya adalah seratus persen tanggung jawab anaknya.
Selagi menerapkan pola komunikasi dua arah yang terbuka ini, kedua pihak juga perlu memikirkan bagaimana membuat orang tua lansia tidak berpandangan negatif atas dirinya dan merasa tak berguna dengan cara mencari berbagai kegiatan, sehingga dirinya merasa lebih berdaya. Sejalan dengan itu, anak juga mesti memikirkan apa yang harus ia persiapkan sebelum menginjak masa lansia, supaya ia tidak meneruskan siklus dependensi yang nanti merepotkan keturunannya.
Berusia senja tidak berarti selalu menyusahkan dan tidak berdaya. Hal yang tidak terhindarkan ini tidak akan lagi menjadi momok atau permasalahan jika upaya menggeser cara pandang dan mengisi sisa hidup dengan hal berarti dan menyenangkan dilakukan.
Comments