Adagium bahwa rumput tetangga selalu lebih hijau terasa relevan ketika kita asyik menghabiskan waktu membuka Instagram. Kita menyaksikan kehidupan orang lain yang tampak lebih berkilauan: Jalan-jalan, makan di restoran mahal, berprestasi di sana-sini. Kita pun otomatis ciut setelah membandingkan itu semua dengan kehidupan sendiri.
Buat sebagian orang, Instagram tak sekadar media sosial yang berfokus pada gambar. Aplikasi ini juga menjadi platform untuk mencari validasi dari orang-orang yang mengikuti kehidupan kita di dunia maya. Apalagi kehadiran fitur Story, memudahkan pengguna dalam menyampaikan aktivitas, situasi, dan citra diri tertentu.
Vanessa Audrey (22), mahasiswi yang sedang merintis kariernya melalui media sosial, mengaku bahwa di Instagram, ia ingin dikenal sebagai pribadi yang ceria, punya hidup menyenangkan, dan memahami seluk-beluk K-Pop. Perempuan yang akrab disapa Ines ini menggunakan media sosial tersebut sebagai platform fangirling SEVENTEEN, boyband kesayangannya yang berasal dari Korea Selatan.
“Ada kebanggaan tersendiri ketika imej yang saya harapkan juga menjadi anggapan orang lain. Waktu itu ada yang membalas Instagram Story saya, katanya dia melihat hidup saya enak banget. Padahal realitasnya ya enggak seperti itu,” ujarnya.
Ines mengunggah Instagram Story karena aplikasi tersebut yang paling banyak digunakan oleh orang-orang di sekitarnya. Ia pun mengaku senang ketika pengikutnya di Instagram menganggap kontennya sebagai moodbooster.
“Bikin orang lain happy itu rasanya seperti pencapaian,” tukasnya.
Senada, Nissi Elizabeth (21), video editor di sebuah media, berburu validasi dengan mengunggah kehidupannya di Instagram story. Ia mengaku ingin keberadaan dan pekerjaannya diakui oleh orang lain, tanpa harus menceritakannya.
“Karena saya memberi pengakuan ke teman-teman lewat Instagram, jadi saya berharap untuk menerima hal yang sama. Saya tahu si A kerja di sebuah perusahaan, itu karena saya melihat unggahannya di Instagram, padahal yang bersangkutan enggak cerita apa pun secara langsung,” ujarnya.
Baca Juga: Aku Pamer, Maka Aku Ada: Koar-koar Dahulu, Prestasi Kapan-kapan
Nissi menambahkan, teman-temannya di Instagram mengetahui kemampuannya dalam menyunting video, sehingga sewaktu-waktu mereka bisa menghubunginya terkait pekerjaan.
Membandingkan yang Berujung Putus Asa
Tak bisa dipungkiri, melihat keseharian teman-teman melalui layar ponsel terkadang membuat kita menginginkan apa yang mereka punya. Misalnya, liburan ke Bali di tengah pandemi, berpakaian menarik, hingga kuliah S2 di luar negeri. Sementara, kehidupan kita hanya berputar-putar di urusan memanaskan makanan sisa semalam dan duduk di depan laptop dari pagi hingga sore hari demi membayar cicilan.
Mungkin awalnya kita mengikuti akun Instagram orang-orang untuk mengetahui kabarnya. Namun, saat pikiran tersebut muncul, sebenarnya kita baru saja membandingkan diri dengan mereka. Hal ini karena setiap orang memiliki dorongan untuk mendapatkan penilaian diri yang akurat dan stabil. Masalahnya, tidak adanya kriteria objektif untuk mengevaluasi kemampuan dan pendapat diri sendiri saat melihat unggahan orang lain.
Sebaliknya, perilaku membandingkan justru mengarah pada kecemasan, depresi, rasa malu, mengkritik diri sendiri, kurangnya harga diri, hingga merusak kepercayaan diri.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Royal Society for Public Health dan Young Health Movement di Inggris pada 2017 lalu terhadap 1.500 remaja dan dewasa muda, menunjukkan, Instagram merupakan media sosial terburuk untuk kesehatan mental dan kesejahteraan diri. Meskipun penelitian tersebut tidak dapat merepresentasikan seluruh pengguna, media sosial ini dinilai menimbulkan kecemasan, depresi, fear of missing out (FOMO), hingga haus empati dan kasih sayang dari orang-orang sekitar.
Baca Juga: 5 Pemikiran Patriarkal Cowok-cowok Muda di Media Sosial
Terkadang melihat unggahan orang lain yang dianggap memiliki berbagai pencapaian bisa bikin kita termotivasi, tetapi lebih sering membuat kita merasa kecil. Empat peneliti asal Amerika Serikat, Chia-chen Yang, Sean Holden, Mollie Carter, dan Jessica Webb, menjelaskan bahwa perbandingan yang dilakukan lewat media sosial akan menghambat pengembangan identitas melalui pengurangan kepercayaan diri, menekan eksplorasi mendalam, dan meningkatkan keraguan diri.
Psikolog Anak Anastasia Satriyo M.Psi., Psi pun sependapat dengan hal tersebut.
“Motivasi awal dari melihat orang lain itu salah karena jika ingin menyemangati diri, seharusnya kita membandingkan diri kita dengan beberapa bulan yang lalu,” ucapnya.
Kecemasan
Selain kebutuhan akan validasi di media sosial, sebelum menekan tombol add to your story di Instagram, ada pergumulan lain yang tak kalah merisaukan. Umumnya, ini muncul jika kita terlalu memikirkan respons orang lain, termasuk respons negatif. Padahal sebenarnya, orang lain belum tentu memperhatikan, atau bahkan melihat konten yang kita unggah.
Situasi ini dialami oleh Ines yang khawatir pengikutnya merasa terganggu dengan konten K-Pop yang diunggahnya.
“Pernah takut dicap alay dan malu juga dilihat banyak orang kalau lagi fangirling. Padahal, karier yang saya rintis di Instagram ini dilakukan dengan upload konten K-Pop. Akan tetapi, Mama mengingatkan kalau di media sosial kita punya opsi untuk nggak melihat konten orang lain. Jadi sekarang lebih percaya diri kalau mau upload apa pun,” tuturnya.
Baca Juga: 5 Kebiasaan ‘Body Shaming’ yang Harus Kita Hentikan
Kecemasan ini sendiri telah ia rasakan sejak kecil karena kurang diapresiasi keluarga. Kekurangan ini pula yang membentuk lubang dalam dirinya hingga kini.
“Kita perlu menyadari, tidak ada kata-kata atau penerimaan dari orang lain yang bisa memenuhi lubang tersebut sebelum kita sendiri belajar self-acceptance dan self-forgiveness,” tuturnya.
Pulang ke Diri
Validasi merupakan kebutuhan wajar yang diperlukan setiap orang, asal masih dalam batas wajar. Seseorang yang telah dewasa mampu memberikan validasi pada diri sendiri, sesederhana dengan mengapresiasi usaha yang dilakukan setiap hari dan atas pencapaian-pencapaian kecil yang diraih.
Anastasia menuturkan, berkarya merupakan salah sumber adaptif untuk memperoleh validasi, yang mana akan memberikan pacuan untuk terus berkarya.
“Ini pentingnya mengenali emosi dalam diri, supaya bisa mempertanyakan sebesar apa validasi yang dibutuhkan dari orang lain. Misalnya, dalam skala 1-10, di angka kelima kita puas hanya dengan membuat karya tersebut, limanya lagi ingin dipuji orang lain, tetapi tidak menjadi sebuah keharusan. Itu akan membuat hidup kita lebih bermakna,” terangnya.
Dengan menciptakan validasi dari dalam diri, kita mampu mengurangi perasaan dan pikiran negatif yang tak perlu, ketika orang lain menggunjingkan kita. Ia melanjutkan, keberhargaan diri seharusnya tidak didefinisikan berdasarkan kepribadian di Instagram.
“Keberhargaan diri itu dimulai dari keinginan untuk belajar menerima diri setiap harinya dan merasa cukup. Jika hanya melihat sisi yang kurang, kita enggak akan bergerak maju dan enggak bisa merasa aman dengan diri sendiri,” pungkasnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments