Indonesia baru saja kehilangan salah satu perempuan yang luar biasa kiprahnya di dunia sastra, akademi, dan gerakan feminisme di Indonesia: Prof. Toeti Heraty yang meninggal pada Minggu (13/6) di usia 87 tahun.
Ia dikenal berkat rekam jejaknya yang menjulang di berbagai bidang. Tidak hanya berkontribusi bagi diri atau lingkarannya sendiri, kiprah Toeti juga berkontribusi bagi banyak orang. Baik sebagai seorang seniman, pengajar, maupun aktivis perempuan, sosok Toeti Heraty telah menjadi inspirasi dan dihormati banyak orang, yang sangat kehilangan atas kepergiannya.
Baca juga: Maestro Tari Ayu Bulantrisna Djelantik Tutup Usia
Kaya Pengetahuan setelah Lompati Berbagai Bidang Studi
Lahir dari pasangan Dr. Roosseno Soerjohadikoesoemo dan R.A. Oentari pada 27 November 1933, Toeti Heraty adalah sulung dari enam bersaudara. Pada tahun 1955, ia menjadi sarjana muda kedokteran Universitas Indonesia. Berbeda dari kebanyakan lulusan kedokteran yang meneruskan studi mereka secara linier dan kemudian ingin tetap berpraktik hingga lanjut usia, Toeti justru memilih untuk sekolah sarjana kembali, kali ini bidang psikologi. Tujuh tahun kemudian, di kampus yang sama, Toeti mengantongi gelar Sarjana Psikologi.
Seakan haus akan pengetahuan, ia melanjutkan studi lagi di bidang filsafat sampai akhirnya menjadi sarjana bidang tersebut dari Rijk Universiteit, Leiden, Belanda pada 1974. Kecintaannya pada filsafat lantas membuatnya melanjutkan studi hingga lulus sebagai doktor dari Universitas Indonesia pada 1979. Karya disertasinya kemudian diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Aku dan Budaya (1982).
Sebagai akademisi, Toeti pernah mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia dan Fakultas Psikologi Universitas Padjajaran. Ia juga mendapat kepercayaan memegang jabatan-jabatan strategis di kampus, mulai dari Ketua Jurusan Filsafat Universitas Indonesia, Ketua Program Pascasarjana di jurusan dan kampus yang sama, serta rektor di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada 1990-1996. Pada 1994, Toeti menjadi Guru Besar Luar Biasa di Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Baca juga: Julia Suryakusuma: Tentang Ibu, Menjadi Ibu, dan Ibuisme
Kiprah Toeti Heraty di Dunia Penulisan dan Kesenian
“suatu saat toh harus ditinggalkan
dunia yang itu-itu juga
– api petualangan cinta telah pudar –
bayang-bayang dalam mimpi, senyum tanpa
penyesalan kini
beberapa peristiwa, tinggakan asap urai
ditelan awan…”
Demikian petikan puisi Toeti bertajuk “Selesai” yang ditulis pada 1967 dan diterbitkan di Majalah Horison, No. 10, Th. II. Sejak setahun sebelumnya, ia telah mengirim puisi-puisinya ke majalah tersebut. Selain di Horison, puisi Toeti juga terdapat di Sastra dan Budaya Jaya.
Karya-karya yang Toeti lahirkan antara lain Sajak-sajak 33 (1973), Sajak Pretensi (1982), Sembilan Kerlip Cermin (2000).
Selain itu, Toeti merupakan anggota Persatuan Penulis Indonesia (Satupena). Dari organisasi tersebut, Toeti dianugerahi Lifetime Achievement Award pada 2018 silam. Setahun sebelumnya, Presiden Joko Widodo menganugerahi tanda kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma di Istana Negara atas kiprah Toeti di dunia penulisan.
Antara tahun 1968-1971, Toeti pernah menjabat sebagai anggota Dewan Kesenian Jakarta. Kemudian pada 1982-1985, ia dipercaya menjadi ketua organisasi tersebut.
Dilansir situs Satupena, Toeti aktif mengikuti festival penulis internasional seperti Festival Penyair Internasional di Rotterdam (1981) dan International Writing Program di Universitas Iowa (1984). Tak hanya bagi pembaca di Indonesia, pembaca di luar negeri pun dapat menikmati puisi-puisi Toeti yang telah diterjemahkan dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman, dan Perancis.
Sosok Toeti di dunia kepenyairan termasuk menonjol mengingat lebih sedikitnya perempuan penyair yang dikenal publik luas dibandingkan laki-laki penyair. Satupena menulis, puisinya melibatkan ambiguitas yang disengaja, dengan perumpamaan asosiatif dan tak disangka-sangka, serta penggunaan ironi dalam menyoroti rendahnya posisi perempuan di dunia patriarkal.
Sementara dari catatan situs Ensiklopedia Sastra Indonesia, penyair Subagio Sastrowardoyo pernah berkomentar pada tahun 1989 bahwa Toeti tergolong penyair yang berani berdiri di luar arus utama persajakan modern Indonesia.
Tidak hanya dikenal sebagai penyair perempuan, Toeti juga menulis berbagai buku lain, termasuk yang menyinggung isu gender seperti kumpulan prosa Calon Arang: Kisah Perempuan Korban Patriarki (2012) dan Transendensi Feminin: Kesetaraan Gender menurut Simone de Beauvoir (2018) yang berasal dari tesisnya tahun 1961.
Bukunya yang terakhir terbit tahun ini dengan judul Ajaib, Nyata, Terkadang Lucu-Fragmen Autobiografi (2021).
Rekam Jejak Aktivisme Toeti Heraty
Ketertarikan Toeti terhadap isu gender dan feminisme mendorongnya untuk menjadi salah satu pendiri Yayasan Jurnal Perempuan yang lahir pada 1995. Jurnal Perempuan termasuk publikasi feminis pionir yang memuat opini dan penelitian permasalahan perempuan dan gender di Indonesia.
Beberapa saat menjelang lengsernya Soeharto, sejumlah aktivis termasuk dari Yayasan Jurnal Perempuan berkumpul untuk menyiapkan strategi menjatuhkan rezim Orde Baru. Berkaca dari cerita ibu-ibu demonstran di Plaza de Mayo, Buenos Aires, muncullah ide untuk melakukan protes dan advokasi kaum perempuan terpinggirkan pada masa itu.
Namun, tidak mudah untuk berdemo terang-terangan di masa pemerintahan Suharto. Karenanya, mereka menyusun strategi kamuflase agar bisa mendapat simpati masyarakat sembari berupaya melancarkan strategi politiknya.
Dalam tulisannya di situs Jurnal Perempuan, Gadis Arivia mengungkapkan bahwa kala itu Yayasan Jurnal Perempuan memikirkan kata apa yang tepat sebagai strategi politik mereka hingga akhirnya dipilihlah kata “ibu-ibu”. Pasalnya, penggunaan kata wanita lebih marak dipakai semasa Orde Baru dan di masa itu pulalah, orang cenderung bersimpati pada kegiatan “ibu-ibu” (seperti Dharma Wanita).
Strategi menjual susu murah diambil oleh Yayasan Jurnal Perempuan mengingat sekitar tahun 1997, harga susu melambung hingga 400 persen dan langka di pasaran. Mengawinkan strategi awal yang memakai kata dan isu ibu-ibu dengan permasalahan susu ini, lahirlah Suara Ibu Peduli yang melibatkan Toeti di dalamnya.
Toeti kerap diundang sebagai pembicara dan menulis isu-isu perempuan dari berbagai sudut pandang. Sebagai contoh, ia memberikan orasi feminis pada peluncuran Jurnal Perempuan 98 tentang Perempuan dan Kebangsaan setelah 20 tahun reformasi pada 2018. Dalam orasi tersebut, Toeti mengungkapkan bahwa perspektif feminis masih jarang disertakan dalam narasi nasionalisme Indonesia.
“Toeti dikenal sebagai pemikir paling progresif dan aktivis serbabisa di Indonesia. Kegiatannya bervariasi dari urusan perempuan, hukum, sastra, ekspor rempah, bisnis penginapan, koleksi lukisan, hingga filsafat,”
Tidak hanya menjadi salah satu pendiri Yayasan Jurnal Perempuan, Toeti juga menjadi pemimpin redaksi majalah Mitra, sebuah publikasi yang menyajikan artikel filsafat. Sementara, posisi redaktur pelaksana dijabat oleh penulis dan penyair Eka Budianta serta aktivis Karlina Supeli.
Mengenang sosok Toeti, penyair Eka Budianta mengatakan kepada VOI bahwa Toeti adalah sosok yang komplet.
“Toeti dikenal sebagai pemikir paling progresif dan aktivis serbabisa di Indonesia. Kegiatannya bervariasi dari urusan perempuan, hukum, sastra, ekspor rempah, bisnis penginapan, koleksi lukisan, hingga filsafat,” ujar Eka.
Kepergian Toeti menyisakan kesedihan bagi orang-orang terdekat maupun mereka yang jauh namun terinspirasi dari karya dan pengajaran Toeti. Biarpun demikian, Toeti akan tetap hidup dalam benak banyak orang lewat rangkaian kata dan lisannya yang telah terdokumentasikan.
Comments